Raja An Bang menatap Chu Wang dalam-dalam, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu yang terpendam di balik sorot tenangnya. "Aku rasa, kau pasti sudah mendengar tentang keberadaan Pangeran Yongle di Kota Chunyu," ucapnya perlahan. Setiap kata diucapkan dengan hati-hati, seolah membawa beban perasaan yang sulit dijelaskan.
Chu Wang menanggapi dengan senyum samar yang sulit diterka maknanya. Dengan gerakan yang tenang, ia mulai membuka papan catur yang terletak di hadapannya, suara kayu papan yang bergesekan nyaris tak terdengar di tengah suasana tenang ruangan.Bidak-bidak catur perlahan ia tata, jari-jarinya bergerak lembut, menunjukkan ketenangan yang tak tergoyahkan. "Sepertinya tidak ada yang bisa disembunyikan dari Raja An Bang," sahutnya dengan nada santai. Tatapan matanya tetap fokus pada papan catur, seolah apa yang ia hadapi hanyalah permainan sederhana, padahal setiap langkah mengandung perhitungan cermat.Raja An Bang terkekeh pelan. Di balik keluKota YuehaiRumah beroda berjalan perlahan, roda-rodanya menjejak salju tipis yang menyelimuti jalanan kota Yuehai. Ren Hui tidak terburu-buru memacu keempat kuda yang menarik rumah tersebut. Kabut tipis dan keheningan di kota yang dilanda musim dingin membuatnya lebih berhati-hati. Tak ada gunanya mengambil risiko di tengah cuaca seperti ini."Di depan ada pasar. Kita berhenti di sana. Apakah kau setuju, Junjie?" serunya kepada pria tampan yang duduk di ruang tengah, bersandar dengan santai pada kursinya."Baiklah!" Junjie berseru dengan riang. Senyumnya merekah, lalu menoleh menatap wanita cantik di hadapannya. "Ye Hun, aku akan mengajakmu berkeliling pasar," katanya lembut.Wanita cantik itu terkejut. "Tidak perlu, Yang Mulia," sahutnya, suaranya tenang tapi penuh hormat, dan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Aiyo," Junjie mengeluh, lalu bertopang dagu dengan ekspresi malas. "Ye Hun, berapa kali kukatakan. Aku bukan lagi pangeran.
Ye Hun segera melangkah masuk ke dalam rumah beroda. Udara dingin yang menusuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di luar. Namun, ada alasan lain yang lebih mendalam. Ren Hui—pria yang tampak sederhana, namun selalu menyisakan aura misteri yang tidak pernah bisa ia pahami—membuat pikirannya kacau.Setiap kali pandangannya bertemu dengannya, ingatan-ingatan yang tak utuh berkelebat, muncul dalam serpihan-serpihan acak, menggiringnya ke dalam pusaran kebingungan yang tak berujung. Kepalanya serasa hendak pecah, ditindih oleh kilasan-kilasan masa lalu yang saling tumpang tindih, menyesakkan batin. Rasa lelah yang menjalar bukan hanya dari tubuhnya, tapi juga dari jiwanya yang semakin rapuh, tersesat dalam laut kenangan yang terputus-putus, tanpa arah.Ren Hui menatap punggung Ye Hun yang menjauh tanpa sepatah kata. Ia mengerti bahwa ada sesuatu di antara mereka yang tertinggal, tersembunyi di balik kabut ingatan yang buram. Namun, ia tahu lebih baik untuk tidak memak
Menjelang malam, kota Yuehai semakin tenggelam dalam kesunyian. Udara dingin menyelimuti setiap sudut kota. Hanya suara derak rumah beroda yang samar-samar terdengar, menyatu dengan desir angin, ketika rumah menjauhi pasar yang kini sepi.Di pinggiran kota, mereka berhenti. Ladang sunyi terbentang luas, menyambut mereka dengan hamparan putih salju yang turun perlahan, menyelimuti tanah. Angin malam yang dingin berhembus, membawa gigitan tajam yang menembus kulit hingga ke tulang."Sepertinya malam ini akan semakin dingin," gumam Ren Hui pelan, tangannya bergerak terampil mengikat tali kuda dan menyelimuti mereka dengan kain tebal agar tidak kedinginan. Tatapannya sejenak tertuju pada langit yang mulai gelap, sebelum beralih ke Junjie dan Ye Hun yang telah bersiap di dalam rumah. "Kita istirahat di sini. Salju turun makin lebat."Di dalam rumah kecil beroda itu, tungku di tengah ruangan masih menyala, meski hanya bara yang tersisa. Bara api yang
Ren Hui berdiri tegak di atas atap rumah beroda, tubuhnya diterangi sinar bulan yang seolah memantulkan kilauan pedang panjang di tangannya. Di sekelilingnya, lawan-lawannya bersiap untuk menyerang. Udara malam yang dingin menyelubungi mereka.Rambut hitam Ren Hui yang tergerai panjang berkibar anggun, mengikuti irama angin malam yang dingin. Jubah putihnya pun terhempas angin, berkibar bak menari bersama kibaran rambut hitamnya. Di balik ketenangan penampilannya, ada kekuatan yang mendidih, siap meledak kapan saja.Tanpa memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk bergerak lebih dulu, Ren Hui melesat maju dengan kecepatan kilat. Pedang di tangannya berkelebat, membelah udara dalam satu sapuan yang penuh kekuatan.Setiap tebasannya mengeluarkan angin panas, berdesir kuat seperti badai yang mengamuk. Jurus Pedang Surgawi yang ia kuasai berpadu sempurna dengan Pedang Musim Panas—dua teknik yang seakan menari bersama, menyulut kobaran api di setiap putaranny
Menjelang pagi, Junjie menghentikan rumah beroda di tepi hutan. Udara dingin yang menusuk kulit seolah mengepung seluruh tubuhnya, menggigilkan tulang-tulangnya. Kabut tipis melayang rendah, bercampur dengan embusan angin yang membekukan. Dia segera memasuki rumah beroda, membiarkan pintu kayu tua berderit menutup di belakangnya, mengunci hawa pagi yang dingin di luar."Baihua, berjagalah di sini," katanya pelan kepada rubah berbulu putih yang setia mengikuti dari belakang.Tanpa banyak gerakan, rubah itu duduk di depan pintu, lalu menyalak pelan seolah berjanji akan melindungi mereka. Junjie menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur kayu di sudut ruangan. Rasa dingin dari tubuhnya perlahan hilang, tergantikan oleh kehangatan dalam rumah beroda. Namun, matanya yang hampir terpejam kembali terbuka. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia bangkit perlahan, seolah dibebani pikiran yang berat, dan melangkah menuju dapur. Di sana, Ye
Ye Hun melangkah perlahan di antara pepohonan plum yang diselimuti salju, ranting-rantingnya dibalut lapisan es tipis yang berkilauan di bawah sinar matahari musim dingin. Udara dingin menyapu kulitnya, meninggalkan sensasi beku yang meresap. Hutan itu terasa begitu sunyi; hanya desiran angin tipis yang terkadang menyusup di antara dedaunan kering. Dia memandang sekeliling dengan waspada, memastikan dirinya tidak terlalu jauh dari rumah beroda yang ia tinggalkan di tepi hutan. "Wah, ternyata masih ada banyak buah plum tersisa," gumamnya pelan, suaranya nyaris hilang di antara hembusan angin. Matanya yang tajam tertuju pada setangkai plum yang masih dipenuhi buah. Jari jemarinya yang lentik mulai meraih ranting itu. Dengan gerakan lembut, dia mematahkan ranting itu lalu beralih ke ranting lain, di mana bunga plum yang mekar di tengah musim dingin tampak seperti keajaiban alam. Setangkai bunga yang melawan beku, seolah menolak tunduk pada
Rumah beroda itu kembali bergerak pelan setelah beberapa hari beristirahat di tengah hutan plum. Udara dingin yang menggigit semakin menyelimuti perjalanan mereka, menyelusup masuk melalui celah-celah kecil rumah dan mengelilingi seperti kabut putih tipis yang tak terlihat. Kondisi Ren Hui mulai membaik. Sedangkan Junjie duduk di ruang tengah, mengenakan mantel tebal seperti biasanya, memperhatikan peta yang terhampar di atas meja kayu. Hawa dingin membuatnya memilih untuk mengurung diri di dalam rumah beroda.Ye Hun berkali-kali mencoba membujuknya untuk berbaring di peti mati giok lavender yang berkilauan di sudut ruangan. Namun, pria tampan itu menolak mentah-mentah. Setelah beberapa kali gagal meyakinkan, Ye Hun akhirnya menyerah, menarik napas panjang sebelum kembali ke dapur."Ren Hui! Kemana kita sekarang?" Suara Junjie tiba-tiba memecah keheningan, penuh rasa ingin tahu yang dalam. Tatapannya tertuju pada pintu rumah beroda, melihat Ren Hui yang d
Kota Jinshan tampak berselimut putih saat musim dingin tiba, seolah berdiam dalam dekapan dingin, namun tetap menampakkan denyut kehidupannya. Meski tak seceria musim semi atau musim panas, kesibukan masih terasa di udara. Toko-toko, kedai, dan pasar tetap beroperasi, walau tidak hingga larut malam seperti biasanya. Hembusan angin membawa serpihan salju yang melayang-layang, menari di antara bangunan yang berjajar rapat di sisi jalan. Aroma asap dari cerobong-cerobong rumah menyebar di udara, membawa serta wangi kayu bakar dan makanan yang mengepul, menyatu dengan dinginnya udara.Di dalam rumah beroda yang melaju perlahan menuju pusat kota, Ye Hun duduk terdiam di ruang tengah, matanya berbinar memandangi pemandangan dari jendela. Deretan rumah yang berdiri kokoh, orang-orang yang berjalan sibuk dengan mantel tebal, semuanya tampak seperti lukisan hidup yang bergerak lambat. Kepulan asap dari atap-atap rumah menciptakan rasa hangat di antara salju yang dingin, ko
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"