Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Chu Wang Tidak Membutuhkannya

Share

Chu Wang Tidak Membutuhkannya

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-26 11:00:02

Di dalam penginapan yang mulai riuh oleh percakapan, aroma teh dan arak samar-samar melayang, menambahkan kehangatan pada ruangan yang berderak. Junjie menarik napas panjang, pandangannya tertuju pada Ren Hui dari balik doupeng yang menyembunyikan wajahnya. Sekilas tatapan itu seperti angin lalu, namun di balik keheningan, ada keakraban tak terucap yang hanya mereka berdua rasakan.

"Kau mengenal salah satu dari mereka?" suara Ren Hui terdengar lembut, hampir tertelan keramaian. Namun, baik Junjie maupun Song Mingyu, yang duduk di dekatnya, menangkap setiap kata dengan jelas.

Junjie menjawab tanpa basa-basi, "Beberapa di antaranya." Kalimatnya singkat, penuh makna yang tak perlu dijelaskan lebih jauh.

Song Mingyu, yang semula hanya mengamati, mengalihkan pandangan pada sekelompok tamu yang baru saja memasuki penginapan dan mengambil tempat di meja kosong di sisi ruangan. Di antara wajah-wajah asing itu, ada satu sosok yang ia kenal.

Ia menghela na
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Rubah Tua

    Setelah menyelesaikan makanan mereka, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu beranjak untuk beristirahat. Meninggalkan kehangatan kedai, mereka diantar seorang pelayan menuju kamar yang telah dipesan sebelumnya."Karena tamu begitu banyak, kami hanya bisa menyediakan satu kamar di lantai bawah, Tuan," ucap pelayan itu sambil membungkuk hormat. Dia membuka pintu kamar dan memberi isyarat agar mereka masuk."Tidak masalah, kami hanya singgah semalam saja," sahut Ren Hui dengan senyum ramah, menepuk bahu pelayan sebagai tanda terima kasih. "Oh ya, nanti malam kami berencana ke Pasar Hantu. Bisakah kau memesankan perahu untuk kami?""Tentu saja, Tuan!" sahut pelayan antusias, tampak senang menerima tugas itu. "Saya akan memberitahukan jika perahu telah siap. Silakan Tuan-tuan beristirahat," ujarnya sebelum meninggalkan mereka bertiga.Ren Hui memandang ke sekeliling ruangan yang sederhana namun bersih, lalu membuka jendela, membiarkan udara malam yang sejuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Suara Itu!

    Perahu meluncur perlahan di atas air sungai yang berkilau diterpa cahaya bulan sabit. Lentera-lentera temaram yang terpasang di ujung perahu, kunang-kunang yang beterbangan di tepian, dan pepohonan willow yang anggun menjuntai di sepanjang sungai, menciptakan suasana yang sunyi dan sedikit misterius.Song Mingyu, yang berdiri di bagian belakang perahu, mengamati air sungai yang berkilau samar. "Aku kira hanya ada satu pintu masuk ke Pasar Hantu," gumamnya dengan nada penuh keraguan.Ren Hui, yang berdiri santai di depan dengan kipas lipat terbuka di depan dadanya, tersenyum tipis mendengar gumaman itu. "Jalur ini memang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja," balasnya sambil mengangkat bahu.Song Mingyu menatap Ren Hui, matanya menyipit sedikit, penuh rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang pedagang arak miskin seperti Ren Hui tahu begitu banyak tentang tempat-tempat tersembunyi dan jalur rahasia?Dan lagi, bukankah identitas asli pria di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sejuta Pesona Pasar Hantu

    Ren Hui masih terpaku, rasa sulit percaya membanjiri hatinya. Setelah lebih dari sepuluh tahun, ia kembali mendengar suara yang dahulu sangat akrab di telinganya. "Tidak mungkin," gumamnya, seraya mengepalkan kedua tangan hingga jari-jarinya menggenggam udara, seolah ingin mengaitkan kenangan yang tak ingin lepas. Berulangkali dia mengulang kata itu dalam hatinya, tanpa menyadari bahwa perahu mereka kini telah tiba di depan terowongan gelap yang menyeramkan. “Aiyo, rupanya di sini sungai tiba-tiba menghilang,” kata Song Mingyu pelan, menepuk bahu Junjie dengan tangan yang bergetar penuh rasa ingin tahu. Pria yang mengenakan hanfu putih itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tidak banyak berbicara. Song Mingyu terdiam, matanya mengamati lorong di hadapan mereka. Kegelapan menyelimuti, hanya menyisakan titik-titik cahaya dari lentera perahu di depan mereka yang bergetar lembut, menciptakan bayangan menari di dinding lorong.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pelataran Merah Darah

    Mereka bertiga, dengan Ren Hui membawa lentera berisi kunang-kunang yang berpendar lembut, menelusuri tangga batu yang menurun tajam, basah oleh embun malam. Tangga itu bermula dari pangkal pohon wisteria tua, dengan rongga besar menganga di akarnya, seolah menyembunyikan sebuah jalan rahasia.“Jika di siang hari, tempat ini sangat indah,” ujar Junjie, mendongakkan kepala dan menatap ranting-ranting pohon wisteria yang mulai bersemi. Bayangan akan untaian bunga wisteria yang mekar serempak di musimnya membuat bibirnya terulas senyum samar."Cukup sulit untuk mengunjungi Pasar Hantu di siang hari. Apalagi jika tidak melalui Desa Air Biru atau pintu di sana," Ren Hui menyahut, pandangannya tertuju pada batu-batu putih tinggi yang menjulang, seakan mengurung tempat itu."Kenapa begitu?" tanya Song Mingyu sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Junjie menuruni tangga yang licin. Mereka melangkah hati-hati, waspada pada setiap pijakan.“Karena hany

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menikmati Arak Bersama

    Junjie tertegun saat melihat siapa dua pria yang telah tiba terlebih dahulu di tempat yang juga menjadi tujuan mereka. Dengan langkah pasti, mereka mendekati teras pondok, diikuti oleh Song Mingyu yang tampak penasaran."Pak Tua! Apa kabarmu?" Junjie menyapa pemilik pondok dengan sopan, yang tengah menuangkan arak ke dalam cangkirnya.Kehadiran Junjie dan kawan-kawan itu membuat pak tua beserta kedua tamunya terkejut sejenak. Namun, suasana segera mencair saat pak tua itu tertawa terkekeh, berdiri dari kursinya untuk menyambut mereka dengan hangat. "Aiyo! Apakah kalian juga membawakan arak untukku?" tanyanya.Ren Hui tertawa lebar, mendahului Junjie dan Song Mingyu untuk naik ke teras pondok. Dia mendekati pria tua itu dan menepuk bahunya. "Tentu saja! Aku datang membawakan arak yang lezat untukmu! Juga untuk mereka!" sahutnya dengan riang.Junjie mengikuti Ren Hui, duduk di kursi dengan santai. "Chu Wang, ayo minum bersama kami!" ucapnya sambil m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Inti Batu Bintang Ilusi

    Malam itu terasa hangat dalam keakraban yang meresap hingga ke tulang, meski hawa malam masih menggigit dengan dingin. Di teras pondok kayu kecil yang dikelilingi sinar temaram lentera, Ren Hui, Wei Xueran, Song Mingyu, dan Pak Tua Lan Feng duduk melingkar, ditemani cangkir-cangkir arak yang terus terisi, menghangatkan percakapan mereka.Wei Xueran menatap Ren Hui lekat-lekat, matanya menyimpan bayang luka yang dalam. Suaranya hampir berbisik ketika berkata, "Aku hampir saja membunuh Chu Wang ketika dia mengatakan kau masih hidup." Getirnya terasa menusuk, seakan menggali luka lama yang belum benar-benar sembuh.Ren Hui hanya tersenyum tipis, mengangkat cangkir dan perlahan menuangkan arak ke dalamnya. Isyarat halus itu cukup bagi Xueran, tak perlu mengungkit masa lalu. Wei Xueran menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya pada Song Mingyu, yang tampak asyik menatap sesuatu di dinding teras, tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Tua," Ren Hui

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Kembali Karena Kau

    Di atap Pondok Darah Besi, Junjie dan Chu Wang duduk bersebelahan, menyaksikan keramaian Pasar Hantu yang ramai di bawah mereka. Guci arak yang diambil Junjie dari pinggangnya berkilau dalam cahaya bulan yang lembut, seolah menanti momen untuk dibagikan kepada sahabatnya. "Kau masih menyukai arak," ujar Chu Wang, menatap sahabatnya dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, namun cukup untuk menyiratkan rasa kehangatan yang mendalam. Junjie menggoyangkan guci arak itu ke arah Chu Wang dengan nada menggoda. "Mau mencoba?" Chu Wang menggeleng, matanya kembali melirik kerumunan di bawah. Sejak usia muda, ia tak pernah mampu bertoleransi terhadap minuman beralkohol. Baginya, arak hanya memancing masalah, dan ia tidak ingin kehilangan kendali hanya karena seteguk atau dua. Tawa pelan Junjie mengisi malam, mengangkat bahunya seolah tak menganggap serius. Persahabatan mereka telah terjalin sejak lama, dan hanya Junjie yang mamp

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Mengejar Suara-suara Misterius

    Ren Hui mengejar sosok-sosok berjubah dan berkerudung hitam itu di tengah kerumunan. Berkali-kali dia kehilangan mereka."Pondok Darah Besi," gumamnya seraya menatap sekeliling Pasar Hantu. "Tujuan mereka pondok Pak Tua Lan Feng. Aku harus ke sana!"Dia bergegas kembali ke pondok milik pak tua pelupa tadi. Dia berlari dengan hati berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih kencang. Suara yang malam ini terdengar tanpa disengaja membuatnya hampir kehilangan akal."Ada apa ini? Bagaimana bisa suaranya begitu mirip dengan dia? Ini mustahil." Berkali-kali menggumamkan kata-kata itu di dalam hatinya.Seperti saat di perahu dalam perjalanan menuju Pasar Hantu tadi. Saat pertama kalinya dia mendengar suara seseorang yang sangat mirip, bahkan dia meyakini itu suara milik seseorang yang dianggapnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu.Ren Hui terus berlari hingga tiba di pelataran yang dipenu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status