Di depan mereka terbentang pemandangan yang memukau, bagaikan lukisan alam yang penuh warna. Halaman itu, yang tampak lama tidak dirawat, dihiasi dengan hamparan bunga biru yang tumbuh liar, tetapu anggun, membentuk pemandangan yang menyerupai padang biru. Rumpun-rumpun bunga itu berayun pelan ditiup angin seolah menyambut kehadiran mereka.
"Yingying, bukankah ini bunga biru tujuh rupa?" tanya Ye Hun dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya setengah tersendat, namun terdengar ada nada kekaguman dan kecemasan di sana. Yingying, yang berdiri di sampingnya, mengangguk pelan tanpa suara.Keduanya bertatapan sejenak. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, ada ketidakpastian, kenangan, dan sedikit rasa takut yang saling terjalin. "Dulu, aku pernah melihat bunga biru tujuh rupa di sini," gumam Ye Hun sambil menyentuh keningnya yang mulai dibasahi keringat tipis, "Tapi, tidak pernah sebanyak ini."Yingying tetap diam, tKereta kuda yang dinaiki Song Mingyu dan kawan-kawannya perlahan memasuki Kota Yueliang menjelang sore. Cahaya matahari lembut yang memudar melukis langit dengan semburat keemasan, memberikan kesan tenang pada kota yang mulai berbenah menuju malam."Junjie! Kita sudah sampai di Kota Yueliang!" serunya kepada pria yang sejak berangkat belum sekalipun keluar dari kereta, bahkan saat mereka berhenti untuk istirahat di kedai teh.Kali ini, Junjie tampaknya mendengarnya. Tirai kereta tersingkap, dan ia keluar untuk duduk di samping Song Mingyu. "Dulu kita meninggalkan kota ini menjelang musim gugur, dan sekarang kembali lagi di musim semi," ucapnya pelan, seraya menyodorkan sepotong bāozi pada Song Mingyu, seperti sebuah pengingat akan perjalanan mereka."Iya, kau benar!" sahut Song Mingyu, menerima bāozi tersebut. Dia menggigitnya perlahan, seolah menikmati setiap rasa yang melebur di lidahnya. Namun, ekspresi santainya seket
Ujung cambuk melayang cepat, menghantam udara dan memecahkan meja kayu di depan mereka. Song Mingyu, dengan gesit, berkelit dari serangan itu, sementara Junjie memilih langkah lain. Ia melompat ringan, lalu duduk di meja terdekat bersama Chu Wang dan Wei Xueran, mengamati dengan senyum tipis di wajahnya yang tersembunyi di balik doupengnya.Ren Hui, yang tetap duduk di tempatnya, hanya bisa memandangi sisa-sisa meja yang berantakan. Dengan tatapan memelas, ia menoleh ke arah Junjie, berharap mendapat sedikit empati, namun Junjie malah memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat.“Aiyo, Nyonya! Teh enak ini tumpah sebelum sempat saya nikmati,” keluh Ren Hui, menatap wanita berwajah tegas yang berdiri tak jauh dari meja yang hancur itu.Wanita itu—Nyonya Su Yang, ibu Song Mingyu—memandang Ren Hui sejenak, kemudian mengibaskan cambuknya lagi dengan gerakan penuh amarah, kali ini diarahkan ke Song Mingyu yang melompat mundur dengan gesit. “Ibu! Jangan mem
Malam di Wisma Cahaya Bintang seolah menjadi bagian dari bentangan langit luas yang berhiaskan bintang. Ren Hui dan Junjie duduk di atas atap kamar mereka, dikelilingi angin malam yang sejuk serta taburan bintang yang berpendar di langit, menyesap arak sambil menikmati panorama bulan yang hampir sempurna.“Hidup tanpa menikmati arak di bawah langit yang seindah ini, sepertinya terasa kurang lengkap, bukan?” gumam Junjie, suaranya tenang, namun bibirnya tersenyum lebar, seperti seorang sahabat yang mengajak menikmati kesederhanaan hidup.Ren Hui hanya mengangguk pelan, memberi respon berupa gumaman yang tenang. Pangeran Yongle di sampingnya kini terlihat begitu berbeda—bukan sosok bangsawan, melainkan pria sederhana yang menjalani hidup bebas, berkelana tanpa batas dari satu kota ke kota lain.Setelah sejenak hening, Junjie kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius meski masih santai. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu nekad melawan o
Malam bulan purnama di awal musim semi menghadirkan suasana baru di Kota Yueliang, yang biasanya lengang di kala senja. Jalanan kota kini penuh kereta kuda yang berlalu-lalang. Derap langkah kuda berpadu dengan gemerincing lonceng dan lecutan cambuk, irama yang menyatu dalam gemilang cahaya bulan yang bersinar megah di langit.Ren Hui memegang kendali keretanya dengan tenang, seperti menikmati setiap detik yang berlalu. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan dia memang tidak ingin terburu-buru. Malam ini, Yueliang seperti menyambutnya, menghamparkan keindahan yang jarang terjadi.“Sepertinya pelelangan kali ini benar-benar menarik perhatian banyak orang,” suara Junjie perlahan memecah hening di antara mereka. “Lihat saja, jalanan ini penuh dengan orang-orang dari berbagai penjuru.”Ren Hui tersenyum tipis, sorot matanya berpendar lembut dalam remang cahaya. “Ya, hanya sedikit percikan rumor sudah cukup menjadi api yang membakar rasa ingin
Junjie dan Ren Hui sudah cukup lama berdiri di belakang antrian tamu yang hendak memasuki Paviliun Yueliang. Dengan santai, keduanya menatap para tamu di sekitar mereka, tak tergesa untuk memasuki paviliun megah yang selalu memukau pengunjung dengan jamuan istimewanya.“Paviliun Keberuntungan Besar... siapa yang datang mewakili mereka kali ini?” Junjie berbisik lirih, nyaris tak terdengar, saat berdiri di samping Ren Hui.Ren Hui tersenyum tipis, mengisyaratkan agar Junjie tidak menarik perhatian. Di depan mereka, dua pria berbalut hanfu dan jubah hitam berjalan dengan anggun, seolah menyerap perhatian tamu yang lain tanpa perlu berusaha.Beberapa tamu terlihat tak bisa menahan diri untuk tidak melirik penuh tanda tanya. Namun, baik Junjie dan Ren Hui, maupun dua pria muda lainnya di dekat mereka, tampak acuh tak acuh, seolah kehadiran para tamu penting itu bukan hal luar biasa.Di sisi mereka, Chu Wang
Junjie masih mengamati ketiga sosok itu dari balik bayangan. Sayangnya, suara percakapan mereka tak mampu dijangkaunya. Namun, dia cukup yakin bahwa salah satu dari mereka adalah figur misterius yang muncul di Pondok Darah Besi malam itu, di Pasar Hantu."Tunggu," gumamnya perlahan. "Jurus Pedang Naga Langit... dan Xue Xue? Ini... mulai masuk akal, meski aneh." Senyum tipis terukir di wajahnya, seakan menemukan petunjuk berharga.Dalam benaknya, sebuah benang merah mulai terbentuk dari rangkaian teka-teki yang selama ini sulit dipahami. Xue Xue, seorang murid luar Sekte Pedang Langit. Walau tidak menguasai jurus Pedang Naga Langit layaknya Guru Liuxing, Zhu Zijing, atau Ren Jie, cukup masuk akal jika dia diam-diam mempelajarinya."Selain itu, Ren Hui pernah mengatakan bahwa salah satu suara dari sosok-sosok misterius di Pondok Darah Besi mengingatkannya pada Xue Xue," bisik Junjie, matanya masih mengawasi. "Tampaknya petunjuk ini semakin jelas... mesk
Pelelangan dimulai dengan kata sambutan hangat dari Wei Jin, yang berdiri anggun di tengah aula. Dengan sikap percaya diri, ia melirik seorang pria yang sudah sangat dikenal di seluruh Kekaisaran Shenguang, Tuan Muda Fu Kai, sang juru lelang ternama yang sering memimpin pelelangan barang-barang berharga di seluruh negeri.Ren Hui tersenyum tipis saat melihat Fu Kai maju ke depan. Di sisinya, Junjie duduk dengan tenang tanpa ekspresi sedikit pun, hanya mengamati jalannya acara. Kehadiran Fu Kai di sini bukan kejutan baginya. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan, Ren Hui secara rutin memasok air murni dari penyulingan tujuh bunga musim semi untuk adik perempuan Fu Kai, Fu Rong Rong, yang kondisi kesehatannya lemah sejak kecil. Di tempat lain, di dalam kerumunan tamu, terlihat Song Mingyu mengarahkan tatapannya dengan penuh perhatian pada Fu Kai. Rasa terkejut tampak di wajahnya ketika ia melirik ke arah Ren Hui dan Junjie yang duduk tak jauh darinya. Saya
Dengan gerakan hati-hati, Tuan Muda Fu Kai menyibakkan kain hitam yang menutupi sebuah benda di atas meja kayu yang kokoh. Saat kain itu terlepas seluruhnya, cahaya di aula utama Paviliun Yueliang segera diselimuti oleh kilauan biru yang memancar dari batu berwarna cemerlang dalam sebuah kotak kaca. Semua yang hadir terpana, keindahan batu itu begitu memikat hingga tak satu pun dari mereka mampu mengalihkan pandangan.“Indah sekali! Luar biasa menawan!” beberapa orang bergumam terkesima. Suara bisik-bisik itu segera menyebar, mengisi seantero aula dengan rasa kagum yang tak tertahan.Tuan Muda Fu Kai menatap hadirin dengan senyumnya yang ramah, lalu berkata dengan suara yang jernih dan tegas, “Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, inilah Batu Bintang Ilusi terbesar yang pernah ditemukan. Di meja-meja berikutnya, kalian juga dapat melihat yang lebih kecil, serta inti dari batu ini.” Setiap katanya disampaikan dengan tenang, seolah membiarkan keajaiban batu itu sendi