Kepingan-kepingan salju berhamburan di sekitar pelataran. Menciptakan harmonisasi warna yang kontras. Bunga Bi'an Hua yang semerah darah berselimutkan lapisan salju tipis yang memutih."Pedang Musim Dingin," sebuah gumaman terdengar samar-samar di telinga Ren Hui.Dia bersandar di sepasang lengan kokoh yang melindunginya dari tebasan pedang tadi. Saat membuka mata perlahan dan melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya dia tersenyum lega. "Junjie," gumamnya seraya menggenggam erat lengan yang menyangga tubuhnya."Muncul juga salah satu pedang empat musim yang legendaris di Jiang Hu. Pedang Musim Salju." Tiba-tiba satu lagi sosok berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan mendarat di depan dua sosok yang tadi bertarung dengan Ren Hui.Ren Hui tertegun, lagi-lagi suara ini. Suara yang membuatnya linglung, kehilangan akal dan nyaris celaka. Dengan susah payah dia berusaha untuk berdiri.
Ren Hui terbangun saat merasakan guncangan pelan. Dia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan lesu. Dengan susah payah dia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.Setelah beberapa lama, dia menyadari di mana dirinya berada kini. Sepertinya di sebuah kereta yang tengah berjalan pelan. Perlahan di memperhatikan sekelilingnya, dan baru dilihatnya Junjie yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.Seperti biasa, pria tampan itu tertidur di bangku kereta dengan gaya malasnya, bertopang dagu. Angin musim semi yang bertiup sepoi-sepoi meniup anak-anak rambut yang berkeliaran di dahinya. Mantel birunya tampak berkilau di bawah terpaan sinar matahari pagi. Begitupun dengan gelang mutiara es di pergelangan tangannya."Kau pasti berjaga semalaman," gumamnya seraya tersenyum tipis. Ren Hui menatap pria tampan itu dengan tatapan berbinar. "Semoga aku tidak membuatmu panik," lanjutnya
Desa Empat MusimSementara itu di rumah beroda, Yingying dan Ye Hun tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Ye Hun sibuk memotong-motong karang dingin yang disimpan Ren Hui di laci obat."Setelah ini giling semua menjadi serbuk," Yingying memberi petunjuk padanya. Dia sendiri tengah menggiling beberapa butir mutiara embun biru dan mutiara es."Yingying, apa ini semua efektif untuk menetralisir racun bunga salju dan mengobati penyakit dingin Pangeran Yongle?" Ye Hun bertanya dengan hati-hati."Hanya untuk penyakit dingin dan menekan efek racunnya saja. Untuk menghilangkan sisa-sisa racun secara keseluruhan harus menggunakan bunga es abadi. Hanya itu satu-satunya cara." Yingying menyahut dengan lugas, tanpa basa-basi pertanyaan Ye Hun.Ye Hun menghela napas pelan. Dia tahu dengan pasti, bunga es abadi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Bahkan sangat sulit."B
Di depan mereka terbentang pemandangan yang memukau, bagaikan lukisan alam yang penuh warna. Halaman itu, yang tampak lama tidak dirawat, dihiasi dengan hamparan bunga biru yang tumbuh liar, tetapu anggun, membentuk pemandangan yang menyerupai padang biru. Rumpun-rumpun bunga itu berayun pelan ditiup angin seolah menyambut kehadiran mereka."Yingying, bukankah ini bunga biru tujuh rupa?" tanya Ye Hun dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya setengah tersendat, namun terdengar ada nada kekaguman dan kecemasan di sana. Yingying, yang berdiri di sampingnya, mengangguk pelan tanpa suara.Keduanya bertatapan sejenak. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, ada ketidakpastian, kenangan, dan sedikit rasa takut yang saling terjalin. "Dulu, aku pernah melihat bunga biru tujuh rupa di sini," gumam Ye Hun sambil menyentuh keningnya yang mulai dibasahi keringat tipis, "Tapi, tidak pernah sebanyak ini."Yingying tetap diam, t
Kereta kuda yang dinaiki Song Mingyu dan kawan-kawannya perlahan memasuki Kota Yueliang menjelang sore. Cahaya matahari lembut yang memudar melukis langit dengan semburat keemasan, memberikan kesan tenang pada kota yang mulai berbenah menuju malam."Junjie! Kita sudah sampai di Kota Yueliang!" serunya kepada pria yang sejak berangkat belum sekalipun keluar dari kereta, bahkan saat mereka berhenti untuk istirahat di kedai teh.Kali ini, Junjie tampaknya mendengarnya. Tirai kereta tersingkap, dan ia keluar untuk duduk di samping Song Mingyu. "Dulu kita meninggalkan kota ini menjelang musim gugur, dan sekarang kembali lagi di musim semi," ucapnya pelan, seraya menyodorkan sepotong bāozi pada Song Mingyu, seperti sebuah pengingat akan perjalanan mereka."Iya, kau benar!" sahut Song Mingyu, menerima bāozi tersebut. Dia menggigitnya perlahan, seolah menikmati setiap rasa yang melebur di lidahnya. Namun, ekspresi santainya seket
Ujung cambuk melayang cepat, menghantam udara dan memecahkan meja kayu di depan mereka. Song Mingyu, dengan gesit, berkelit dari serangan itu, sementara Junjie memilih langkah lain. Ia melompat ringan, lalu duduk di meja terdekat bersama Chu Wang dan Wei Xueran, mengamati dengan senyum tipis di wajahnya yang tersembunyi di balik doupengnya.Ren Hui, yang tetap duduk di tempatnya, hanya bisa memandangi sisa-sisa meja yang berantakan. Dengan tatapan memelas, ia menoleh ke arah Junjie, berharap mendapat sedikit empati, namun Junjie malah memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat.“Aiyo, Nyonya! Teh enak ini tumpah sebelum sempat saya nikmati,” keluh Ren Hui, menatap wanita berwajah tegas yang berdiri tak jauh dari meja yang hancur itu.Wanita itu—Nyonya Su Yang, ibu Song Mingyu—memandang Ren Hui sejenak, kemudian mengibaskan cambuknya lagi dengan gerakan penuh amarah, kali ini diarahkan ke Song Mingyu yang melompat mundur dengan gesit. “Ibu! Jangan mem
Malam di Wisma Cahaya Bintang seolah menjadi bagian dari bentangan langit luas yang berhiaskan bintang. Ren Hui dan Junjie duduk di atas atap kamar mereka, dikelilingi angin malam yang sejuk serta taburan bintang yang berpendar di langit, menyesap arak sambil menikmati panorama bulan yang hampir sempurna.“Hidup tanpa menikmati arak di bawah langit yang seindah ini, sepertinya terasa kurang lengkap, bukan?” gumam Junjie, suaranya tenang, namun bibirnya tersenyum lebar, seperti seorang sahabat yang mengajak menikmati kesederhanaan hidup.Ren Hui hanya mengangguk pelan, memberi respon berupa gumaman yang tenang. Pangeran Yongle di sampingnya kini terlihat begitu berbeda—bukan sosok bangsawan, melainkan pria sederhana yang menjalani hidup bebas, berkelana tanpa batas dari satu kota ke kota lain.Setelah sejenak hening, Junjie kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius meski masih santai. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu nekad melawan o
Malam bulan purnama di awal musim semi menghadirkan suasana baru di Kota Yueliang, yang biasanya lengang di kala senja. Jalanan kota kini penuh kereta kuda yang berlalu-lalang. Derap langkah kuda berpadu dengan gemerincing lonceng dan lecutan cambuk, irama yang menyatu dalam gemilang cahaya bulan yang bersinar megah di langit.Ren Hui memegang kendali keretanya dengan tenang, seperti menikmati setiap detik yang berlalu. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan dia memang tidak ingin terburu-buru. Malam ini, Yueliang seperti menyambutnya, menghamparkan keindahan yang jarang terjadi.“Sepertinya pelelangan kali ini benar-benar menarik perhatian banyak orang,” suara Junjie perlahan memecah hening di antara mereka. “Lihat saja, jalanan ini penuh dengan orang-orang dari berbagai penjuru.”Ren Hui tersenyum tipis, sorot matanya berpendar lembut dalam remang cahaya. “Ya, hanya sedikit percikan rumor sudah cukup menjadi api yang membakar rasa ingin
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam