"Pondok Bambu Ungu?" Ren Hui dan Junjie serentak bertanya kepada dua wanita cantik yang duduk di hadapan mereka.
Yingying dan Ye Hun mengangguk bersamaan, tatapan mereka serius. Sementara itu, Song Mingyu hanya menatap mereka silih berganti, kebingungan dengan percakapan yang terjadi, matanya melirik sekeliling, merasakan ketegangan yang menguar."Ren Hui, menurut Ye Hun, hanya di Pondok Bambu Ungu bunga biru tujuh rupa pernah tumbuh. Mungkin saja masih ada sisa, meski sedikit, atau ada petunjuk lain untuk mendapatkan penawar racunnya," kata Yingying, nadanya hati-hati, matanya meneliti wajah Ren Hui dengan penuh pertimbangan.Ren Hui menghela napas dalam-dalam, jiwanya seolah terombang-ambing oleh kenangan. Tempat itu, Pondok Bambu Ungu, adalah tempat yang ia kenal baik—terlalu baik. Di sanalah dia dibesarkan dan menghabiskan separuh hidupnya. Kembali ke sana bukanlah sesuatu yang dia inginkan."Aku mengerti," katanya pelan, mengangguk pelan. "NSaat kabut pagi perlahan menghilang dari lembah yang baru saja mereka lewati, udara dingin masih terasa menggigit di sepanjang perjalanan menuju Kota Yueliang. Suara derap kaki kuda memecah keheningan jalan yang diselimuti embun pagi. Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu memulai perjalanan mereka, sementara lembah di kejauhan masih dibalut oleh sisa kabut tipis yang melayang seperti tirai halus. Di sekitar mereka, dedaunan berkilau dengan sisa embun yang menyelimuti rerumputan. Di kejauhan, bayangan pegunungan semakin samar, membaur dengan awan rendah di cakrawala. Meski matahari sudah mulai terbit, suasana masih terasa dingin. Sementara itu Ye Hun dan Yingying tetap tinggal di rumah beroda, berusaha mencari penawar untuk racun bunga biru tujuh rupa serta meracik obat bagi penyakit dingin yang terus menggerogoti tubuh Junjie. "Lembah ini benar-benar diselimuti kabut, meski tak setebal di Bukit Hujan Kabut," gumam Junjie pelan, matanya menerawang, menelusuri garis lembah yang kini mul
“Siapa dirimu? Berani ikut campur urusan kami?” Pemimpin prajurit itu berteriak, suaranya menggema keras di dalam kedai yang mendadak hening. Tatapannya memicing tajam pada Junjie, berusaha menilai niat di balik doupeng putih yang menyembunyikan wajah pria itu.Junjie, dengan tenang, meneguk tehnya yang beraroma wangi, meletakkan cangkir porselen kembali ke atas meja dengan suara lembut, seolah tak ingin mengganggu suasana. Perlahan, ia berdiri, gerakannya tenang dan terukur, seakan menyimpan ketenangan yang tak tergerus oleh ketegangan di sekelilingnya. Di sampingnya, murid Sekte Pedang Langit berdiri tegak di samping Song Mingyu, jelas cemas dan tak tenang, matanya berkeliling penuh ketakutan. Ren Hui, satu-satunya yang tetap duduk, tampak tidak terganggu sedikit pun, sementara para tamu lain hanya terdiam, memilih untuk menyaksikan dalam diam, tubuh mereka kaku karena takut terlibat.“Pasukan Penjaga Kekaisaran bertugas menjaga keamanan kaisar,” Junjie
“Bocah sialan!” Pemimpin prajurit itu berteriak dengan kemarahan yang menggema di seluruh kedai. Matanya berkilat-kilat marah saat menyaksikan para prajuritnya tergeletak tak berdaya di lantai. Tanpa berpikir panjang, dia menerjang ke arah pemuda yang menjadi pusat kericuhan.Dengan loncatan yang tinggi, pemimpin prajurit itu melesat melewati Ren Hui dan kawan-kawannya yang tengah menikmati teh di sudut kedai. Para tamu lain segera berhamburan keluar, berusaha menghindari masalah dengan Pasukan Penjaga Kekaisaran yang terkenal akan arogansinya. Namun, beberapa orang tetap tinggal, menikmati kekacauan sambil berbisik-bisik, bergosip.“Ah, sungguh keterlaluan,” Junjie mendengus pelan, kepalanya mendongak malas saat melihat pemimpin prajurit itu terbang di atas mereka, tanpa rasa segan.Junjie dengan santai meraih sumpit dari meja, memutarnya perlahan di tangannya. Gerakannya kian cepat, matanya tetap tenang. Dalam sekejap, sumpit itu mele
“Guru!” Lan Ning berseru, napasnya tercekat melihat sosok berambut putih yang berdiri tegak di ambang pintu kedai. Hanfu dan jubah putihnya berkibar lembut, seolah ikut menari bersama angin musim semi. Rambut peraknya terurai seperti untaian sutra, berkilauan saat sinar matahari senja menyentuhnya, menciptakan aura memikat yang sulit diabaikan."Aiyo, Nona Bu Hui!" Pemilik kedai dan beberapa pengunjung yang berkerumun segera berlari menghampirinya. Mereka menundukkan badan penuh hormat, sementara suara riuh yang sebelumnya memenuhi ruangan mendadak mereda, digantikan oleh desis kagum yang pelan namun jelas terdengar.Ren Hui, yang berdiri di sudut ruangan, tertegun melihat kemunculan Bu Hui. Pandangannya menyapu wajah wanita itu dengan cepat, lalu beralih ke Junjie di sampingnya. Tapi Junjie hanya berdiri santai, tak terganggu sedikit pun oleh kehadiran Bu Hui yang jelas membawa hawa dingin. Tanpa sepatah kata, Ren Hui maju beberapa la
Langit masih gelap ketika Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Udara pagi menyelusup dingin, sementara kabut tipis menggantung di atas jalan-jalan berbatu Kota Yinyue yang masih sunyi. Cahaya pertama dari matahari baru saja muncul di ufuk timur, memercikkan semburat lembut keemasan di langit kelabu. Kuda-kuda mereka menderap pelan, memecah keheningan yang menyelimuti kota. Di belakang mereka, penginapan yang baru saja mereka tinggalkan mulai terbangun dari tidur panjangnya. Suara derit pintu kayu yang terbuka, diiringi sapaan pengawal malam yang saling berbalas, berbaur dengan angin pagi yang sejuk.Di siang harinya, Lan Ning dan Bu Hui mengunjungi kedai yang sama. Pemilik kedai, dengan senyum ramah, memberitahukan bahwa ketiga pria yang mereka cari telah berangkat sejak pagi buta. Lan Ning menghela napas, menyesali kesempatan yang terlewat untuk mengucapkan terima kasih kepada pria-pria misterius itu, terutama Ren Hui,
Perbatasan Kota YinyueSong Mingyu tersenyum puas saat mereka bertiga tiba di perbatasan Kota Yinyue. Hanya tinggal sedikit lagi mereka akan tiba di Kota Yueliang, tujuan mereka yang telah dinanti."Bagaimana kalau kita mampir ke Pasar Hantu?" Song Mingyu melirik kedua rekannya yang masih duduk di atas kuda masing-masing, wajahnya penuh harap."Untuk apa?" Junjie menjawab dengan nada malas, suaranya tertegun dalam kebisingan. Di balik doupengnya, dia menguap pelan, menampilkan ketidakpedulian yang mengesalkan bagi Song Mingyu. Sementara itu, Ren Hui hanya tersenyum tenang seperti biasanya."Masih ada beberapa hari sebelum acara pelelangan. Jika kalian ingin bersenang-senang sebentar, tidak ada salahnya kita mengunjungi Pasar Hantu," Ren Hui mengusulkan, senyumnya merekah. Topengnya kini sudah dilepas, menunjukkan wajahnya yang tampan."Bagaimana menurutmu, Junjie?" tanya Song Mingyu, menatap pria yang terlihat acuh tak acuh itu, berharap
Mereka bertiga menelusuri jalanan Desa dengan santai. Derap kuda yang berirama lembut berpadu dengan gemericik aliran sungai di sisi jalan terdengar bak musik yang menghibur di senja itu. Udara berembus hangat, membawa aroma tanah basah dan wangi makanan dari rumah penduduk desa dan kedai yang berderet di sepanjang jalan.“Desa Air Biru, itulah nama desa ini,” ujar Junjie sambil melirik Song Mingyu yang menunggang kuda di sampingnya.“Ah, nama yang indah,” balas Song Mingyu dengan senyum kecil, tatapannya menyapu desa yang penuh pesona alami. Meski tak sesemarak Desa Empat Musim, ada kehangatan sederhana di sini, terpancar dari sungai yang berkelok di sisi jalan utama dan pepohonan willow yang meliuk anggun di tepi air.“Benar. Nama desa ini berasal dari sungai itu.” Junjie mengangguk, lalu menunjuk ke seberang jalan.Song Mingyu menoleh, matanya menyusuri aliran jernih yang berkilauan tertimpa sinar matahari senja. Cahaya keemasan perlahan memud
Di dalam penginapan yang mulai riuh oleh percakapan, aroma teh dan arak samar-samar melayang, menambahkan kehangatan pada ruangan yang berderak. Junjie menarik napas panjang, pandangannya tertuju pada Ren Hui dari balik doupeng yang menyembunyikan wajahnya. Sekilas tatapan itu seperti angin lalu, namun di balik keheningan, ada keakraban tak terucap yang hanya mereka berdua rasakan."Kau mengenal salah satu dari mereka?" suara Ren Hui terdengar lembut, hampir tertelan keramaian. Namun, baik Junjie maupun Song Mingyu, yang duduk di dekatnya, menangkap setiap kata dengan jelas.Junjie menjawab tanpa basa-basi, "Beberapa di antaranya." Kalimatnya singkat, penuh makna yang tak perlu dijelaskan lebih jauh.Song Mingyu, yang semula hanya mengamati, mengalihkan pandangan pada sekelompok tamu yang baru saja memasuki penginapan dan mengambil tempat di meja kosong di sisi ruangan. Di antara wajah-wajah asing itu, ada satu sosok yang ia kenal. Ia menghela na