Aula Pedang, Sekte Pedang Langit, Kota Yinyue
Salju turun lembut, menutupi setiap inci kediaman luas itu dengan selimut putih yang dingin. Angin musim dingin berhembus pelan, membawa butiran salju yang berputar-putar di udara. Aula Pedang berdiri sunyi, megah dalam kesendiriannya, menjadi saksi bisu atas kenangan-kenangan masa lalu yang perlahan terkubur di bawah lapisan es yang tebal.Di halaman yang pernah dipenuhi semangat para murid, hanya tampak satu-dua bayangan yang terburu-buru masuk ke dalam, menghindari gigitan dingin salju yang tak henti turun. Sekte Pedang Langit, yang dulu berdiri gagah sebagai sekte terbesar dan paling ditakuti di seluruh Kekaisaran Shengguan, kini sunyi, seolah membeku dalam kenangan.Sejak serbuan pasukan penjaga kekaisaran, Sekte Pedang Langit telah kehilangan segalanya. Tragedi yang berakhir dengan dieksekusinya Zhu Zijing, ketua sekte, dan gurunya yang terhormat, Guru Liuxing, adik kaisar sendiri. Kematian mereka memutusKediaman Bunga Peony, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueDi halaman kecil yang tenang, bunga peony bertebaran di tengah salju yang membeku, menciptakan pemandangan yang kontras. Para pelayan tampak sibuk, mondar-mandir membersihkan salju tebal yang menyelimuti jalan setapak. Setiap gerakan mereka seolah harmonis, tak ingin mengganggu keindahan yang sedang dinikmati oleh sang pemilik kediaman.Kediaman Bunga Peony, tempat Nona Xue Xue tinggal. Meski hanya seorang murid luar di Sekte Pedang Langit, sama seperti Ren Jie dan Ye Hun, kehadirannya tak bisa diremehkan. Dalam ketenangan, ia duduk di dekat jendela, menatap serpihan salju yang turun perlahan seperti kristal-kristal mungil dari langit kelabu. Udara dingin yang menyelinap masuk lewat celah-celah jendela tak mampu mengusik ketenangannya. Di luar, samar-samar terdengar suara pelayan yang terus bekerja, sementara di kejauhan, para murid berlatih di aula kecil. Semua itu berlalu di matanya seperti bayangan
Pantai Mutiara Bulan, Kota YuehaiDi bawah langit yang mulai berwarna tembaga, Junjie dan Ren Hui duduk di teras rumah beroda, menatap cakrawala. Gelombang laut menggulung pelan, seolah mengiringi sunyi yang merasuk di antara mereka. Beberapa hari terakhir, hari salju terus mengguyur, membuat mereka lebih banyak berdiam di dalam rumah. Hawa dingin yang menggigit membuat perjalanan keluar nyaris mustahil.Beruntung, satu-dua nelayan masih berani melaut meski hanya sebentar. Cuaca yang tidak menentu membuat mereka khawatir, tapi tetap datang menawarkan hasil tangkapan kepada Ren Hui dan Junjie. Ikan, cumi, dan teripang seringkali menghiasi meja makan mereka.“Kita punya persediaan yang cukup melimpah,” gumam Ren Hui sambil menatap tumpukan teripang yang sudah dikeringkan di teras. Junjie hanya mengangguk, meneguk arak api surgawi yang telah dipanaskan oleh Ren Hui. Cairan panas itu segera menghangatkan tenggorokannya, sedikit mengusir rasa dingin yang mengge
Ren Hui melangkah perlahan memasuki gua, diiringi Baihua yang setia menemaninya. Cahaya lentera yang ia bawa hanya mampu menerangi sedikit dari kegelapan pekat di dalam gua itu. Udara terasa lembap dan pengap. Batu-batu karang di bawah kakinya terasa keras dan kering, menandakan bahwa air laut tidak pernah mencapai tempat ini, bahkan ketika air pasang.“Kita ikuti saja arah hembusan angin, Baihua,” Ren Hui bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suara itu beresonansi lembut dalam keheningan gua. Baihua, yang hanya bisa menguik pelan, mengikuti tanpa komentar, bulu putihnya menyala lembut dalam bayangan lentera.Mereka terus berjalan, menyusuri lorong gua yang semakin menanjak, hingga akhirnya tiba di sebuah ruang terbuka yang lebih luas. Dinding-dinding gua di sini berkilauan kehijauan, seperti permata tersembunyi yang memantulkan sinar lembut. Ren Hui mematikan lentera di tangannya, menghemat minyak, karena cahaya dari dinding cukup terang untuk membantu mer
Ren Hui duduk tenang di depan api unggun, matanya mengawasi nyala api yang meliuk-liuk seiring angin laut yang lembut memasuki gua. Dengan hati-hati, dia terus menambahkan rumput laut kering ke dalam kobaran api, menciptakan asap yang semakin tebal. Udara di dalam gua mulai mengental, dipenuhi aroma asin laut bercampur bau tanah lembap dan bara kayu basah. Udara semakin pengap, membuat napas terasa berat dan gerah.Beberapa kali, Ren Hui terbatuk. Suara serak keluar dari tenggorokannya, seolah menantang kesunyian yang menggantung di udara. Dia berdiri perlahan, menepuk-nepuk debu yang menempel pada jubahnya, lalu melangkah menjauhi api unggun yang mulai memudar."Baihua, bersembunyilah di sana," bisiknya pelan, matanya melirik ke arah rubah putih kecil yang setia di sampingnya. Dia menunjuk sebuah ceruk di sudut gua yang diterangi sinar kebiruan dari mutiara langka. Rubah itu, dengan gerakan lincah dan penuh waspada, segera berlari menuju tempat yang ditunjukkan, s
Burung Phoenix Api Laut terus terbang tinggi di langit, sayap-sayapnya mengepak lebar dan berkilauan, membawa Pedang Surgawi serta Ren Hui dalam cengkeraman cakarnya. Di bawah sana, Ren Hui memandang ke bawah dengan waspada. Baihua, rubah putihnya cerdas yang setia, tiba-tiba menyadari keanehan di udara. Ia keluar dari persembunyian, melolong keras, memecah keheningan gua, lalu berlari secepat kilat mengikuti arah burung itu terbang.“Baihua, tetaplah di sini! Aku akan kembali!” teriak Ren Hui dengan suara tegas, yang menggema di antara dinding-dinding gua batu.Baihua berhenti, telinganya berdiri tegak. Matanya menatap penuh kekhawatiran saat ia menatap langit-langit gua yang semakin jauh, seolah berharap Ren Hui segera kembali. Namun, rubah itu tahu, perintah tuannya adalah segalanya. Dengan enggan, Baihua melolong sekali lagi, lalu melangkah mundur, menyembunyikan dirinya kembali ke dalam bayang-bayang.Di udara, Ren Hui menguatkan cengkeraman
Ren Hui menatap burung Phoenix yang melayang anggun di udara, memekik lagi, seolah memanggilnya. Ren Hui melangkah perlahan-lahan mendekati burung tersebut, dan sesampainya di hadapannya, ia bertanya dengan lembut, “Lan Yan, ada apa?”Burung itu menundukkan kepalanya, tatapannya diarahkan ke bawah. Ren Hui mengikuti pandangannya ke pasir putih dan batu karang yang menjulang tinggi di depannya. Di sekelilingnya, sinar kebiruan dari beberapa batu karang memberikan penerangan samar, cukup untuk memperjelas apa yang ada di depannya. Batu karang itu terlihat biasa saja, tanpa tanda-tanda rahasia, tidak ada pintu tersembunyi seperti yang pernah ia temui sebelumnya. Dia memutar pandangan, memastikan tidak ada yang terlewat, sampai akhirnya matanya menemukan sebuah rongga kecil di sebelah batu karang tempat Lan Yan bertengger.“Kau ingin aku masuk ke sini?” tanyanya penuh keraguan. Lan Yan menganggukkan jambulnya dengan tegas, seolah-olah memberikan perintah. Ren
Ren Hui memandang takjub pada pemandangan yang terbentang di hadapannya. Lorong sempit yang baru saja dilaluinya perlahan membuka jalan menuju sebuah kolam lain—lebih dalam, lebih megah, dan lebih mempesona dibanding sebelumnya. Dingin dan misterius, setiap sudut kolam ini bagaikan dilapisi es yang membeku sempurna. Kilauan putih kebiruan menghiasi gua, pantulannya memancar dari dinding hingga ke langit-langit, menciptakan ilusi cahaya yang berpendar lembut di tengah kegelapan. Kristal-kristal es alami terbentuk di dasar kolam dan di langit-langit gua, seolah-olah mereka berusaha menjangkau permukaan air yang jernih dan membeku abadi. Anehnya, udara di dalam kolam ini terasa hangat—teramat hangat, jika dibandingkan dengan suhu dingin yang menusuk tulang di luar sana, di mana badai salju masih menderu, menggulung-gulung di luar gua. Hangat yang tidak wajar, seolah ada sesuatu yang tersembunyi, menjaga panasnya di tengah kepungan salju.Ren Hui berenang pe
Ren Hui terbangun ketika merasakan sentuhan lembut menyentuh dahinya. Samar-samar, ia membuka mata dan mendapati sosok Junjie yang duduk di sampingnya. Tangan Junjie terulur, membantunya bersandar pada dipan kayu yang terasa keras di punggung."Apa yang terjadi?" Suara Ren Hui terdengar serak, seperti baru bangun dari tidur panjang. Matanya masih setengah terpejam, sedikit kabur oleh sisa kantuk. Ia berusaha fokus pada Junjie yang kini mengambil mangkok berisi bubur dari atas meja kecil di dekat mereka.“Kau pingsan di pantai,” jawab Junjie dengan tenang, menyendok bubur dari mangkok kemudian ia mengarahkannya ke bibir Ren Hui.Ren Hui menahan senyum jahil.“Makan dulu, baru kita bicara,” lanjut Junjie tanpa terganggu, meletakkan kembali mangkok ke atas meja, lalu berdiri dan mulai berjalan menjauh.“Kau tidak menyuapiku?” Ren Hui merajuk, suaranya dibuat manja, matanya menyipit, menatap Junjie dengan penuh sindiran. Namun, Junj