Ujung cambuk melayang cepat, menghantam udara dan memecahkan meja kayu di depan mereka. Song Mingyu, dengan gesit, berkelit dari serangan itu, sementara Junjie memilih langkah lain. Ia melompat ringan, lalu duduk di meja terdekat bersama Chu Wang dan Wei Xueran, mengamati dengan senyum tipis di wajahnya yang tersembunyi di balik doupengnya.
Ren Hui, yang tetap duduk di tempatnya, hanya bisa memandangi sisa-sisa meja yang berantakan. Dengan tatapan memelas, ia menoleh ke arah Junjie, berharap mendapat sedikit empati, namun Junjie malah memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat.“Aiyo, Nyonya! Teh enak ini tumpah sebelum sempat saya nikmati,” keluh Ren Hui, menatap wanita berwajah tegas yang berdiri tak jauh dari meja yang hancur itu.Wanita itu—Nyonya Su Yang, ibu Song Mingyu—memandang Ren Hui sejenak, kemudian mengibaskan cambuknya lagi dengan gerakan penuh amarah, kali ini diarahkan ke Song Mingyu yang melompat mundur dengan gesit. “Ibu! Jangan memMalam di Wisma Cahaya Bintang seolah menjadi bagian dari bentangan langit luas yang berhiaskan bintang. Ren Hui dan Junjie duduk di atas atap kamar mereka, dikelilingi angin malam yang sejuk serta taburan bintang yang berpendar di langit, menyesap arak sambil menikmati panorama bulan yang hampir sempurna.“Hidup tanpa menikmati arak di bawah langit yang seindah ini, sepertinya terasa kurang lengkap, bukan?” gumam Junjie, suaranya tenang, namun bibirnya tersenyum lebar, seperti seorang sahabat yang mengajak menikmati kesederhanaan hidup.Ren Hui hanya mengangguk pelan, memberi respon berupa gumaman yang tenang. Pangeran Yongle di sampingnya kini terlihat begitu berbeda—bukan sosok bangsawan, melainkan pria sederhana yang menjalani hidup bebas, berkelana tanpa batas dari satu kota ke kota lain.Setelah sejenak hening, Junjie kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius meski masih santai. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu nekad melawan o
Malam bulan purnama di awal musim semi menghadirkan suasana baru di Kota Yueliang, yang biasanya lengang di kala senja. Jalanan kota kini penuh kereta kuda yang berlalu-lalang. Derap langkah kuda berpadu dengan gemerincing lonceng dan lecutan cambuk, irama yang menyatu dalam gemilang cahaya bulan yang bersinar megah di langit.Ren Hui memegang kendali keretanya dengan tenang, seperti menikmati setiap detik yang berlalu. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan dia memang tidak ingin terburu-buru. Malam ini, Yueliang seperti menyambutnya, menghamparkan keindahan yang jarang terjadi.“Sepertinya pelelangan kali ini benar-benar menarik perhatian banyak orang,” suara Junjie perlahan memecah hening di antara mereka. “Lihat saja, jalanan ini penuh dengan orang-orang dari berbagai penjuru.”Ren Hui tersenyum tipis, sorot matanya berpendar lembut dalam remang cahaya. “Ya, hanya sedikit percikan rumor sudah cukup menjadi api yang membakar rasa ingin
Junjie dan Ren Hui sudah cukup lama berdiri di belakang antrian tamu yang hendak memasuki Paviliun Yueliang. Dengan santai, keduanya menatap para tamu di sekitar mereka, tak tergesa untuk memasuki paviliun megah yang selalu memukau pengunjung dengan jamuan istimewanya.“Paviliun Keberuntungan Besar... siapa yang datang mewakili mereka kali ini?” Junjie berbisik lirih, nyaris tak terdengar, saat berdiri di samping Ren Hui.Ren Hui tersenyum tipis, mengisyaratkan agar Junjie tidak menarik perhatian. Di depan mereka, dua pria berbalut hanfu dan jubah hitam berjalan dengan anggun, seolah menyerap perhatian tamu yang lain tanpa perlu berusaha.Beberapa tamu terlihat tak bisa menahan diri untuk tidak melirik penuh tanda tanya. Namun, baik Junjie dan Ren Hui, maupun dua pria muda lainnya di dekat mereka, tampak acuh tak acuh, seolah kehadiran para tamu penting itu bukan hal luar biasa.Di sisi mereka, Chu Wang
Junjie masih mengamati ketiga sosok itu dari balik bayangan. Sayangnya, suara percakapan mereka tak mampu dijangkaunya. Namun, dia cukup yakin bahwa salah satu dari mereka adalah figur misterius yang muncul di Pondok Darah Besi malam itu, di Pasar Hantu."Tunggu," gumamnya perlahan. "Jurus Pedang Naga Langit... dan Xue Xue? Ini... mulai masuk akal, meski aneh." Senyum tipis terukir di wajahnya, seakan menemukan petunjuk berharga.Dalam benaknya, sebuah benang merah mulai terbentuk dari rangkaian teka-teki yang selama ini sulit dipahami. Xue Xue, seorang murid luar Sekte Pedang Langit. Walau tidak menguasai jurus Pedang Naga Langit layaknya Guru Liuxing, Zhu Zijing, atau Ren Jie, cukup masuk akal jika dia diam-diam mempelajarinya."Selain itu, Ren Hui pernah mengatakan bahwa salah satu suara dari sosok-sosok misterius di Pondok Darah Besi mengingatkannya pada Xue Xue," bisik Junjie, matanya masih mengawasi. "Tampaknya petunjuk ini semakin jelas... mesk
Pelelangan dimulai dengan kata sambutan hangat dari Wei Jin, yang berdiri anggun di tengah aula. Dengan sikap percaya diri, ia melirik seorang pria yang sudah sangat dikenal di seluruh Kekaisaran Shenguang, Tuan Muda Fu Kai, sang juru lelang ternama yang sering memimpin pelelangan barang-barang berharga di seluruh negeri.Ren Hui tersenyum tipis saat melihat Fu Kai maju ke depan. Di sisinya, Junjie duduk dengan tenang tanpa ekspresi sedikit pun, hanya mengamati jalannya acara. Kehadiran Fu Kai di sini bukan kejutan baginya. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan, Ren Hui secara rutin memasok air murni dari penyulingan tujuh bunga musim semi untuk adik perempuan Fu Kai, Fu Rong Rong, yang kondisi kesehatannya lemah sejak kecil. Di tempat lain, di dalam kerumunan tamu, terlihat Song Mingyu mengarahkan tatapannya dengan penuh perhatian pada Fu Kai. Rasa terkejut tampak di wajahnya ketika ia melirik ke arah Ren Hui dan Junjie yang duduk tak jauh darinya. Saya
Dengan gerakan hati-hati, Tuan Muda Fu Kai menyibakkan kain hitam yang menutupi sebuah benda di atas meja kayu yang kokoh. Saat kain itu terlepas seluruhnya, cahaya di aula utama Paviliun Yueliang segera diselimuti oleh kilauan biru yang memancar dari batu berwarna cemerlang dalam sebuah kotak kaca. Semua yang hadir terpana, keindahan batu itu begitu memikat hingga tak satu pun dari mereka mampu mengalihkan pandangan.“Indah sekali! Luar biasa menawan!” beberapa orang bergumam terkesima. Suara bisik-bisik itu segera menyebar, mengisi seantero aula dengan rasa kagum yang tak tertahan.Tuan Muda Fu Kai menatap hadirin dengan senyumnya yang ramah, lalu berkata dengan suara yang jernih dan tegas, “Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, inilah Batu Bintang Ilusi terbesar yang pernah ditemukan. Di meja-meja berikutnya, kalian juga dapat melihat yang lebih kecil, serta inti dari batu ini.” Setiap katanya disampaikan dengan tenang, seolah membiarkan keajaiban batu itu sendi
Penawaran untuk inti Batu Bintang Ilusi datang dari seorang wanita cantik yang kini menjadi pusat perhatian peserta lelang. Bahkan Tuan Muda Fu Kai menatapnya setengah tidak percaya.Seribu tael emas, jumlah yang jauh melampaui penawaran sebelumnya yang hanya lima ratus tael perak dari seorang pria muda yang duduk di sudut aula. Tentu saja, angka ini memicu bisikan di antara para peserta lelang."Nona Xue Xue, apakah Anda sedang bercanda?" seorang pria muda bertanya pada wanita cantik berhanfu putih yang terkesan lebih mewah dari pakaian kesehariannya.Wanita cantik itu, yang tak lain adalah Xue Xue, salah satu murid senior dari Sekte Pedang Langit, tersenyum cerah dan menyahut santai, "Tentu saja aku tidak sedang bercanda."Bu Hui, yang duduk di dekatnya bersama Cui Xuegang dan Chang Qigang, menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. Dia menyipitkan matanya, memperlihatkan rasa tidak senang terhadap sikap kekanak-kanakan wanita yang dijuluki seb
Qiao Yang menatap dalam diam, matanya tajam terpaku pada bayangan kelam dari lubang hitam yang terbuka di hadapannya. Di sisinya, Dongfang Yu terus memainkan seruling giok dengan kelembutan, tetapi penuh daya ilusi. Melodi dari seruling itu mengalun ke seluruh sudut paviliun, seperti embusan angin lembut yang mengundang perasaan aneh, membuat siapa pun yang mendengar terseret dalam alunan nadanya. Namun, bagi para penjaga di Paviliun Yueliang, melodi ini adalah isyarat—peringatan bahwa mereka harus semakin waspada."Seruling Iblis…" bisik salah seorang penjaga yang tengah berjaga di atap paviliun. Suara seruling Dongfang Yu mungkin memabukkan bagi telinga kebanyakan orang, tetapi bagi mereka yang terlatih, ia adalah tanda bahaya, sinyal bahwa ada sesuatu yang bersembunyi di balik alunan musik itu."Bagaimana situasi pelelangan?" seorang penjaga lain bertanya, menoleh penuh waspada sambil memeriksa seluruh area paviliun dengan saksama. Tatapan matanya tak pernah len
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam