Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Mengejar Suara-suara Misterius

Share

Mengejar Suara-suara Misterius

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 11:00:47

Ren Hui mengejar sosok-sosok berjubah dan berkerudung hitam itu di tengah kerumunan. Berkali-kali dia kehilangan mereka.

"Pondok Darah Besi," gumamnya seraya menatap sekeliling Pasar Hantu. "Tujuan mereka pondok Pak Tua Lan Feng. Aku harus ke sana!"

Dia bergegas kembali ke pondok milik pak tua pelupa tadi. Dia berlari dengan hati berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih kencang. Suara yang malam ini terdengar tanpa disengaja membuatnya hampir kehilangan akal.

"Ada apa ini? Bagaimana bisa suaranya begitu mirip dengan dia? Ini mustahil." Berkali-kali menggumamkan kata-kata itu di dalam hatinya.

Seperti saat di perahu dalam perjalanan menuju Pasar Hantu tadi. Saat pertama kalinya dia mendengar suara seseorang yang sangat mirip, bahkan dia meyakini itu suara milik seseorang yang dianggapnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu.

Ren Hui terus berlari hingga tiba di pelataran yang dipenu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Munculnya Dua Pedang Empat Musim

    Kepingan-kepingan salju berhamburan di sekitar pelataran. Menciptakan harmonisasi warna yang kontras. Bunga Bi'an Hua yang semerah darah berselimutkan lapisan salju tipis yang memutih."Pedang Musim Dingin," sebuah gumaman terdengar samar-samar di telinga Ren Hui.Dia bersandar di sepasang lengan kokoh yang melindunginya dari tebasan pedang tadi. Saat membuka mata perlahan dan melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya dia tersenyum lega. "Junjie," gumamnya seraya menggenggam erat lengan yang menyangga tubuhnya."Muncul juga salah satu pedang empat musim yang legendaris di Jiang Hu. Pedang Musim Salju." Tiba-tiba satu lagi sosok berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan mendarat di depan dua sosok yang tadi bertarung dengan Ren Hui.Ren Hui tertegun, lagi-lagi suara ini. Suara yang membuatnya linglung, kehilangan akal dan nyaris celaka. Dengan susah payah dia berusaha untuk berdiri.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Teman Terbaik

    Ren Hui terbangun saat merasakan guncangan pelan. Dia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan lesu. Dengan susah payah dia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.Setelah beberapa lama, dia menyadari di mana dirinya berada kini. Sepertinya di sebuah kereta yang tengah berjalan pelan. Perlahan di memperhatikan sekelilingnya, dan baru dilihatnya Junjie yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.Seperti biasa, pria tampan itu tertidur di bangku kereta dengan gaya malasnya, bertopang dagu. Angin musim semi yang bertiup sepoi-sepoi meniup anak-anak rambut yang berkeliaran di dahinya. Mantel birunya tampak berkilau di bawah terpaan sinar matahari pagi. Begitupun dengan gelang mutiara es di pergelangan tangannya."Kau pasti berjaga semalaman," gumamnya seraya tersenyum tipis. Ren Hui menatap pria tampan itu dengan tatapan berbinar. "Semoga aku tidak membuatmu panik," lanjutnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Mengunjungi Pondok Bambu Ungu

    Desa Empat MusimSementara itu di rumah beroda, Yingying dan Ye Hun tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Ye Hun sibuk memotong-motong karang dingin yang disimpan Ren Hui di laci obat."Setelah ini giling semua menjadi serbuk," Yingying memberi petunjuk padanya. Dia sendiri tengah menggiling beberapa butir mutiara embun biru dan mutiara es."Yingying, apa ini semua efektif untuk menetralisir racun bunga salju dan mengobati penyakit dingin Pangeran Yongle?" Ye Hun bertanya dengan hati-hati."Hanya untuk penyakit dingin dan menekan efek racunnya saja. Untuk menghilangkan sisa-sisa racun secara keseluruhan harus menggunakan bunga es abadi. Hanya itu satu-satunya cara." Yingying menyahut dengan lugas, tanpa basa-basi pertanyaan Ye Hun.Ye Hun menghela napas pelan. Dia tahu dengan pasti, bunga es abadi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Bahkan sangat sulit."B

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Biru Tujuh Rupa

    Di depan mereka terbentang pemandangan yang memukau, bagaikan lukisan alam yang penuh warna. Halaman itu, yang tampak lama tidak dirawat, dihiasi dengan hamparan bunga biru yang tumbuh liar, tetapu anggun, membentuk pemandangan yang menyerupai padang biru. Rumpun-rumpun bunga itu berayun pelan ditiup angin seolah menyambut kehadiran mereka."Yingying, bukankah ini bunga biru tujuh rupa?" tanya Ye Hun dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya setengah tersendat, namun terdengar ada nada kekaguman dan kecemasan di sana. Yingying, yang berdiri di sampingnya, mengangguk pelan tanpa suara.Keduanya bertatapan sejenak. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, ada ketidakpastian, kenangan, dan sedikit rasa takut yang saling terjalin. "Dulu, aku pernah melihat bunga biru tujuh rupa di sini," gumam Ye Hun sambil menyentuh keningnya yang mulai dibasahi keringat tipis, "Tapi, tidak pernah sebanyak ini."Yingying tetap diam, t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Wisma Cahaya Bintang

    Kereta kuda yang dinaiki Song Mingyu dan kawan-kawannya perlahan memasuki Kota Yueliang menjelang sore. Cahaya matahari lembut yang memudar melukis langit dengan semburat keemasan, memberikan kesan tenang pada kota yang mulai berbenah menuju malam."Junjie! Kita sudah sampai di Kota Yueliang!" serunya kepada pria yang sejak berangkat belum sekalipun keluar dari kereta, bahkan saat mereka berhenti untuk istirahat di kedai teh.Kali ini, Junjie tampaknya mendengarnya. Tirai kereta tersingkap, dan ia keluar untuk duduk di samping Song Mingyu. "Dulu kita meninggalkan kota ini menjelang musim gugur, dan sekarang kembali lagi di musim semi," ucapnya pelan, seraya menyodorkan sepotong bāozi pada Song Mingyu, seperti sebuah pengingat akan perjalanan mereka."Iya, kau benar!" sahut Song Mingyu, menerima bāozi tersebut. Dia menggigitnya perlahan, seolah menikmati setiap rasa yang melebur di lidahnya. Namun, ekspresi santainya seket

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Catatan Sejarah

    Ujung cambuk melayang cepat, menghantam udara dan memecahkan meja kayu di depan mereka. Song Mingyu, dengan gesit, berkelit dari serangan itu, sementara Junjie memilih langkah lain. Ia melompat ringan, lalu duduk di meja terdekat bersama Chu Wang dan Wei Xueran, mengamati dengan senyum tipis di wajahnya yang tersembunyi di balik doupengnya.Ren Hui, yang tetap duduk di tempatnya, hanya bisa memandangi sisa-sisa meja yang berantakan. Dengan tatapan memelas, ia menoleh ke arah Junjie, berharap mendapat sedikit empati, namun Junjie malah memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat.“Aiyo, Nyonya! Teh enak ini tumpah sebelum sempat saya nikmati,” keluh Ren Hui, menatap wanita berwajah tegas yang berdiri tak jauh dari meja yang hancur itu.Wanita itu—Nyonya Su Yang, ibu Song Mingyu—memandang Ren Hui sejenak, kemudian mengibaskan cambuknya lagi dengan gerakan penuh amarah, kali ini diarahkan ke Song Mingyu yang melompat mundur dengan gesit. “Ibu! Jangan mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Malam Yang Tak Lagi Seindah Bintang Di Langit

    Malam di Wisma Cahaya Bintang seolah menjadi bagian dari bentangan langit luas yang berhiaskan bintang. Ren Hui dan Junjie duduk di atas atap kamar mereka, dikelilingi angin malam yang sejuk serta taburan bintang yang berpendar di langit, menyesap arak sambil menikmati panorama bulan yang hampir sempurna.“Hidup tanpa menikmati arak di bawah langit yang seindah ini, sepertinya terasa kurang lengkap, bukan?” gumam Junjie, suaranya tenang, namun bibirnya tersenyum lebar, seperti seorang sahabat yang mengajak menikmati kesederhanaan hidup.Ren Hui hanya mengangguk pelan, memberi respon berupa gumaman yang tenang. Pangeran Yongle di sampingnya kini terlihat begitu berbeda—bukan sosok bangsawan, melainkan pria sederhana yang menjalani hidup bebas, berkelana tanpa batas dari satu kota ke kota lain.Setelah sejenak hening, Junjie kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius meski masih santai. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu nekad melawan o

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bulan Purnama di Yueliang

    Malam bulan purnama di awal musim semi menghadirkan suasana baru di Kota Yueliang, yang biasanya lengang di kala senja. Jalanan kota kini penuh kereta kuda yang berlalu-lalang. Derap langkah kuda berpadu dengan gemerincing lonceng dan lecutan cambuk, irama yang menyatu dalam gemilang cahaya bulan yang bersinar megah di langit.Ren Hui memegang kendali keretanya dengan tenang, seperti menikmati setiap detik yang berlalu. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan dia memang tidak ingin terburu-buru. Malam ini, Yueliang seperti menyambutnya, menghamparkan keindahan yang jarang terjadi.“Sepertinya pelelangan kali ini benar-benar menarik perhatian banyak orang,” suara Junjie perlahan memecah hening di antara mereka. “Lihat saja, jalanan ini penuh dengan orang-orang dari berbagai penjuru.”Ren Hui tersenyum tipis, sorot matanya berpendar lembut dalam remang cahaya. “Ya, hanya sedikit percikan rumor sudah cukup menjadi api yang membakar rasa ingin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-03

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Kembali

    Setelah cukup sibuk di dapur ditemani Miu Yue, Ren Hui membawa kelinci panggang dan sup kelinci yang sudah matang ke ruang tengah. Aroma gurih dari daging panggang dan rempah-rempah memenuhi udara, berpadu dengan hangatnya ruangan rumah beroda itu. Ia meletakkan piring dan bejana berisi sup beserta tungkunya di atas meja, mengatur semuanya dengan rapi."Junjie, ayo kita makan!" serunya kepada pria pemalas yang masih duduk bertopang dagu di dekat jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong.Junjie menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri, meregangkan tubuhnya dengan gerakan malas. "Akhirnya," gumamnya. Meski dari pagi hanya duduk menulis balasan surat dan mengirimkannya lewat burung-burung merpati, tubuhnya terasa pegal-pegal."Jenderal Miu, Anda juga duduklah bersama kami," ujar Ren Hui ramah kepada wanita yang sejak tadi menemaninya di dapur.Miu Yue menatap Ren Hui, lalu mengangguk. "Aku tidak pandai urusan dapur," katanya sambil dudu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Baihua Dan Kelinci Buruannya

    Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gelang Mutiara Malam

    Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ada Aku Di Sini

    Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Pasar Hóngshā

    Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pesona Ren Hui

    Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Kembali Untuk Diriku Sendiri

    Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Bi'an Hua

    Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jenderal Miu Mengunjungi Rumah Beroda

    Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J

DMCA.com Protection Status