Rumah beroda itu kembali bergerak pelan setelah beberapa hari beristirahat di tengah hutan plum. Udara dingin yang menggigit semakin menyelimuti perjalanan mereka, menyelusup masuk melalui celah-celah kecil rumah dan mengelilingi seperti kabut putih tipis yang tak terlihat.
Kondisi Ren Hui mulai membaik. Sedangkan Junjie duduk di ruang tengah, mengenakan mantel tebal seperti biasanya, memperhatikan peta yang terhampar di atas meja kayu. Hawa dingin membuatnya memilih untuk mengurung diri di dalam rumah beroda.Ye Hun berkali-kali mencoba membujuknya untuk berbaring di peti mati giok lavender yang berkilauan di sudut ruangan. Namun, pria tampan itu menolak mentah-mentah. Setelah beberapa kali gagal meyakinkan, Ye Hun akhirnya menyerah, menarik napas panjang sebelum kembali ke dapur."Ren Hui! Kemana kita sekarang?" Suara Junjie tiba-tiba memecah keheningan, penuh rasa ingin tahu yang dalam. Tatapannya tertuju pada pintu rumah beroda, melihat Ren Hui yang dKota Jinshan tampak berselimut putih saat musim dingin tiba, seolah berdiam dalam dekapan dingin, namun tetap menampakkan denyut kehidupannya. Meski tak seceria musim semi atau musim panas, kesibukan masih terasa di udara. Toko-toko, kedai, dan pasar tetap beroperasi, walau tidak hingga larut malam seperti biasanya. Hembusan angin membawa serpihan salju yang melayang-layang, menari di antara bangunan yang berjajar rapat di sisi jalan. Aroma asap dari cerobong-cerobong rumah menyebar di udara, membawa serta wangi kayu bakar dan makanan yang mengepul, menyatu dengan dinginnya udara.Di dalam rumah beroda yang melaju perlahan menuju pusat kota, Ye Hun duduk terdiam di ruang tengah, matanya berbinar memandangi pemandangan dari jendela. Deretan rumah yang berdiri kokoh, orang-orang yang berjalan sibuk dengan mantel tebal, semuanya tampak seperti lukisan hidup yang bergerak lambat. Kepulan asap dari atap-atap rumah menciptakan rasa hangat di antara salju yang dingin, ko
Kediaman Keberuntungan Besar, Kota HuangfengPria berjubah biru itu duduk bersandar dengan santai di kursi kayu besar, dagunya bertumpu pada tangannya, sementara matanya setengah terpejam, memperhatikan bawahannya yang berdiri berbaris di hadapannya."Jadi, itu Pedang Musim Panas dan jurusnya yang dipadukan dengan jurus lain?" tanyanya, suara rendahnya tenang, namun ada getaran dingin yang tersirat di dalamnya. Tanpa membuka sepenuhnya matanya, dia tetap tenang, seolah pertanyaan yang diajukan hanyalah percakapan biasa."Betul, Tuanku. Jurus itu sangat dahsyat. Kami tidak mampu mengatasinya," lapor salah satu bawahannya, suaranya terdengar gemetar meski dia berusaha tetap bersikap hormat dan penuh keyakinan."Hm," pria berjubah biru itu mendengus kecil, suaranya mengambang di udara. "Itu memang sulit dihadapi. Namun, kalian yakin dia bukan Pangeran ke-tujuh, Pangeran Yongle?"Mata pria itu sedikit terbuka, sorot dinginnya menusuk sejenak
Kediaman Pinus Hijau, Kota Lingyun Di tengah deru angin yang membawa butiran salju tipis, Kediaman Pinus Hijau terlihat sunyi dan damai, seolah terlelap di bawah naungan musim dingin. Di antara ranting-ranting pinus yang tertutup salju, Song Mingyu berlatih tanpa henti. Setiap tebasan dan ayunan pedangnya terarah, mengalir bagaikan air yang menari di atas sungai beku. Udara dingin menggigit kulit, namun Mingyu tidak peduli. Peluh tipis menetes dari dahinya, bercampur dengan salju yang jatuh pelan-pelan, namun konsentrasinya tetap utuh pada jurus-jurus yang telah diajarkan oleh Junjie.Di halaman terbuka, pemandangan musim dingin yang sunyi terasa seolah terpahat dalam lukisan indah, sementara langkah-langkah kakinya mengusik ketenangan salju. Pedang Naga Langit di tangannya berkilau lemah, terpantul cahaya langit yang suram."Apakah itu… Pedang Naga Langit?" Suara lembut namun tegas memecah keheningan. Dari beranda, Nyonya Su Yang berdiri anggun
Kota Jinshan, meski diselimuti musim dingin yang semakin mencekam, tetap hidup dengan denyut keramaiannya. Di sepanjang jalan, pedagang dan pengunjung berlalu-lalang, menciptakan simfoni langkah kaki dan tawa yang membaur dengan angin dingin. Udara yang menusuk tulang tak mampu memadamkan semangat kota ini—sebuah tempat yang makmur berkat kekayaan tambangnya. Ren Hui dan Junjie melangkah tenang di antara kerumunan, baru saja menagih pembayaran arak di salah satu restoran terbesar di kota.Junjie menarik napas dalam, merasakan udara dingin menelusup di balik tirai doupeng putih yang menutupi wajahnya. "Penduduk kota ini masih saja royal seperti dahulu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Meski jauh dari ibu kota, ia tetap berhati-hati. Jinshan mungkin tampak seperti kota kecil, namun selalu ada kemungkinan wajahnya dikenali sebagai Pangeran Yongle."Hasil tambang membuat mereka kaya raya," sahut Ren Hui ringan, nada suaranya penuh kehangatan, seakan-akan
Ren Hui masih menggenggam erat tangan Junjie, menariknya dengan langkah terburu-buru ke suatu tempat. Di hadapan mereka, sebuah papan kayu besar bertuliskan Paviliun Tambang Berharga berdiri kokoh, menghiasi pintu bangunan megah dengan huruf-huruf yang terukir tegas dan indah. Langkah Ren Hui terhenti di sana, tepat di depan pintu masuk.Keduanya mendongak, menatap papan nama yang terasa begitu akrab. Kenangan lama menyelinap ke dalam benak mereka. Beberapa tahun silam, mereka pernah membuat kekacauan di tempat ini—nyaris menghancurkan segalanya. Namun, dengan kecerdikan dan negosiasi yang tak terduga, mereka berhasil menyelamatkan situasi, berujung pada kesepakatan yang justru menguntungkan semua pihak."Sudah waktunya mengunjungi kawan lama," Ren Hui berbisik, melirik ke arah Junjie. Senyumnya lebar, seringai jahil tergambar jelas di wajahnya. Junjie hanya mendesah panjang sebagai jawaban. Tanpa peringatan, ia menginjak kaki Ren Hui dengan tegas.
Pelayan itu membawa Junjie dan Ren Hui menuju bagian dalam toko. Suasana di dalam ruangan terasa lengang, namun ada sentuhan kehangatan dari aroma kayu tua dan lilin yang memancarkan cahaya lembut. Udara terasa sedikit pengap karena ruangan yang tidak memiliki jendela. Junjie dan Ren Hui menatap sekeliling, memori lama muncul kembali di benak mereka."Tempat ini tidak banyak berubah," bisik Ren Hui, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Junjie mengangguk pelan. "Jangan bicara terlalu banyak," balasnya lirih, hampir tidak terdengar."Tuan, silakan masuk," ucap pelayan itu dengan sopan, menghentikan langkah di sudut ruangan. Dengan lincah, ia membuka pintu kayu di ujung ruangan. Ren Hui dan Junjie saling bertukar pandang, sejenak merasakan keraguan yang mulai menyergap benak mereka."Ada Tuan Yang di dalam, bersama beberapa tamu lain yang tertarik pada batu berharga itu," lanjut pelayan menjelaskan, seakan ingin menghapus keraguan yang terlihat dari
Ren Hui dan Junjie berjalan perlahan di sepanjang jalan kota yang kini hampir sunyi. Hujan salju turun dengan lebat, butir-butir putih itu menari di udara sebelum akhirnya menumpuk di jalanan, membuat langkah mereka tertahan. Angin dingin menghembus tajam, menusuk hingga ke tulang, memaksa mereka untuk memperlambat langkah dan akhirnya memutuskan berhenti di sebuah kedai teh kecil di tepi jalan.“Kita berteduh di sini,” ujar Ren Hui, sambil mengibaskan salju yang melekat di mantelnya. Suaranya terdengar serak oleh dingin, tetapi tetap hangat di tengah suasana beku.Begitu memasuki kedai, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari tempat itu, mereka bisa melihat jalanan yang perlahan tertutup selimut putih salju. Ren Hui menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir tanah liat, uap tipis mengepul di udara dingin ruangan itu. Dia menyodorkan satu cangkir kepada Junjie.“Junjie, kau tak perlu ikut pelelangan batu kristal itu,” ucap Ren Hui, suaranya lemb
Bu Hui memandang tiga sosok yang berjalan beriringan, ditemani seekor rubah putih melangkah dengan lincah. Hatinya terasa tergerak, bayang-bayang masa lalu seketika membanjiri benaknya, menyelusup ke dalam relung yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Sebuah senyum samar terbit di bibirnya tanpa ia sadari. "Rasanya seperti melihat kalian bertiga lagi, seperti dahulu," gumamnya, suara lembutnya nyaris tersapu desiran angin beku yang berhembus sepoi-sepoi. Tatapannya tak lepas dari ketiga sosok itu, langkah mereka semakin jauh hingga menghilang di tikungan, lenyap ditelan kabut salju yang kian pekat. Bu Hui menarik napas panjang, menutup matanya sejenak, meresapi kesepian yang mendera hatinya. Saat ia mendongakkan kepala ke langit kelabu, udara dingin yang menusuk tulang menyeruak ke dalam paru-parunya, membuat hatinya terasa semakin membeku. Perlahan, ia membuka mata kembali, membiarkan bayangan ketiga orang yang tersisa tadi memenuhi bena
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam