Junjie berdiri di teras rumah beroda, matanya terpaku pada lautan luas yang membentang jauh di hadapannya. Matahari musim dingin yang pucat mulai merangkak ke barat, perlahan menghilang di balik cakrawala. Angin laut dingin membawa kepingan-kepingan salju yang berjatuhan seperti kristal kecil yang berkilauan di udara.
Ia mengulurkan tangan, membiarkan kepingan-kepingan salju jatuh perlahan memenuhi telapak tangannya yang terbuka. Udara dingin membuatnya kebas, menyelimuti tubuhnya dalam lapisan dingin yang menggigit.Namun, Junjie tak peduli. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan salju semakin menebal di pundaknya, seolah beratnya tumpukan salju itu tak ada artinya dibandingkan beban pikiran yang sedang menggelayuti benaknya.Pikirannya melayang jauh, menembus waktu ke masa-masa yang kini hanya tinggal kenangan. Tidak selalu indah, mungkin, tetapi ada momen-momen yang terus menghantuinya. Kenangan yang tidak pernah bisa ia lupakan, meski tahu mereka tidakIstana Naga, Ibukota BaiyunDi tengah megahnya kompleks Istana Awan, Istana Naga berdiri dengan penuh wibawa. Pilar-pilar raksasa berukir naga emas menyambut siapapun yang mendekat, memancarkan aura keagungan yang seolah tak tergoyahkan oleh waktu. Namun, di balik keindahan dan kemegahannya, tersembunyi kegelisahan mendalam. Kaisar Tianjian, penguasa Kekaisaran Shenguang, kini tengah murung, menyendiri di balik dinding tebal kediamannya.Sudah beberapa hari lamanya, ia menolak bertemu siapa pun. Peradilan dan sidang penting diserahkan kepada Perdana Menteri Kanan dan Kiri. Hanya bisikan ketakutan dan keraguan yang tersisa di aula megah, seiring Kaisar terkurung dalam pergulatan batin.“Benarkah itu dia?” Suara Kaisar Tianjian terdengar berat dan serak. Tatapannya tajam, menusuk sosok Kasim Zhou yang berlutut dengan penuh hormat di hadapannya. Mata Kaisar memancarkan keraguan dan harap, mencari secercah kebenaran di wajah kasim yang setia menemani
Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunRaja An Bang berdiri di tengah gazebo, tubuhnya tegap, namun terlihat tenang. Tangan-tangannya terkepal di belakang punggung, tatapannya tertuju jauh ke depan, menyusuri keindahan Taman Cahaya Salju. Taman itu merupakan bagian dari Manor Chu, kediaman pribadi Perdana Menteri Kiri Chu Wang. Sinar matahari musim dingin menyeruak lembut melalui celah-celah dedaunan bambu hitam yang menjulang anggun, membentuk pelindung alami di sekeliling taman. Udara dingin yang menggigit kulit bercampur dengan aroma segar dari bunga plum yang mulai bermekaran, membawa kehangatan terselubung dalam wangi yang menggugah kenangan.Manor Chu, salah satu kediaman tertua di Ibukota Baiyun, kini tampak sunyi, seolah kehilangan gema kejayaan masa lalunya. Pernah, nama keluarga Chu disegani dan dibicarakan di setiap sudut istana. Namun kini, keluarga itu memilih menepi dari hiruk-pikuk kekuasaan. Mereka tidak lagi mengejar posisi at
Raja An Bang menatap Chu Wang dalam-dalam, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu yang terpendam di balik sorot tenangnya. "Aku rasa, kau pasti sudah mendengar tentang keberadaan Pangeran Yongle di Kota Chunyu," ucapnya perlahan. Setiap kata diucapkan dengan hati-hati, seolah membawa beban perasaan yang sulit dijelaskan.Chu Wang menanggapi dengan senyum samar yang sulit diterka maknanya. Dengan gerakan yang tenang, ia mulai membuka papan catur yang terletak di hadapannya, suara kayu papan yang bergesekan nyaris tak terdengar di tengah suasana tenang ruangan.Bidak-bidak catur perlahan ia tata, jari-jarinya bergerak lembut, menunjukkan ketenangan yang tak tergoyahkan. "Sepertinya tidak ada yang bisa disembunyikan dari Raja An Bang," sahutnya dengan nada santai. Tatapan matanya tetap fokus pada papan catur, seolah apa yang ia hadapi hanyalah permainan sederhana, padahal setiap langkah mengandung perhitungan cermat.Raja An Bang terkekeh pelan. Di balik kelu
Kota YuehaiRumah beroda berjalan perlahan, roda-rodanya menjejak salju tipis yang menyelimuti jalanan kota Yuehai. Ren Hui tidak terburu-buru memacu keempat kuda yang menarik rumah tersebut. Kabut tipis dan keheningan di kota yang dilanda musim dingin membuatnya lebih berhati-hati. Tak ada gunanya mengambil risiko di tengah cuaca seperti ini."Di depan ada pasar. Kita berhenti di sana. Apakah kau setuju, Junjie?" serunya kepada pria tampan yang duduk di ruang tengah, bersandar dengan santai pada kursinya."Baiklah!" Junjie berseru dengan riang. Senyumnya merekah, lalu menoleh menatap wanita cantik di hadapannya. "Ye Hun, aku akan mengajakmu berkeliling pasar," katanya lembut.Wanita cantik itu terkejut. "Tidak perlu, Yang Mulia," sahutnya, suaranya tenang tapi penuh hormat, dan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Aiyo," Junjie mengeluh, lalu bertopang dagu dengan ekspresi malas. "Ye Hun, berapa kali kukatakan. Aku bukan lagi pangeran.
Ye Hun segera melangkah masuk ke dalam rumah beroda. Udara dingin yang menusuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di luar. Namun, ada alasan lain yang lebih mendalam. Ren Hui—pria yang tampak sederhana, namun selalu menyisakan aura misteri yang tidak pernah bisa ia pahami—membuat pikirannya kacau.Setiap kali pandangannya bertemu dengannya, ingatan-ingatan yang tak utuh berkelebat, muncul dalam serpihan-serpihan acak, menggiringnya ke dalam pusaran kebingungan yang tak berujung. Kepalanya serasa hendak pecah, ditindih oleh kilasan-kilasan masa lalu yang saling tumpang tindih, menyesakkan batin. Rasa lelah yang menjalar bukan hanya dari tubuhnya, tapi juga dari jiwanya yang semakin rapuh, tersesat dalam laut kenangan yang terputus-putus, tanpa arah.Ren Hui menatap punggung Ye Hun yang menjauh tanpa sepatah kata. Ia mengerti bahwa ada sesuatu di antara mereka yang tertinggal, tersembunyi di balik kabut ingatan yang buram. Namun, ia tahu lebih baik untuk tidak memak
Menjelang malam, kota Yuehai semakin tenggelam dalam kesunyian. Udara dingin menyelimuti setiap sudut kota. Hanya suara derak rumah beroda yang samar-samar terdengar, menyatu dengan desir angin, ketika rumah menjauhi pasar yang kini sepi.Di pinggiran kota, mereka berhenti. Ladang sunyi terbentang luas, menyambut mereka dengan hamparan putih salju yang turun perlahan, menyelimuti tanah. Angin malam yang dingin berhembus, membawa gigitan tajam yang menembus kulit hingga ke tulang."Sepertinya malam ini akan semakin dingin," gumam Ren Hui pelan, tangannya bergerak terampil mengikat tali kuda dan menyelimuti mereka dengan kain tebal agar tidak kedinginan. Tatapannya sejenak tertuju pada langit yang mulai gelap, sebelum beralih ke Junjie dan Ye Hun yang telah bersiap di dalam rumah. "Kita istirahat di sini. Salju turun makin lebat."Di dalam rumah kecil beroda itu, tungku di tengah ruangan masih menyala, meski hanya bara yang tersisa. Bara api yang
Ren Hui berdiri tegak di atas atap rumah beroda, tubuhnya diterangi sinar bulan yang seolah memantulkan kilauan pedang panjang di tangannya. Di sekelilingnya, lawan-lawannya bersiap untuk menyerang. Udara malam yang dingin menyelubungi mereka.Rambut hitam Ren Hui yang tergerai panjang berkibar anggun, mengikuti irama angin malam yang dingin. Jubah putihnya pun terhempas angin, berkibar bak menari bersama kibaran rambut hitamnya. Di balik ketenangan penampilannya, ada kekuatan yang mendidih, siap meledak kapan saja.Tanpa memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk bergerak lebih dulu, Ren Hui melesat maju dengan kecepatan kilat. Pedang di tangannya berkelebat, membelah udara dalam satu sapuan yang penuh kekuatan.Setiap tebasannya mengeluarkan angin panas, berdesir kuat seperti badai yang mengamuk. Jurus Pedang Surgawi yang ia kuasai berpadu sempurna dengan Pedang Musim Panas—dua teknik yang seakan menari bersama, menyulut kobaran api di setiap putaranny
Menjelang pagi, Junjie menghentikan rumah beroda di tepi hutan. Udara dingin yang menusuk kulit seolah mengepung seluruh tubuhnya, menggigilkan tulang-tulangnya. Kabut tipis melayang rendah, bercampur dengan embusan angin yang membekukan. Dia segera memasuki rumah beroda, membiarkan pintu kayu tua berderit menutup di belakangnya, mengunci hawa pagi yang dingin di luar."Baihua, berjagalah di sini," katanya pelan kepada rubah berbulu putih yang setia mengikuti dari belakang.Tanpa banyak gerakan, rubah itu duduk di depan pintu, lalu menyalak pelan seolah berjanji akan melindungi mereka. Junjie menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur kayu di sudut ruangan. Rasa dingin dari tubuhnya perlahan hilang, tergantikan oleh kehangatan dalam rumah beroda. Namun, matanya yang hampir terpejam kembali terbuka. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia bangkit perlahan, seolah dibebani pikiran yang berat, dan melangkah menuju dapur. Di sana, Ye