Share

Di Bawah Hujan Salju

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-19 11:00:31

Ren Hui dan Junjie berjalan perlahan di sepanjang jalan kota yang kini hampir sunyi. Hujan salju turun dengan lebat, butir-butir putih itu menari di udara sebelum akhirnya menumpuk di jalanan, membuat langkah mereka tertahan. Angin dingin menghembus tajam, menusuk hingga ke tulang, memaksa mereka untuk memperlambat langkah dan akhirnya memutuskan berhenti di sebuah kedai teh kecil di tepi jalan.

“Kita berteduh di sini,” ujar Ren Hui, sambil mengibaskan salju yang melekat di mantelnya. Suaranya terdengar serak oleh dingin, tetapi tetap hangat di tengah suasana beku.

Begitu memasuki kedai, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari tempat itu, mereka bisa melihat jalanan yang perlahan tertutup selimut putih salju. Ren Hui menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir tanah liat, uap tipis mengepul di udara dingin ruangan itu. Dia menyodorkan satu cangkir kepada Junjie.

“Junjie, kau tak perlu ikut pelelangan batu kristal itu,” ucap Ren Hui, suaranya lemb
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bu Hui

    Bu Hui memandang tiga sosok yang berjalan beriringan, ditemani seekor rubah putih melangkah dengan lincah. Hatinya terasa tergerak, bayang-bayang masa lalu seketika membanjiri benaknya, menyelusup ke dalam relung yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Sebuah senyum samar terbit di bibirnya tanpa ia sadari. "Rasanya seperti melihat kalian bertiga lagi, seperti dahulu," gumamnya, suara lembutnya nyaris tersapu desiran angin beku yang berhembus sepoi-sepoi. Tatapannya tak lepas dari ketiga sosok itu, langkah mereka semakin jauh hingga menghilang di tikungan, lenyap ditelan kabut salju yang kian pekat. Bu Hui menarik napas panjang, menutup matanya sejenak, meresapi kesepian yang mendera hatinya. Saat ia mendongakkan kepala ke langit kelabu, udara dingin yang menusuk tulang menyeruak ke dalam paru-parunya, membuat hatinya terasa semakin membeku. Perlahan, ia membuka mata kembali, membiarkan bayangan ketiga orang yang tersisa tadi memenuhi bena

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Paviliun Melodi Bambu Yang Damai

    Paviliun Melodi Bambu Desir angin dingin mengalir lembut di antara batang-batang bambu yang tumbuh rapat di Komplek Istana Musim Semi. Salju tipis melapisi batang hijau itu, menghasilkan gesekan halus yang terdengar seperti melodi seruling bambu, membawa keheningan yang menenangkan. Di tengah-tengah rumpun bambu, berdiri Paviliun Melodi Bambu, kediaman Putri Tian Xing Hui. Paviliun ini, meski berjarak jauh dari Istana Seribu Bunga, menawarkan ketenangan yang didambakan oleh putri dari mendiang Gui Fei, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan istana.Pagi itu, suasana paviliun terasa hening, seperti hari-hari sebelumnya. Para pelayan bekerja dengan diam, menyapu salju dari jalan setapak dan memastikan setiap sudut bersih. Paviliun ini memang jarang dikunjungi, kecuali oleh beberapa orang kepercayaan, termasuk Kasim Zheng dan Chu Wang. Bahkan Kaisar jarang menemuinya, menjadikan sang putri terbiasa dengan kesendirian yang damai."Kasim Zheng, a

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar Yang Menghibur

    Pondok Bambu Hijau, Desa YehuaDi dalam Pondok Bambu Hijau, suasana terasa hening, ketenangan menyelusup hingga ke setiap sudut ruangan. Hanya suara lembut aliran teh yang dituangkan ke dalam cangkir porselen yang memecah keheningan. Nyonya Gao, seorang wanita anggun dengan mantel merah anggur, duduk tenang di sisi meja rendah, menyesap tehnya perlahan. Gerakan tangannya lembut dan penuh keanggunan, seolah setiap tegukan dirancang dengan hati-hati.Aroma melati yang samar mengisi udara, memperkuat aura tenteram yang mengelilinginya. Di hadapannya, Wen Rou, pria berhanfu hitam, menundukkan kepala dengan penuh hormat, sikapnya memancarkan kesopanan yang nyaris tanpa cela."Wen Rou, ada sesuatu yang perlu kau laporkan padaku?" Suara Nyonya Gao mengalun halus, nyaris seperti angin lembut yang menyapu dedaunan bambu di luar. Nada suaranya tenang namun tegas, memecah keheningan yang menyelimuti.Wen Rou mengangkat kepalanya sejenak, namun segera kembali

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pemalas

    Kota Jinshan Tungku perapian di sudut ruangan menyala terang, api menghangatkan suasana yang semula dingin. Hawa hangatnya menyebar perlahan, meresap ke dalam setiap celah rumah beroda itu, menciptakan kontras yang tajam dengan keadaan di luar. Hujan salju deras terus mengguyur tanpa henti, melapisi padang rumput yang mengelilingi mereka dengan selimut putih tebal, membuat pemandangan berubah menjadi hamparan padang salju yang sunyi. Gundukan-gundukan memutih terbentuk dalam sekejap, mengubur segalanya di bawah keheningan musim dingin.Di dalam ruangan yang nyaman, Ye Hun duduk di kursi rendah, tangannya terampil memegang jarum dan selembar kain, menjahit sebuah gaun untuknya sendiri. Di hadapannya, Junjie duduk malas di meja, dagunya bertopang di tangan, matanya setengah terpejam. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti seseorang yang betah tenggelam dalam kemalasan, menikmati ketenangan tanpa peduli pada dunia luar. Di bawah ca

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Phoenix Dalam Sangkar Emas

    Kota Beifeng, Perbatasan UtaraSalju tebal menutupi setiap sudut Kota Beifeng, menyelimuti atap-atap rumah dan jalan-jalan sempit yang sepi. Udara dingin yang menggigit, menusuk hingga ke sumsum tulang, memaksa penduduk kota untuk bersembunyi di balik pintu-pintu kayu mereka. Kota kecil di perbatasan Utara Kekaisaran Shenguang ini adalah pemberhentian terakhir sebelum hamparan padang sabana yang luas, yang membentang tak berujung menuju gurun ganas Kekaisaran Beili.Angin utara berhembus tajam, mengangkat serpihan salju ke udara, mempertegas kesunyian kelabu yang menyelimuti. Langit berwarna abu-abu pucat, tak terlihat di mana awan berakhir dan tanah bersalju dimulai.Di sebuah kamar penginapan sederhana, seorang gadis duduk termenung di depan jendela, tubuhnya diselimuti mantel putih berlapis bulu mink merah muda. Meski bulu halus itu melekat di bahunya, kehangatan tetap terasa jauh, seolah-olah udara dingin berhasil menembus hingga ke dalam hat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Merepotkan

    Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunChu Wang berdiri tegak di dalam gazebo, memandang jauh ke Taman Cahaya Salju yang seluruhnya diselimuti lapisan salju tebal. Pohon-pohon plum pucat menjulang diam, ranting-rantingnya yang kurus tertutupi putihnya embun beku. Batu-batu setapak yang berkelok-kelok di antara taman tampak seperti mutiara yang terselip di balik tirai salju. Udara musim dingin yang tajam mengiris kulit, namun sosok Chu Wang tetap kokoh, tidak tergerak oleh dinginnya. Mantel merah anggurnya berkibar lembut terkena angin, memperkuat kesan wibawa dan keteguhan yang terpancar dari dirinya.Di belakangnya, Mo Yuan berdiri dengan kepala tertunduk, tampak enggan untuk mengangkat wajah. Kesetiaan bawahannya itu tak perlu dipertanyakan, namun hari ini ada keraguan yang tergantung di udara, mungkin karena kabar penting yang baru saja dilaporkannya dari perbatasan Utara. Ketegangan yang tak kasatmata menyelinap di antara serpihan salju ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tarian Payung Di Bawah Salju

    Kota JinshanSalju turun semakin deras selama beberapa hari terakhir, menutupi Kota Jinshan dengan selimut putih yang tak berujung. Ren Hui, Junjie, Ye Hun, dan Baihua terkurung di dalam rumah beroda, terjebak oleh cuaca yang tak bersahabat. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa serpihan es yang mengetuk-ngetuk jendela, seolah mencoba menerobos masuk ke dalam kehangatan rumah beroda mereka. Di luar, hanya ada kesunyian yang menggantung berat, memantulkan kesendirian kota yang tertutup salju."Membosankan," keluh Junjie, suaranya rendah namun cukup untuk terdengar jelas di dalam ruangan. Ia duduk dengan malas di kursi kayu yang sudah usang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja seakan berharap ritme monoton itu bisa mengusir kekosongan yang ia rasakan.Tatapannya kosong, tenggelam dalam kebosanan yang dalam, sementara wajahnya memancarkan ketidakpedulian pada apa pun yang terjadi di sekitarnya.Ye Hun meliriknya sekilas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Melodi Musim Dingin

    Beberapa hari berlalu, dan cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meski sesekali salju masih turun, intensitasnya jauh berkurang. Ren Hui, seperti biasa, mengendarai rumah beroda mereka, keluar perlahan dari hamparan salju yang memutih.Rumah beroda itu berderak pelan, memecah keheningan di atas jalan setapak yang dilapisi salju tipis. Kuda-kuda yang menarik rumah beroda berlari pelan, meninggalkan jejak samar di atas salju yang lembut. Gemerincing lonceng di leher kuda-kuda itu terdengar lembut, berpadu harmonis dengan irama langkah kaki mereka. Suara-suara itu bagai alunan musik yang menyertai perjalanan mereka, menghidupkan suasana yang tenang namun penuh pesona.Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk mulai tampak. Beberapa anak kecil berlarian keluar rumah, tertarik oleh suara lonceng dan derap kuda yang seolah menjadi melodi musim dingin. Ren Hui, dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya, melambaikan tangan kepada mereka."Anak-

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status