Pelelangan dimulai dengan kata sambutan hangat dari Wei Jin, yang berdiri anggun di tengah aula. Dengan sikap percaya diri, ia melirik seorang pria yang sudah sangat dikenal di seluruh Kekaisaran Shenguang, Tuan Muda Fu Kai, sang juru lelang ternama yang sering memimpin pelelangan barang-barang berharga di seluruh negeri.Ren Hui tersenyum tipis saat melihat Fu Kai maju ke depan. Di sisinya, Junjie duduk dengan tenang tanpa ekspresi sedikit pun, hanya mengamati jalannya acara. Kehadiran Fu Kai di sini bukan kejutan baginya. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan, Ren Hui secara rutin memasok air murni dari penyulingan tujuh bunga musim semi untuk adik perempuan Fu Kai, Fu Rong Rong, yang kondisi kesehatannya lemah sejak kecil. Di tempat lain, di dalam kerumunan tamu, terlihat Song Mingyu mengarahkan tatapannya dengan penuh perhatian pada Fu Kai. Rasa terkejut tampak di wajahnya ketika ia melirik ke arah Ren Hui dan Junjie yang duduk tak jauh darinya. Saya
Dengan gerakan hati-hati, Tuan Muda Fu Kai menyibakkan kain hitam yang menutupi sebuah benda di atas meja kayu yang kokoh. Saat kain itu terlepas seluruhnya, cahaya di aula utama Paviliun Yueliang segera diselimuti oleh kilauan biru yang memancar dari batu berwarna cemerlang dalam sebuah kotak kaca. Semua yang hadir terpana, keindahan batu itu begitu memikat hingga tak satu pun dari mereka mampu mengalihkan pandangan.“Indah sekali! Luar biasa menawan!” beberapa orang bergumam terkesima. Suara bisik-bisik itu segera menyebar, mengisi seantero aula dengan rasa kagum yang tak tertahan.Tuan Muda Fu Kai menatap hadirin dengan senyumnya yang ramah, lalu berkata dengan suara yang jernih dan tegas, “Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, inilah Batu Bintang Ilusi terbesar yang pernah ditemukan. Di meja-meja berikutnya, kalian juga dapat melihat yang lebih kecil, serta inti dari batu ini.” Setiap katanya disampaikan dengan tenang, seolah membiarkan keajaiban batu itu sendi
Penawaran untuk inti Batu Bintang Ilusi datang dari seorang wanita cantik yang kini menjadi pusat perhatian peserta lelang. Bahkan Tuan Muda Fu Kai menatapnya setengah tidak percaya.Seribu tael emas, jumlah yang jauh melampaui penawaran sebelumnya yang hanya lima ratus tael perak dari seorang pria muda yang duduk di sudut aula. Tentu saja, angka ini memicu bisikan di antara para peserta lelang."Nona Xue Xue, apakah Anda sedang bercanda?" seorang pria muda bertanya pada wanita cantik berhanfu putih yang terkesan lebih mewah dari pakaian kesehariannya.Wanita cantik itu, yang tak lain adalah Xue Xue, salah satu murid senior dari Sekte Pedang Langit, tersenyum cerah dan menyahut santai, "Tentu saja aku tidak sedang bercanda."Bu Hui, yang duduk di dekatnya bersama Cui Xuegang dan Chang Qigang, menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. Dia menyipitkan matanya, memperlihatkan rasa tidak senang terhadap sikap kekanak-kanakan wanita yang dijuluki seb
Qiao Yang menatap dalam diam, matanya tajam terpaku pada bayangan kelam dari lubang hitam yang terbuka di hadapannya. Di sisinya, Dongfang Yu terus memainkan seruling giok dengan kelembutan, tetapi penuh daya ilusi. Melodi dari seruling itu mengalun ke seluruh sudut paviliun, seperti embusan angin lembut yang mengundang perasaan aneh, membuat siapa pun yang mendengar terseret dalam alunan nadanya. Namun, bagi para penjaga di Paviliun Yueliang, melodi ini adalah isyarat—peringatan bahwa mereka harus semakin waspada."Seruling Iblis…" bisik salah seorang penjaga yang tengah berjaga di atap paviliun. Suara seruling Dongfang Yu mungkin memabukkan bagi telinga kebanyakan orang, tetapi bagi mereka yang terlatih, ia adalah tanda bahaya, sinyal bahwa ada sesuatu yang bersembunyi di balik alunan musik itu."Bagaimana situasi pelelangan?" seorang penjaga lain bertanya, menoleh penuh waspada sambil memeriksa seluruh area paviliun dengan saksama. Tatapan matanya tak pernah len
Sementara itu, di desa Empat Musim, Yue Yingying dan Ye Hun duduk bersebelahan di teras rumah beroda. Udara malam terasa sejuk, dengan angin lembut yang mengalir membawa wangi bunga-bunga liar dari pegunungan. Di atas meja, tersaji teh hijau hangat dan kue kacang hijau, aroma segar tehnya berpadu sempurna dengan manisnya kue yang lembut.Mereka memandang langit malam yang dihiasi bulan purnama terang, cahayanya jatuh melingkupi desa dengan kehangatan yang sunyi. Di antara tegukan teh dan camilan sederhana, mereka saling bertukar cerita.“Apa yang kau dapatkan dari catatan-catatan di Pondok Bambu Ungu?” tanya Yingying dengan nada santai, pandangannya masih terpaku pada keindahan bulan.Semenjak Ye Hun terbangun dari tidur panjangnya, mereka menjalin persahabatan yang tak diduga. Bagi Yingying, yang biasanya menjaga jarak dari siapa pun—bahkan dari Ren Hui—kehadiran Ye Hun membuka ruang baginya untuk berbagi hal-hal yang sebelumnya ia simpan sendiri. Begitu
Dongfang Yu masih meniup seruling gioknya, nada-nada merdu berhembus pelan, dibawa angin malam yang semakin dingin. Suara seruling itu melayang-layang, menembus sunyi yang membeku, menciptakan irama yang seakan-akan memanggil sesuatu dari kejauhan. Sementara itu, di dalam Paviliun Yueliang, Wei Jin menggenggam erat telapak tangannya, mata penuh kecemasan. Meski hatinya tak tenang memikirkan Dongfang Yu dan Qiao Yang, dia tak bisa begitu saja meninggalkan tempat pelelangan yang ramai dan hiruk pikuk.Di sudut aula, Ren Hui dan Junjie turut mendengar suara seruling yang menggugah hati itu. Ren Hui melirik Junjie, merasakan ketegangan yang menyelimuti pria di sampingnya yang berdoupeng putih. “Ayo kita keluar,” ujar Ren Hui lembut, sambil menyentuh lengan Junjie dengan hangat. Pria itu mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap waspada.Setelah berhasil mendapatkan inti Batu Bintang Ilusi, tidak ada lagi yang membuat mereka ingin bertahan di ruangan yang ki
Denting senar yang samar-samar terdengar dari kejauhan membuat Dongfang Yu tertegun, seperti terjerat pesona yang tak terlukiskan. Nada itu berbeda—bukan dari guzheng atau guqin seperti yang biasa ia dengar. Ada sesuatu yang asing, namun menyentuh sisi nostalgia dalam ingatannya.Perlahan, Dongfang Yu meraba permukaan gerbang dimensi yang semakin transparan di hadapannya, meski tak membiarkan pandangan melampaui batas. Di sisinya, Qiao Yang mengigit jarinya hingga setetes darah muncul, lalu menulis dengannya di atas kertas mantra dan menempelkannya di punggung Dongfang Yu. Sentuhan mantra itu terasa dingin, seolah memberi kekuatan dan perlindungan."Apakah ini akan baik-baik saja?" tanya Dongfang Yu, ragu dan menoleh pada kakak seperguruannya.Qiao Yang mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya, memberi isyarat agar Dongfang Yu tak meragu. Keyakinan di matanya seperti jaminan yang diam-diam menenangkan hati Dongfang Yu.Dongfang Yu mena
Tamu-tamu asing itu menatap lurus pada Dongfang Yu. Meski langkah mereka mantap, tampak jelas canggung mengiringi setiap gerakan mereka. Begitu pun Dongfang Yu, yang tanpa ragu mendekati mereka, mengulurkan tangan sebagai isyarat untuk mengikuti."Aku tahu mungkin ini terasa asing bagi kalian… seperti halnya bagiku." Suaranya lembut namun tegas, senyumnya disuguhkan dengan kehangatan yang hati-hati. "Namun, percayalah, kalian diterima dengan senang hati di Paviliun Yueliang ini."Sepasang mata para tamu itu berkedip, dan meski tak ada jawaban, sikap mereka memberi kesan bahwa mereka memahami maksud Dongfang Yu. Mereka pun melangkah di belakangnya, menuju aula utama yang dipenuhi atmosfer tegang karena tengah berlangsung tawar-menawar sengit.Kedatangan Dongfang Yu bersama para tamu asing ini segera memancing perhatian setiap orang yang ada di dalam ruangan. Keramaian mendadak mereda, dan tatapan bertanya mengarah pada Dongfang dan tamu-tamunya. Wei Jin dan
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"