Beberapa hari berlalu, dan cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meski sesekali salju masih turun, intensitasnya jauh berkurang. Ren Hui, seperti biasa, mengendarai rumah beroda mereka, keluar perlahan dari hamparan salju yang memutih.
Rumah beroda itu berderak pelan, memecah keheningan di atas jalan setapak yang dilapisi salju tipis. Kuda-kuda yang menarik rumah beroda berlari pelan, meninggalkan jejak samar di atas salju yang lembut.Gemerincing lonceng di leher kuda-kuda itu terdengar lembut, berpadu harmonis dengan irama langkah kaki mereka. Suara-suara itu bagai alunan musik yang menyertai perjalanan mereka, menghidupkan suasana yang tenang namun penuh pesona.Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk mulai tampak. Beberapa anak kecil berlarian keluar rumah, tertarik oleh suara lonceng dan derap kuda yang seolah menjadi melodi musim dingin. Ren Hui, dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya, melambaikan tangan kepada mereka."Anak-Desa Empat Musim Perjalanan mereka bertiga terus berlanjut, melintasi hutan yang sunyi, ladang beku, dan pedesaan yang tertutup kabut musim dingin. Salju putih melapisi segala sesuatu, menciptakan suasana yang terkadang sunyi, dingin, dan monoton. Namun, di antara kelesuan alam, keindahan yang menakjubkan muncul tanpa diduga—pohon-pohon membeku dalam jaring embun es, danau-danau kecil memantulkan langit kelabu yang menyatu dengan tanah dan sinar matahari sesekali menerangi sepanjang waktu meski redup. Pagi itu, matahari bersinar lebih cerah. Burung-burung mulai berkicau dengan riang, seolah menyambut datangnya musim semi yang perlahan mendekat. Angin yang biasanya menusuk kini hanya berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan tunas-tunas muda yang mulai tersembunyi di balik salju yang mencair. “Hah, ini cukup bagus,” gumam Ren Hui sambil mengaduk isi kuali dengan hati-hati. Aroma bubur yang sedang dimasaknya mulai memenuhi udara pagi
Junjie memandang Song Mingyu yang masih memeluk Ren Hui erat, seakan tak ingin melepaskannya. Ekspresi Junjie bercampur antara geli dan bingung, tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis melihat pemandangan ini. Pria tampan yang dikenal malas itu sepertinya sudah terbiasa dengan tingkah kekanak-kanakan Song Mingyu. Dengan napas panjang, ia menatap Ren Hui yang hanya membalas dengan senyum kecut. "Apakah Nyonya Su Yang mengizinkanmu meninggalkan Paviliun Pinus Hijau?" tanya Ren Hui dengan nada santai, perlahan melonggarkan pelukan Song Mingyu seolah adegan itu bukan hal baru. Song Mingyu hanya menyunggingkan senyum masam, lalu duduk di hadapan Junjie. "Melihat senyummu, kupikir saat ini Nyonya Su Yang sedang sibuk memarahi para pelayanmu," ucap Ren Hui sambil terkekeh kecil. Tanpa aba-aba, ia memukul lembut kepala Song Mingyu dengan nampan, membuat suasana semakin akrab. Song Mingyu masih tersenyum masam, lalu dengan tenang mengambil c
Paviliun Yueliang, Kota Yueliang Kabut masih menyelimuti Bukit Hujan Kabut meski salju telah mencair, dan sinar matahari yang hangat kini mulai menggantikan suasana dingin. Meskipun perubahan musim terjadi di tempat lain, atmosfer di Bukit Hujan Kabut tak pernah terpengaruh. Begitu pula dengan Desa Empat Musim, yang tetap hijau nan segar bahkan di musim dingin. Di sini, kabut seakan menjadi penanda waktu, menahan segala perubahan dan menciptakan keabadian dalam keheningan. Di dalam sebuah kediaman yang nyaman, dua wanita cantik duduk berhadapan, dikelilingi oleh aroma teh yang harum dan berbagai camilan menggoda yang terhidang di atas meja. Sebatang dupa membara mengeluarkan asap tipis beraroma bunga lotus yang menenangkan, memenuhi ruangan dengan nuansa kedamaian. Wei Jin dan Dongfang Yu, dua di antara tiga majikan Paviliun Yueliang, sedang terlibat dalam percakapan serius. "Bagaimana dengan persiapan pelelangan nanti?" tanya Wei Jin, matanya tajam meneliti wajah cantik di hada
Desa Empat Musim, Kota YinyueRen Hui, Junjie, dan Song Mingyu menatap Ye Hun dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Wanita itu mengeluarkan bunga-bunga berwarna merah darah dari keranjang bambu yang dibawanya saat berpamitan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan."Apa ini?" tanya Junjie, seraya mengambil setangkai bunga merah darah itu dan mengamatinya dengan seksama. Bagi Junjie, bunga ini tampak seperti bunga biasa, tak ada yang istimewa dibandingkan dengan bunga-bunga lain yang sering ia temui.Namun, tidak demikian dengan Song Mingyu. Dia lebih tertarik menatap Ye Hun, yang kini duduk di hadapannya dengan tatapan tenang. Dia masih sulit untuk mempercayai bahwa wanita ini kini dalam keadaan sehat. Dahulu, wanita ini terbaring di dalam peti mati giok lavender, seolah berada dalam keadaan mati suri.Sementara itu, Ren Hui memilih
Beberapa hari berlalu dengan tenang, sementara udara musim semi semakin terasa lembut menyentuh setiap sudut Desa Empat Musim. Perlahan, sisa-sisa salju yang tersisa di tanah mulai menguap, menghilang tanpa jejak. Kehijauan desa yang memang abadi sepanjang tahun kini terasa lebih hidup. Tunas-tunas baru dan bunga-bunga mulai bermunculan dan bermekaran, menyelipkan warna-warna lembut di antara pepohonan yang sunyi.Di tengah suasana desa yang mulai bergairah kembali, Ye Hun, yang pernah lama tinggal di tempat ini, menghabiskan waktu dengan berkeliling. Kehadiran Yue Yingying, tabib yang merawat Junjie, yang baru saja tiba beberapa hari lalu, membuatnya merasa lebih nyaman. Tak lagi ada rasa kesepian yang dulu sering menyelimuti hari-harinya. Kini, mereka berdua sering kali berjalan bersama-sama, menyusuri hutan untuk mencari herbal yang tumbuh liar di sekitar desa."Apakah menurutmu ada kaitan antara bunga bi’an Huan dan bunga biru tujuh rupa?" suara lemb
"Pondok Bambu Ungu?" Ren Hui dan Junjie serentak bertanya kepada dua wanita cantik yang duduk di hadapan mereka. Yingying dan Ye Hun mengangguk bersamaan, tatapan mereka serius. Sementara itu, Song Mingyu hanya menatap mereka silih berganti, kebingungan dengan percakapan yang terjadi, matanya melirik sekeliling, merasakan ketegangan yang menguar."Ren Hui, menurut Ye Hun, hanya di Pondok Bambu Ungu bunga biru tujuh rupa pernah tumbuh. Mungkin saja masih ada sisa, meski sedikit, atau ada petunjuk lain untuk mendapatkan penawar racunnya," kata Yingying, nadanya hati-hati, matanya meneliti wajah Ren Hui dengan penuh pertimbangan.Ren Hui menghela napas dalam-dalam, jiwanya seolah terombang-ambing oleh kenangan. Tempat itu, Pondok Bambu Ungu, adalah tempat yang ia kenal baik—terlalu baik. Di sanalah dia dibesarkan dan menghabiskan separuh hidupnya. Kembali ke sana bukanlah sesuatu yang dia inginkan."Aku mengerti," katanya pelan, mengangguk pelan. "N
Saat kabut pagi perlahan menghilang dari lembah yang baru saja mereka lewati, udara dingin masih terasa menggigit di sepanjang perjalanan menuju Kota Yueliang. Suara derap kaki kuda memecah keheningan jalan yang diselimuti embun pagi. Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu memulai perjalanan mereka, sementara lembah di kejauhan masih dibalut oleh sisa kabut tipis yang melayang seperti tirai halus. Di sekitar mereka, dedaunan berkilau dengan sisa embun yang menyelimuti rerumputan. Di kejauhan, bayangan pegunungan semakin samar, membaur dengan awan rendah di cakrawala. Meski matahari sudah mulai terbit, suasana masih terasa dingin. Sementara itu Ye Hun dan Yingying tetap tinggal di rumah beroda, berusaha mencari penawar untuk racun bunga biru tujuh rupa serta meracik obat bagi penyakit dingin yang terus menggerogoti tubuh Junjie. "Lembah ini benar-benar diselimuti kabut, meski tak setebal di Bukit Hujan Kabut," gumam Junjie pelan, matanya menerawang, menelusuri garis lembah yang kini mul
“Siapa dirimu? Berani ikut campur urusan kami?” Pemimpin prajurit itu berteriak, suaranya menggema keras di dalam kedai yang mendadak hening. Tatapannya memicing tajam pada Junjie, berusaha menilai niat di balik doupeng putih yang menyembunyikan wajah pria itu.Junjie, dengan tenang, meneguk tehnya yang beraroma wangi, meletakkan cangkir porselen kembali ke atas meja dengan suara lembut, seolah tak ingin mengganggu suasana. Perlahan, ia berdiri, gerakannya tenang dan terukur, seakan menyimpan ketenangan yang tak tergerus oleh ketegangan di sekelilingnya. Di sampingnya, murid Sekte Pedang Langit berdiri tegak di samping Song Mingyu, jelas cemas dan tak tenang, matanya berkeliling penuh ketakutan. Ren Hui, satu-satunya yang tetap duduk, tampak tidak terganggu sedikit pun, sementara para tamu lain hanya terdiam, memilih untuk menyaksikan dalam diam, tubuh mereka kaku karena takut terlibat.“Pasukan Penjaga Kekaisaran bertugas menjaga keamanan kaisar,” Junjie