Paviliun Melodi Bambu
Desir angin dingin mengalir lembut di antara batang-batang bambu yang tumbuh rapat di Komplek Istana Musim Semi. Salju tipis melapisi batang hijau itu, menghasilkan gesekan halus yang terdengar seperti melodi seruling bambu, membawa keheningan yang menenangkan.Di tengah-tengah rumpun bambu, berdiri Paviliun Melodi Bambu, kediaman Putri Tian Xing Hui. Paviliun ini, meski berjarak jauh dari Istana Seribu Bunga, menawarkan ketenangan yang didambakan oleh putri dari mendiang Gui Fei, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan istana.Pagi itu, suasana paviliun terasa hening, seperti hari-hari sebelumnya. Para pelayan bekerja dengan diam, menyapu salju dari jalan setapak dan memastikan setiap sudut bersih. Paviliun ini memang jarang dikunjungi, kecuali oleh beberapa orang kepercayaan, termasuk Kasim Zheng dan Chu Wang. Bahkan Kaisar jarang menemuinya, menjadikan sang putri terbiasa dengan kesendirian yang damai."Kasim Zheng, aPondok Bambu Hijau, Desa YehuaDi dalam Pondok Bambu Hijau, suasana terasa hening, ketenangan menyelusup hingga ke setiap sudut ruangan. Hanya suara lembut aliran teh yang dituangkan ke dalam cangkir porselen yang memecah keheningan. Nyonya Gao, seorang wanita anggun dengan mantel merah anggur, duduk tenang di sisi meja rendah, menyesap tehnya perlahan. Gerakan tangannya lembut dan penuh keanggunan, seolah setiap tegukan dirancang dengan hati-hati.Aroma melati yang samar mengisi udara, memperkuat aura tenteram yang mengelilinginya. Di hadapannya, Wen Rou, pria berhanfu hitam, menundukkan kepala dengan penuh hormat, sikapnya memancarkan kesopanan yang nyaris tanpa cela."Wen Rou, ada sesuatu yang perlu kau laporkan padaku?" Suara Nyonya Gao mengalun halus, nyaris seperti angin lembut yang menyapu dedaunan bambu di luar. Nada suaranya tenang namun tegas, memecah keheningan yang menyelimuti.Wen Rou mengangkat kepalanya sejenak, namun segera kembali
Kota Jinshan Tungku perapian di sudut ruangan menyala terang, api menghangatkan suasana yang semula dingin. Hawa hangatnya menyebar perlahan, meresap ke dalam setiap celah rumah beroda itu, menciptakan kontras yang tajam dengan keadaan di luar. Hujan salju deras terus mengguyur tanpa henti, melapisi padang rumput yang mengelilingi mereka dengan selimut putih tebal, membuat pemandangan berubah menjadi hamparan padang salju yang sunyi. Gundukan-gundukan memutih terbentuk dalam sekejap, mengubur segalanya di bawah keheningan musim dingin.Di dalam ruangan yang nyaman, Ye Hun duduk di kursi rendah, tangannya terampil memegang jarum dan selembar kain, menjahit sebuah gaun untuknya sendiri. Di hadapannya, Junjie duduk malas di meja, dagunya bertopang di tangan, matanya setengah terpejam. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti seseorang yang betah tenggelam dalam kemalasan, menikmati ketenangan tanpa peduli pada dunia luar. Di bawah ca
Kota Beifeng, Perbatasan UtaraSalju tebal menutupi setiap sudut Kota Beifeng, menyelimuti atap-atap rumah dan jalan-jalan sempit yang sepi. Udara dingin yang menggigit, menusuk hingga ke sumsum tulang, memaksa penduduk kota untuk bersembunyi di balik pintu-pintu kayu mereka. Kota kecil di perbatasan Utara Kekaisaran Shenguang ini adalah pemberhentian terakhir sebelum hamparan padang sabana yang luas, yang membentang tak berujung menuju gurun ganas Kekaisaran Beili.Angin utara berhembus tajam, mengangkat serpihan salju ke udara, mempertegas kesunyian kelabu yang menyelimuti. Langit berwarna abu-abu pucat, tak terlihat di mana awan berakhir dan tanah bersalju dimulai.Di sebuah kamar penginapan sederhana, seorang gadis duduk termenung di depan jendela, tubuhnya diselimuti mantel putih berlapis bulu mink merah muda. Meski bulu halus itu melekat di bahunya, kehangatan tetap terasa jauh, seolah-olah udara dingin berhasil menembus hingga ke dalam hat
Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunChu Wang berdiri tegak di dalam gazebo, memandang jauh ke Taman Cahaya Salju yang seluruhnya diselimuti lapisan salju tebal. Pohon-pohon plum pucat menjulang diam, ranting-rantingnya yang kurus tertutupi putihnya embun beku. Batu-batu setapak yang berkelok-kelok di antara taman tampak seperti mutiara yang terselip di balik tirai salju. Udara musim dingin yang tajam mengiris kulit, namun sosok Chu Wang tetap kokoh, tidak tergerak oleh dinginnya. Mantel merah anggurnya berkibar lembut terkena angin, memperkuat kesan wibawa dan keteguhan yang terpancar dari dirinya.Di belakangnya, Mo Yuan berdiri dengan kepala tertunduk, tampak enggan untuk mengangkat wajah. Kesetiaan bawahannya itu tak perlu dipertanyakan, namun hari ini ada keraguan yang tergantung di udara, mungkin karena kabar penting yang baru saja dilaporkannya dari perbatasan Utara. Ketegangan yang tak kasatmata menyelinap di antara serpihan salju ya
Kota JinshanSalju turun semakin deras selama beberapa hari terakhir, menutupi Kota Jinshan dengan selimut putih yang tak berujung. Ren Hui, Junjie, Ye Hun, dan Baihua terkurung di dalam rumah beroda, terjebak oleh cuaca yang tak bersahabat. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa serpihan es yang mengetuk-ngetuk jendela, seolah mencoba menerobos masuk ke dalam kehangatan rumah beroda mereka. Di luar, hanya ada kesunyian yang menggantung berat, memantulkan kesendirian kota yang tertutup salju."Membosankan," keluh Junjie, suaranya rendah namun cukup untuk terdengar jelas di dalam ruangan. Ia duduk dengan malas di kursi kayu yang sudah usang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja seakan berharap ritme monoton itu bisa mengusir kekosongan yang ia rasakan.Tatapannya kosong, tenggelam dalam kebosanan yang dalam, sementara wajahnya memancarkan ketidakpedulian pada apa pun yang terjadi di sekitarnya.Ye Hun meliriknya sekilas
Beberapa hari berlalu, dan cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meski sesekali salju masih turun, intensitasnya jauh berkurang. Ren Hui, seperti biasa, mengendarai rumah beroda mereka, keluar perlahan dari hamparan salju yang memutih.Rumah beroda itu berderak pelan, memecah keheningan di atas jalan setapak yang dilapisi salju tipis. Kuda-kuda yang menarik rumah beroda berlari pelan, meninggalkan jejak samar di atas salju yang lembut. Gemerincing lonceng di leher kuda-kuda itu terdengar lembut, berpadu harmonis dengan irama langkah kaki mereka. Suara-suara itu bagai alunan musik yang menyertai perjalanan mereka, menghidupkan suasana yang tenang namun penuh pesona.Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk mulai tampak. Beberapa anak kecil berlarian keluar rumah, tertarik oleh suara lonceng dan derap kuda yang seolah menjadi melodi musim dingin. Ren Hui, dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya, melambaikan tangan kepada mereka."Anak-
Desa Empat Musim Perjalanan mereka bertiga terus berlanjut, melintasi hutan yang sunyi, ladang beku, dan pedesaan yang tertutup kabut musim dingin. Salju putih melapisi segala sesuatu, menciptakan suasana yang terkadang sunyi, dingin, dan monoton. Namun, di antara kelesuan alam, keindahan yang menakjubkan muncul tanpa diduga—pohon-pohon membeku dalam jaring embun es, danau-danau kecil memantulkan langit kelabu yang menyatu dengan tanah dan sinar matahari sesekali menerangi sepanjang waktu meski redup. Pagi itu, matahari bersinar lebih cerah. Burung-burung mulai berkicau dengan riang, seolah menyambut datangnya musim semi yang perlahan mendekat. Angin yang biasanya menusuk kini hanya berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan tunas-tunas muda yang mulai tersembunyi di balik salju yang mencair. “Hah, ini cukup bagus,” gumam Ren Hui sambil mengaduk isi kuali dengan hati-hati. Aroma bubur yang sedang dimasaknya mulai memenuhi udara pagi
Junjie memandang Song Mingyu yang masih memeluk Ren Hui erat, seakan tak ingin melepaskannya. Ekspresi Junjie bercampur antara geli dan bingung, tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis melihat pemandangan ini. Pria tampan yang dikenal malas itu sepertinya sudah terbiasa dengan tingkah kekanak-kanakan Song Mingyu. Dengan napas panjang, ia menatap Ren Hui yang hanya membalas dengan senyum kecut. "Apakah Nyonya Su Yang mengizinkanmu meninggalkan Paviliun Pinus Hijau?" tanya Ren Hui dengan nada santai, perlahan melonggarkan pelukan Song Mingyu seolah adegan itu bukan hal baru. Song Mingyu hanya menyunggingkan senyum masam, lalu duduk di hadapan Junjie. "Melihat senyummu, kupikir saat ini Nyonya Su Yang sedang sibuk memarahi para pelayanmu," ucap Ren Hui sambil terkekeh kecil. Tanpa aba-aba, ia memukul lembut kepala Song Mingyu dengan nampan, membuat suasana semakin akrab. Song Mingyu masih tersenyum masam, lalu dengan tenang mengambil c