Ren Hui menatap burung Phoenix yang melayang anggun di udara, memekik lagi, seolah memanggilnya. Ren Hui melangkah perlahan-lahan mendekati burung tersebut, dan sesampainya di hadapannya, ia bertanya dengan lembut, “Lan Yan, ada apa?”
Burung itu menundukkan kepalanya, tatapannya diarahkan ke bawah. Ren Hui mengikuti pandangannya ke pasir putih dan batu karang yang menjulang tinggi di depannya. Di sekelilingnya, sinar kebiruan dari beberapa batu karang memberikan penerangan samar, cukup untuk memperjelas apa yang ada di depannya.Batu karang itu terlihat biasa saja, tanpa tanda-tanda rahasia, tidak ada pintu tersembunyi seperti yang pernah ia temui sebelumnya. Dia memutar pandangan, memastikan tidak ada yang terlewat, sampai akhirnya matanya menemukan sebuah rongga kecil di sebelah batu karang tempat Lan Yan bertengger.“Kau ingin aku masuk ke sini?” tanyanya penuh keraguan. Lan Yan menganggukkan jambulnya dengan tegas, seolah-olah memberikan perintah. RenRen Hui memandang takjub pada pemandangan yang terbentang di hadapannya. Lorong sempit yang baru saja dilaluinya perlahan membuka jalan menuju sebuah kolam lain—lebih dalam, lebih megah, dan lebih mempesona dibanding sebelumnya. Dingin dan misterius, setiap sudut kolam ini bagaikan dilapisi es yang membeku sempurna. Kilauan putih kebiruan menghiasi gua, pantulannya memancar dari dinding hingga ke langit-langit, menciptakan ilusi cahaya yang berpendar lembut di tengah kegelapan. Kristal-kristal es alami terbentuk di dasar kolam dan di langit-langit gua, seolah-olah mereka berusaha menjangkau permukaan air yang jernih dan membeku abadi. Anehnya, udara di dalam kolam ini terasa hangat—teramat hangat, jika dibandingkan dengan suhu dingin yang menusuk tulang di luar sana, di mana badai salju masih menderu, menggulung-gulung di luar gua. Hangat yang tidak wajar, seolah ada sesuatu yang tersembunyi, menjaga panasnya di tengah kepungan salju.Ren Hui berenang pe
Ren Hui terbangun ketika merasakan sentuhan lembut menyentuh dahinya. Samar-samar, ia membuka mata dan mendapati sosok Junjie yang duduk di sampingnya. Tangan Junjie terulur, membantunya bersandar pada dipan kayu yang terasa keras di punggung."Apa yang terjadi?" Suara Ren Hui terdengar serak, seperti baru bangun dari tidur panjang. Matanya masih setengah terpejam, sedikit kabur oleh sisa kantuk. Ia berusaha fokus pada Junjie yang kini mengambil mangkok berisi bubur dari atas meja kecil di dekat mereka.“Kau pingsan di pantai,” jawab Junjie dengan tenang, menyendok bubur dari mangkok kemudian ia mengarahkannya ke bibir Ren Hui.Ren Hui menahan senyum jahil.“Makan dulu, baru kita bicara,” lanjut Junjie tanpa terganggu, meletakkan kembali mangkok ke atas meja, lalu berdiri dan mulai berjalan menjauh.“Kau tidak menyuapiku?” Ren Hui merajuk, suaranya dibuat manja, matanya menyipit, menatap Junjie dengan penuh sindiran. Namun, Junj
Ren Hui menatap mutiara di tangannya dengan takjub. Kilauan biru lembut dari Mutiara Embun Biru seakan menari di bawah sinar matahari pagi, memancarkan cahaya yang begitu memukau. Permukaannya halus, berkilau seperti sinar bulan yang memantul di atas lautan yang tenang. Permukaan mutiara itu memantulkan cahaya dengan anggun, seolah memiliki kehidupan sendiri di dalamnya. Embun es yang terjebak di dalamnya bergerak perlahan, menambah kesan bahwa mutiara ini tidak hanya benda mati. Tanpa ragu, Ren Hui menyerahkannya kepada Junjie.Junjie, dengan tatapan yang penuh perhatian, mengamati mutiara tersebut. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, membiarkan sinar matahari menembus permukaannya, membuat semburat biru yang sebelumnya lembut kini tampak berkilau lebih tajam. “Indah sekali,” gumam Junjie pelan. Suaranya lembut, namun jelas terdengar di antara keheningan pagi. “Bukan kemewahan yang berlebihan, tapi sangat menawan. Siapa pun yang melihatnya pasti tergoda unt
Paviliun Keberuntungan Besar, Kita Huangfeng Angin musim dingin berhembus kencang, menyapu seluruh kota Huangfeng dengan butiran pasir yang menari-nari di udara, seakan mencoba meresap ke dalam celah-celah bangunan batu berwarna merah muda. Kota di perbatasan utara Kekaisaran Shenguang ini adalah satu dari sedikit tempat yang tidak diselimuti salju di tengah musim dingin yang begitu dingin dan menggigit. Langit yang kelabu menambah kesan kerasnya musim, namun kota ini tetap berdiri teguh, seolah menantang dingin yang menaklukkan tempat lain.Di salah satu lantai atas Paviliun Keberuntungan Besar, seorang pria berdiri diam, membiarkan angin yang berhembus melalui jendela terbuka menyentuh wajahnya. Tatapannya tajam, menusuk pemandangan hiruk-pikuk pasar di bawah, di mana orang-orang tetap menjalankan aktivitas mereka meski angin menyulitkan pergerakan. Pria itu mengenakan hanfu biru tua, jubah panjangnya yang berat menjuntai menyapu lantai marmer dengan s
Ren Hui dengan lembut merapikan mutiara es dan mutiara embun biru ke dalam kotak kayu. Dengan hati-hati, dia menyimpannya di lemari obat di sudut yang terbuat dari kayu pear. Saat tutup kotak tertutup rapat, kilauan dingin mutiara-mutiara itu memudar, meninggalkan keheningan yang dingin. Hanya beberapa butir mutiara es yang dia sisakan—cukup untuk memenuhi janjinya kepada Junjie, membuatkan gelang untuknya.Di sudut ruangan, karang dingin terletak rapi di atas meja, memancarkan hawa sejuk yang menembus udara. Sedangkan, kerang bunga beku masih terbentang di teras, terhampar di bawah udara dingin musim dingin yang semakin menggigit. Meski telah mendapatkan beberapa bahan obat langka dan berkualitas, tetapi masih ada sesuatu hal yang mengganjal di hati Ren Hui.Racun bunga salju yang mengendap di tubuh Junjie jauh lebih rumit dari yang dia kira. Setiap kali memikirkannya, dadanya terasa sesak. Menurut Yue Yingying, masih ada satu bahan penting yang harus mereka temuk
Ren Hui berbalik dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Dengan hati-hati, disentuhnya jari-jari Ye Hun yang tadi bergerak pelan, sebuah tanda kehidupan yang begitu ia nantikan. Namun, tidak ada gerakan lagi. Harapan yang sempat membuncah dalam hatinya lenyap seketika, seperti asap yang terbawa angin.Desahan kecewa meluncur dari bibirnya. Ren Hui mengangkat perlahan lengan Ye Hun yang lemah, meletakkannya di atas dada wanita itu. Sekali lagi, matanya tertuju pada wajah cantik yang terlelap dalam tidur panjang. Namun, tatapan itu tidak menemukan kehidupan di balik kelopak mata tertutup itu, hanya keheningan yang dingin. Mendadak, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya menolak masuk ke dalam paru-parunya. Ia terbatuk-batuk sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri, melawan rasa sakit yang datang tiba-tiba.Pikirannya melayang kembali pada malam sebelumnya, saat ia berjuang mencari bahan-bahan obat untuk Junjie di Kolam Surga Mutiara. Udara ding
Junjie berdiri di teras rumah beroda, matanya terpaku pada lautan luas yang membentang jauh di hadapannya. Matahari musim dingin yang pucat mulai merangkak ke barat, perlahan menghilang di balik cakrawala. Angin laut dingin membawa kepingan-kepingan salju yang berjatuhan seperti kristal kecil yang berkilauan di udara. Ia mengulurkan tangan, membiarkan kepingan-kepingan salju jatuh perlahan memenuhi telapak tangannya yang terbuka. Udara dingin membuatnya kebas, menyelimuti tubuhnya dalam lapisan dingin yang menggigit.Namun, Junjie tak peduli. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan salju semakin menebal di pundaknya, seolah beratnya tumpukan salju itu tak ada artinya dibandingkan beban pikiran yang sedang menggelayuti benaknya.Pikirannya melayang jauh, menembus waktu ke masa-masa yang kini hanya tinggal kenangan. Tidak selalu indah, mungkin, tetapi ada momen-momen yang terus menghantuinya. Kenangan yang tidak pernah bisa ia lupakan, meski tahu mereka tidak
Istana Naga, Ibukota BaiyunDi tengah megahnya kompleks Istana Awan, Istana Naga berdiri dengan penuh wibawa. Pilar-pilar raksasa berukir naga emas menyambut siapapun yang mendekat, memancarkan aura keagungan yang seolah tak tergoyahkan oleh waktu. Namun, di balik keindahan dan kemegahannya, tersembunyi kegelisahan mendalam. Kaisar Tianjian, penguasa Kekaisaran Shenguang, kini tengah murung, menyendiri di balik dinding tebal kediamannya.Sudah beberapa hari lamanya, ia menolak bertemu siapa pun. Peradilan dan sidang penting diserahkan kepada Perdana Menteri Kanan dan Kiri. Hanya bisikan ketakutan dan keraguan yang tersisa di aula megah, seiring Kaisar terkurung dalam pergulatan batin.“Benarkah itu dia?” Suara Kaisar Tianjian terdengar berat dan serak. Tatapannya tajam, menusuk sosok Kasim Zhou yang berlutut dengan penuh hormat di hadapannya. Mata Kaisar memancarkan keraguan dan harap, mencari secercah kebenaran di wajah kasim yang setia menemani