Mereka bertiga, dengan Ren Hui membawa lentera berisi kunang-kunang yang berpendar lembut, menelusuri tangga batu yang menurun tajam, basah oleh embun malam. Tangga itu bermula dari pangkal pohon wisteria tua, dengan rongga besar menganga di akarnya, seolah menyembunyikan sebuah jalan rahasia.
“Jika di siang hari, tempat ini sangat indah,” ujar Junjie, mendongakkan kepala dan menatap ranting-ranting pohon wisteria yang mulai bersemi. Bayangan akan untaian bunga wisteria yang mekar serempak di musimnya membuat bibirnya terulas senyum samar."Cukup sulit untuk mengunjungi Pasar Hantu di siang hari. Apalagi jika tidak melalui Desa Air Biru atau pintu di sana," Ren Hui menyahut, pandangannya tertuju pada batu-batu putih tinggi yang menjulang, seakan mengurung tempat itu."Kenapa begitu?" tanya Song Mingyu sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Junjie menuruni tangga yang licin. Mereka melangkah hati-hati, waspada pada setiap pijakan.“Karena hanyJunjie tertegun saat melihat siapa dua pria yang telah tiba terlebih dahulu di tempat yang juga menjadi tujuan mereka. Dengan langkah pasti, mereka mendekati teras pondok, diikuti oleh Song Mingyu yang tampak penasaran."Pak Tua! Apa kabarmu?" Junjie menyapa pemilik pondok dengan sopan, yang tengah menuangkan arak ke dalam cangkirnya.Kehadiran Junjie dan kawan-kawan itu membuat pak tua beserta kedua tamunya terkejut sejenak. Namun, suasana segera mencair saat pak tua itu tertawa terkekeh, berdiri dari kursinya untuk menyambut mereka dengan hangat. "Aiyo! Apakah kalian juga membawakan arak untukku?" tanyanya.Ren Hui tertawa lebar, mendahului Junjie dan Song Mingyu untuk naik ke teras pondok. Dia mendekati pria tua itu dan menepuk bahunya. "Tentu saja! Aku datang membawakan arak yang lezat untukmu! Juga untuk mereka!" sahutnya dengan riang.Junjie mengikuti Ren Hui, duduk di kursi dengan santai. "Chu Wang, ayo minum bersama kami!" ucapnya sambil m
Malam itu terasa hangat dalam keakraban yang meresap hingga ke tulang, meski hawa malam masih menggigit dengan dingin. Di teras pondok kayu kecil yang dikelilingi sinar temaram lentera, Ren Hui, Wei Xueran, Song Mingyu, dan Pak Tua Lan Feng duduk melingkar, ditemani cangkir-cangkir arak yang terus terisi, menghangatkan percakapan mereka.Wei Xueran menatap Ren Hui lekat-lekat, matanya menyimpan bayang luka yang dalam. Suaranya hampir berbisik ketika berkata, "Aku hampir saja membunuh Chu Wang ketika dia mengatakan kau masih hidup." Getirnya terasa menusuk, seakan menggali luka lama yang belum benar-benar sembuh.Ren Hui hanya tersenyum tipis, mengangkat cangkir dan perlahan menuangkan arak ke dalamnya. Isyarat halus itu cukup bagi Xueran, tak perlu mengungkit masa lalu. Wei Xueran menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya pada Song Mingyu, yang tampak asyik menatap sesuatu di dinding teras, tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Tua," Ren Hui
Di atap Pondok Darah Besi, Junjie dan Chu Wang duduk bersebelahan, menyaksikan keramaian Pasar Hantu yang ramai di bawah mereka. Guci arak yang diambil Junjie dari pinggangnya berkilau dalam cahaya bulan yang lembut, seolah menanti momen untuk dibagikan kepada sahabatnya. "Kau masih menyukai arak," ujar Chu Wang, menatap sahabatnya dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, namun cukup untuk menyiratkan rasa kehangatan yang mendalam. Junjie menggoyangkan guci arak itu ke arah Chu Wang dengan nada menggoda. "Mau mencoba?" Chu Wang menggeleng, matanya kembali melirik kerumunan di bawah. Sejak usia muda, ia tak pernah mampu bertoleransi terhadap minuman beralkohol. Baginya, arak hanya memancing masalah, dan ia tidak ingin kehilangan kendali hanya karena seteguk atau dua. Tawa pelan Junjie mengisi malam, mengangkat bahunya seolah tak menganggap serius. Persahabatan mereka telah terjalin sejak lama, dan hanya Junjie yang mamp
Ren Hui mengejar sosok-sosok berjubah dan berkerudung hitam itu di tengah kerumunan. Berkali-kali dia kehilangan mereka."Pondok Darah Besi," gumamnya seraya menatap sekeliling Pasar Hantu. "Tujuan mereka pondok Pak Tua Lan Feng. Aku harus ke sana!"Dia bergegas kembali ke pondok milik pak tua pelupa tadi. Dia berlari dengan hati berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih kencang. Suara yang malam ini terdengar tanpa disengaja membuatnya hampir kehilangan akal."Ada apa ini? Bagaimana bisa suaranya begitu mirip dengan dia? Ini mustahil." Berkali-kali menggumamkan kata-kata itu di dalam hatinya.Seperti saat di perahu dalam perjalanan menuju Pasar Hantu tadi. Saat pertama kalinya dia mendengar suara seseorang yang sangat mirip, bahkan dia meyakini itu suara milik seseorang yang dianggapnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu.Ren Hui terus berlari hingga tiba di pelataran yang dipenu
Kepingan-kepingan salju berhamburan di sekitar pelataran. Menciptakan harmonisasi warna yang kontras. Bunga Bi'an Hua yang semerah darah berselimutkan lapisan salju tipis yang memutih."Pedang Musim Dingin," sebuah gumaman terdengar samar-samar di telinga Ren Hui.Dia bersandar di sepasang lengan kokoh yang melindunginya dari tebasan pedang tadi. Saat membuka mata perlahan dan melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya dia tersenyum lega. "Junjie," gumamnya seraya menggenggam erat lengan yang menyangga tubuhnya."Muncul juga salah satu pedang empat musim yang legendaris di Jiang Hu. Pedang Musim Salju." Tiba-tiba satu lagi sosok berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan mendarat di depan dua sosok yang tadi bertarung dengan Ren Hui.Ren Hui tertegun, lagi-lagi suara ini. Suara yang membuatnya linglung, kehilangan akal dan nyaris celaka. Dengan susah payah dia berusaha untuk berdiri.
Ren Hui terbangun saat merasakan guncangan pelan. Dia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan lesu. Dengan susah payah dia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.Setelah beberapa lama, dia menyadari di mana dirinya berada kini. Sepertinya di sebuah kereta yang tengah berjalan pelan. Perlahan di memperhatikan sekelilingnya, dan baru dilihatnya Junjie yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.Seperti biasa, pria tampan itu tertidur di bangku kereta dengan gaya malasnya, bertopang dagu. Angin musim semi yang bertiup sepoi-sepoi meniup anak-anak rambut yang berkeliaran di dahinya. Mantel birunya tampak berkilau di bawah terpaan sinar matahari pagi. Begitupun dengan gelang mutiara es di pergelangan tangannya."Kau pasti berjaga semalaman," gumamnya seraya tersenyum tipis. Ren Hui menatap pria tampan itu dengan tatapan berbinar. "Semoga aku tidak membuatmu panik," lanjutnya
Desa Empat MusimSementara itu di rumah beroda, Yingying dan Ye Hun tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Ye Hun sibuk memotong-motong karang dingin yang disimpan Ren Hui di laci obat."Setelah ini giling semua menjadi serbuk," Yingying memberi petunjuk padanya. Dia sendiri tengah menggiling beberapa butir mutiara embun biru dan mutiara es."Yingying, apa ini semua efektif untuk menetralisir racun bunga salju dan mengobati penyakit dingin Pangeran Yongle?" Ye Hun bertanya dengan hati-hati."Hanya untuk penyakit dingin dan menekan efek racunnya saja. Untuk menghilangkan sisa-sisa racun secara keseluruhan harus menggunakan bunga es abadi. Hanya itu satu-satunya cara." Yingying menyahut dengan lugas, tanpa basa-basi pertanyaan Ye Hun.Ye Hun menghela napas pelan. Dia tahu dengan pasti, bunga es abadi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Bahkan sangat sulit."B
Di depan mereka terbentang pemandangan yang memukau, bagaikan lukisan alam yang penuh warna. Halaman itu, yang tampak lama tidak dirawat, dihiasi dengan hamparan bunga biru yang tumbuh liar, tetapu anggun, membentuk pemandangan yang menyerupai padang biru. Rumpun-rumpun bunga itu berayun pelan ditiup angin seolah menyambut kehadiran mereka."Yingying, bukankah ini bunga biru tujuh rupa?" tanya Ye Hun dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya setengah tersendat, namun terdengar ada nada kekaguman dan kecemasan di sana. Yingying, yang berdiri di sampingnya, mengangguk pelan tanpa suara.Keduanya bertatapan sejenak. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, ada ketidakpastian, kenangan, dan sedikit rasa takut yang saling terjalin. "Dulu, aku pernah melihat bunga biru tujuh rupa di sini," gumam Ye Hun sambil menyentuh keningnya yang mulai dibasahi keringat tipis, "Tapi, tidak pernah sebanyak ini."Yingying tetap diam, t