Ren Hui mengemudikan rumah berodanya dengan santai, ditemani oleh Baihua, rubah putih setianya yang duduk di samping. Hembusan angin yang membekukan disertai hujan salju yang turun semakin lebat, tak membuat Ren tergesa-gesa memacu empat ekor kudanya. Angin dingin menusuk, memaksa Ren Hui menarik erat mantel tebal yang melindungi tubuhnya.
Meskipun tubuhnya sendiri terasa lemah dan digerogoti cuaca yang tak bersahabat, dia lebih mengkhawatirkan kondisi Junjie.Sesekali dia melirik ke dalam rumah beroda, memastikan keadaan sahabatnya. Di dalam, Junjie duduk dengan malas, menopang dagu di atas meja kecil di hadapannya. Tatapannya terpaku pada guci arak api surgawi yang masih mengepul, seolah tak ada hal lain yang menarik di dunia ini. Wajahnya memancarkan kebosanan yang dalam, seakan hari-hari yang mereka lalui tak lagi memiliki warna.Mereka baru saja meninggalkan Kota Chunyu, dan kini perjalanan membawa mereka melintasi pedesaan yang sepi. Di musim dinginDini hari, ketika fajar baru menyapa, rumah beroda milik Ren Hui akhirnya tiba di tepi pantai Kota Yuehai. Perjalanan panjang semalaman membuatnya sedikit letih, namun tekad kuat untuk segera mencari bahan-bahan obat bagi Ye Hun dan Junjie menggerakkannya untuk terus maju. Angin laut yang dingin menusuk kulit, tapi Ren Hui tak menggubris. Ia tak ingin membuang waktu.Tiba-tiba, Junjie terbangun, mengusap matanya, dan telinganya menangkap suara debur ombak di kejauhan. Wajahnya yang lelah langsung berubah cerah. "Ren Hui! Aku mendengar ombak!" serunya gembira, bergegas menuju teras rumah beroda. Di sana, ia berdiri sejenak, menarik napas panjang, menghirup udara laut yang segar dan bersih.Ren Hui tersenyum melihat kegembiraan Junjie. "Kau seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat laut," katanya sambil tertawa ringan. "Aku akan menyiapkan sesuatu untuk sarapan. Udara dingin ini cocok untuk menikmati sesuatu yang hangat."Matahari baru saja muncul di
Ren Hui tersenyum, menatap sosok Junjie yang tampak anggun berdiri di teras rumah beroda. Ada keanggunan sejati dalam caranya memandang laut, ketenangan yang tak tergoyahkan oleh deru ombak. "Junjie, ayo turun ke pantai!" serunya, suaranya melayang di atas desiran angin pantai.Junjie, yang sedang memandangi Ren Hui dari kejauhan, sedikit tersentak dari lamunannya. Dia melihat Ren Hui yang melompat lincah ke atas batu karang, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Dalam hening sejenak, ia mempertimbangkan ajakan sahabatnya itu, lalu dengan ringan mengangguk, merasa tak ada alasan untuk menolak kebersamaan di pagi yang dingin namun cerah ini.Sebelum turun, Junjie menunduk, mengusap lembut kepala rubah putih milik Ren Hui, Baihua, yang setia duduk di sisinya. "Naiklah, jaga Ye Hun di atas," ucapnya lembut. Baihua, dengan patuh melesat seperti kilat, melesat menuju lantai atas rumah beroda.Setelah menutup pintu rumah beroda dan memastikan semua dalam kea
Aula Pedang, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueSalju turun lembut, menutupi setiap inci kediaman luas itu dengan selimut putih yang dingin. Angin musim dingin berhembus pelan, membawa butiran salju yang berputar-putar di udara. Aula Pedang berdiri sunyi, megah dalam kesendiriannya, menjadi saksi bisu atas kenangan-kenangan masa lalu yang perlahan terkubur di bawah lapisan es yang tebal.Di halaman yang pernah dipenuhi semangat para murid, hanya tampak satu-dua bayangan yang terburu-buru masuk ke dalam, menghindari gigitan dingin salju yang tak henti turun. Sekte Pedang Langit, yang dulu berdiri gagah sebagai sekte terbesar dan paling ditakuti di seluruh Kekaisaran Shengguan, kini sunyi, seolah membeku dalam kenangan.Sejak serbuan pasukan penjaga kekaisaran, Sekte Pedang Langit telah kehilangan segalanya. Tragedi yang berakhir dengan dieksekusinya Zhu Zijing, ketua sekte, dan gurunya yang terhormat, Guru Liuxing, adik kaisar sendiri. Kematian mereka memutus
Kediaman Bunga Peony, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueDi halaman kecil yang tenang, bunga peony bertebaran di tengah salju yang membeku, menciptakan pemandangan yang kontras. Para pelayan tampak sibuk, mondar-mandir membersihkan salju tebal yang menyelimuti jalan setapak. Setiap gerakan mereka seolah harmonis, tak ingin mengganggu keindahan yang sedang dinikmati oleh sang pemilik kediaman.Kediaman Bunga Peony, tempat Nona Xue Xue tinggal. Meski hanya seorang murid luar di Sekte Pedang Langit, sama seperti Ren Jie dan Ye Hun, kehadirannya tak bisa diremehkan. Dalam ketenangan, ia duduk di dekat jendela, menatap serpihan salju yang turun perlahan seperti kristal-kristal mungil dari langit kelabu. Udara dingin yang menyelinap masuk lewat celah-celah jendela tak mampu mengusik ketenangannya. Di luar, samar-samar terdengar suara pelayan yang terus bekerja, sementara di kejauhan, para murid berlatih di aula kecil. Semua itu berlalu di matanya seperti bayangan
Pantai Mutiara Bulan, Kota YuehaiDi bawah langit yang mulai berwarna tembaga, Junjie dan Ren Hui duduk di teras rumah beroda, menatap cakrawala. Gelombang laut menggulung pelan, seolah mengiringi sunyi yang merasuk di antara mereka. Beberapa hari terakhir, hari salju terus mengguyur, membuat mereka lebih banyak berdiam di dalam rumah. Hawa dingin yang menggigit membuat perjalanan keluar nyaris mustahil.Beruntung, satu-dua nelayan masih berani melaut meski hanya sebentar. Cuaca yang tidak menentu membuat mereka khawatir, tapi tetap datang menawarkan hasil tangkapan kepada Ren Hui dan Junjie. Ikan, cumi, dan teripang seringkali menghiasi meja makan mereka.“Kita punya persediaan yang cukup melimpah,” gumam Ren Hui sambil menatap tumpukan teripang yang sudah dikeringkan di teras. Junjie hanya mengangguk, meneguk arak api surgawi yang telah dipanaskan oleh Ren Hui. Cairan panas itu segera menghangatkan tenggorokannya, sedikit mengusir rasa dingin yang mengge
Ren Hui melangkah perlahan memasuki gua, diiringi Baihua yang setia menemaninya. Cahaya lentera yang ia bawa hanya mampu menerangi sedikit dari kegelapan pekat di dalam gua itu. Udara terasa lembap dan pengap. Batu-batu karang di bawah kakinya terasa keras dan kering, menandakan bahwa air laut tidak pernah mencapai tempat ini, bahkan ketika air pasang.“Kita ikuti saja arah hembusan angin, Baihua,” Ren Hui bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suara itu beresonansi lembut dalam keheningan gua. Baihua, yang hanya bisa menguik pelan, mengikuti tanpa komentar, bulu putihnya menyala lembut dalam bayangan lentera.Mereka terus berjalan, menyusuri lorong gua yang semakin menanjak, hingga akhirnya tiba di sebuah ruang terbuka yang lebih luas. Dinding-dinding gua di sini berkilauan kehijauan, seperti permata tersembunyi yang memantulkan sinar lembut. Ren Hui mematikan lentera di tangannya, menghemat minyak, karena cahaya dari dinding cukup terang untuk membantu mer
Ren Hui duduk tenang di depan api unggun, matanya mengawasi nyala api yang meliuk-liuk seiring angin laut yang lembut memasuki gua. Dengan hati-hati, dia terus menambahkan rumput laut kering ke dalam kobaran api, menciptakan asap yang semakin tebal. Udara di dalam gua mulai mengental, dipenuhi aroma asin laut bercampur bau tanah lembap dan bara kayu basah. Udara semakin pengap, membuat napas terasa berat dan gerah.Beberapa kali, Ren Hui terbatuk. Suara serak keluar dari tenggorokannya, seolah menantang kesunyian yang menggantung di udara. Dia berdiri perlahan, menepuk-nepuk debu yang menempel pada jubahnya, lalu melangkah menjauhi api unggun yang mulai memudar."Baihua, bersembunyilah di sana," bisiknya pelan, matanya melirik ke arah rubah putih kecil yang setia di sampingnya. Dia menunjuk sebuah ceruk di sudut gua yang diterangi sinar kebiruan dari mutiara langka. Rubah itu, dengan gerakan lincah dan penuh waspada, segera berlari menuju tempat yang ditunjukkan, s
Burung Phoenix Api Laut terus terbang tinggi di langit, sayap-sayapnya mengepak lebar dan berkilauan, membawa Pedang Surgawi serta Ren Hui dalam cengkeraman cakarnya. Di bawah sana, Ren Hui memandang ke bawah dengan waspada. Baihua, rubah putihnya cerdas yang setia, tiba-tiba menyadari keanehan di udara. Ia keluar dari persembunyian, melolong keras, memecah keheningan gua, lalu berlari secepat kilat mengikuti arah burung itu terbang.“Baihua, tetaplah di sini! Aku akan kembali!” teriak Ren Hui dengan suara tegas, yang menggema di antara dinding-dinding gua batu.Baihua berhenti, telinganya berdiri tegak. Matanya menatap penuh kekhawatiran saat ia menatap langit-langit gua yang semakin jauh, seolah berharap Ren Hui segera kembali. Namun, rubah itu tahu, perintah tuannya adalah segalanya. Dengan enggan, Baihua melolong sekali lagi, lalu melangkah mundur, menyembunyikan dirinya kembali ke dalam bayang-bayang.Di udara, Ren Hui menguatkan cengkeraman