Share

Asing Tetapi Akrab

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-10-15 07:00:47

Kota Yuehai

Rumah beroda berjalan perlahan, roda-rodanya menjejak salju tipis yang menyelimuti jalanan kota Yuehai. Ren Hui tidak terburu-buru memacu keempat kuda yang menarik rumah tersebut. Kabut tipis dan keheningan di kota yang dilanda musim dingin membuatnya lebih berhati-hati. Tak ada gunanya mengambil risiko di tengah cuaca seperti ini.

"Di depan ada pasar. Kita berhenti di sana. Apakah kau setuju, Junjie?" serunya kepada pria tampan yang duduk di ruang tengah, bersandar dengan santai pada kursinya.

"Baiklah!" Junjie berseru dengan riang. Senyumnya merekah, lalu menoleh menatap wanita cantik di hadapannya. "Ye Hun, aku akan mengajakmu berkeliling pasar," katanya lembut.

Wanita cantik itu terkejut. "Tidak perlu, Yang Mulia," sahutnya, suaranya tenang tapi penuh hormat, dan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Aiyo," Junjie mengeluh, lalu bertopang dagu dengan ekspresi malas. "Ye Hun, berapa kali kukatakan. Aku bukan lagi pangeran.
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Canggung

    Ye Hun segera melangkah masuk ke dalam rumah beroda. Udara dingin yang menusuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di luar. Namun, ada alasan lain yang lebih mendalam. Ren Hui—pria yang tampak sederhana, namun selalu menyisakan aura misteri yang tidak pernah bisa ia pahami—membuat pikirannya kacau.Setiap kali pandangannya bertemu dengannya, ingatan-ingatan yang tak utuh berkelebat, muncul dalam serpihan-serpihan acak, menggiringnya ke dalam pusaran kebingungan yang tak berujung. Kepalanya serasa hendak pecah, ditindih oleh kilasan-kilasan masa lalu yang saling tumpang tindih, menyesakkan batin. Rasa lelah yang menjalar bukan hanya dari tubuhnya, tapi juga dari jiwanya yang semakin rapuh, tersesat dalam laut kenangan yang terputus-putus, tanpa arah.Ren Hui menatap punggung Ye Hun yang menjauh tanpa sepatah kata. Ia mengerti bahwa ada sesuatu di antara mereka yang tertinggal, tersembunyi di balik kabut ingatan yang buram. Namun, ia tahu lebih baik untuk tidak memak

    Last Updated : 2024-10-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Serangan Di Tengah Malam Bersalju

    Menjelang malam, kota Yuehai semakin tenggelam dalam kesunyian. Udara dingin menyelimuti setiap sudut kota. Hanya suara derak rumah beroda yang samar-samar terdengar, menyatu dengan desir angin, ketika rumah menjauhi pasar yang kini sepi.Di pinggiran kota, mereka berhenti. Ladang sunyi terbentang luas, menyambut mereka dengan hamparan putih salju yang turun perlahan, menyelimuti tanah. Angin malam yang dingin berhembus, membawa gigitan tajam yang menembus kulit hingga ke tulang."Sepertinya malam ini akan semakin dingin," gumam Ren Hui pelan, tangannya bergerak terampil mengikat tali kuda dan menyelimuti mereka dengan kain tebal agar tidak kedinginan. Tatapannya sejenak tertuju pada langit yang mulai gelap, sebelum beralih ke Junjie dan Ye Hun yang telah bersiap di dalam rumah. "Kita istirahat di sini. Salju turun makin lebat."Di dalam rumah kecil beroda itu, tungku di tengah ruangan masih menyala, meski hanya bara yang tersisa. Bara api yang

    Last Updated : 2024-10-15
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Satu Serangan Untuk Mengakhiri Pertarungan

    Ren Hui berdiri tegak di atas atap rumah beroda, tubuhnya diterangi sinar bulan yang seolah memantulkan kilauan pedang panjang di tangannya. Di sekelilingnya, lawan-lawannya bersiap untuk menyerang. Udara malam yang dingin menyelubungi mereka.Rambut hitam Ren Hui yang tergerai panjang berkibar anggun, mengikuti irama angin malam yang dingin. Jubah putihnya pun terhempas angin, berkibar bak menari bersama kibaran rambut hitamnya. Di balik ketenangan penampilannya, ada kekuatan yang mendidih, siap meledak kapan saja.Tanpa memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk bergerak lebih dulu, Ren Hui melesat maju dengan kecepatan kilat. Pedang di tangannya berkelebat, membelah udara dalam satu sapuan yang penuh kekuatan.Setiap tebasannya mengeluarkan angin panas, berdesir kuat seperti badai yang mengamuk. Jurus Pedang Surgawi yang ia kuasai berpadu sempurna dengan Pedang Musim Panas—dua teknik yang seakan menari bersama, menyulut kobaran api di setiap putaranny

    Last Updated : 2024-10-16
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Berhenti Lagi

    Menjelang pagi, Junjie menghentikan rumah beroda di tepi hutan. Udara dingin yang menusuk kulit seolah mengepung seluruh tubuhnya, menggigilkan tulang-tulangnya. Kabut tipis melayang rendah, bercampur dengan embusan angin yang membekukan. Dia segera memasuki rumah beroda, membiarkan pintu kayu tua berderit menutup di belakangnya, mengunci hawa pagi yang dingin di luar."Baihua, berjagalah di sini," katanya pelan kepada rubah berbulu putih yang setia mengikuti dari belakang.Tanpa banyak gerakan, rubah itu duduk di depan pintu, lalu menyalak pelan seolah berjanji akan melindungi mereka. Junjie menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas tempat tidur kayu di sudut ruangan. Rasa dingin dari tubuhnya perlahan hilang, tergantikan oleh kehangatan dalam rumah beroda. Namun, matanya yang hampir terpejam kembali terbuka. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia bangkit perlahan, seolah dibebani pikiran yang berat, dan melangkah menuju dapur. Di sana, Ye

    Last Updated : 2024-10-16
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Seumur Hidup

    Ye Hun melangkah perlahan di antara pepohonan plum yang diselimuti salju, ranting-rantingnya dibalut lapisan es tipis yang berkilauan di bawah sinar matahari musim dingin. Udara dingin menyapu kulitnya, meninggalkan sensasi beku yang meresap. Hutan itu terasa begitu sunyi; hanya desiran angin tipis yang terkadang menyusup di antara dedaunan kering. Dia memandang sekeliling dengan waspada, memastikan dirinya tidak terlalu jauh dari rumah beroda yang ia tinggalkan di tepi hutan. "Wah, ternyata masih ada banyak buah plum tersisa," gumamnya pelan, suaranya nyaris hilang di antara hembusan angin. Matanya yang tajam tertuju pada setangkai plum yang masih dipenuhi buah. Jari jemarinya yang lentik mulai meraih ranting itu. Dengan gerakan lembut, dia mematahkan ranting itu lalu beralih ke ranting lain, di mana bunga plum yang mekar di tengah musim dingin tampak seperti keajaiban alam. Setangkai bunga yang melawan beku, seolah menolak tunduk pada

    Last Updated : 2024-10-16
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menuju Jinshan

    Rumah beroda itu kembali bergerak pelan setelah beberapa hari beristirahat di tengah hutan plum. Udara dingin yang menggigit semakin menyelimuti perjalanan mereka, menyelusup masuk melalui celah-celah kecil rumah dan mengelilingi seperti kabut putih tipis yang tak terlihat. Kondisi Ren Hui mulai membaik. Sedangkan Junjie duduk di ruang tengah, mengenakan mantel tebal seperti biasanya, memperhatikan peta yang terhampar di atas meja kayu. Hawa dingin membuatnya memilih untuk mengurung diri di dalam rumah beroda.Ye Hun berkali-kali mencoba membujuknya untuk berbaring di peti mati giok lavender yang berkilauan di sudut ruangan. Namun, pria tampan itu menolak mentah-mentah. Setelah beberapa kali gagal meyakinkan, Ye Hun akhirnya menyerah, menarik napas panjang sebelum kembali ke dapur."Ren Hui! Kemana kita sekarang?" Suara Junjie tiba-tiba memecah keheningan, penuh rasa ingin tahu yang dalam. Tatapannya tertuju pada pintu rumah beroda, melihat Ren Hui yang d

    Last Updated : 2024-10-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Jinshan Di Musim Dingin

    Kota Jinshan tampak berselimut putih saat musim dingin tiba, seolah berdiam dalam dekapan dingin, namun tetap menampakkan denyut kehidupannya. Meski tak seceria musim semi atau musim panas, kesibukan masih terasa di udara. Toko-toko, kedai, dan pasar tetap beroperasi, walau tidak hingga larut malam seperti biasanya. Hembusan angin membawa serpihan salju yang melayang-layang, menari di antara bangunan yang berjajar rapat di sisi jalan. Aroma asap dari cerobong-cerobong rumah menyebar di udara, membawa serta wangi kayu bakar dan makanan yang mengepul, menyatu dengan dinginnya udara.Di dalam rumah beroda yang melaju perlahan menuju pusat kota, Ye Hun duduk terdiam di ruang tengah, matanya berbinar memandangi pemandangan dari jendela. Deretan rumah yang berdiri kokoh, orang-orang yang berjalan sibuk dengan mantel tebal, semuanya tampak seperti lukisan hidup yang bergerak lambat. Kepulan asap dari atap-atap rumah menciptakan rasa hangat di antara salju yang dingin, ko

    Last Updated : 2024-10-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Obsesi

    Kediaman Keberuntungan Besar, Kota HuangfengPria berjubah biru itu duduk bersandar dengan santai di kursi kayu besar, dagunya bertumpu pada tangannya, sementara matanya setengah terpejam, memperhatikan bawahannya yang berdiri berbaris di hadapannya."Jadi, itu Pedang Musim Panas dan jurusnya yang dipadukan dengan jurus lain?" tanyanya, suara rendahnya tenang, namun ada getaran dingin yang tersirat di dalamnya. Tanpa membuka sepenuhnya matanya, dia tetap tenang, seolah pertanyaan yang diajukan hanyalah percakapan biasa."Betul, Tuanku. Jurus itu sangat dahsyat. Kami tidak mampu mengatasinya," lapor salah satu bawahannya, suaranya terdengar gemetar meski dia berusaha tetap bersikap hormat dan penuh keyakinan."Hm," pria berjubah biru itu mendengus kecil, suaranya mengambang di udara. "Itu memang sulit dihadapi. Namun, kalian yakin dia bukan Pangeran ke-tujuh, Pangeran Yongle?"Mata pria itu sedikit terbuka, sorot dinginnya menusuk sejenak

    Last Updated : 2024-10-17

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status