Penawaran untuk inti Batu Bintang Ilusi datang dari seorang wanita cantik yang kini menjadi pusat perhatian peserta lelang. Bahkan Tuan Muda Fu Kai menatapnya setengah tidak percaya.
Seribu tael emas, jumlah yang jauh melampaui penawaran sebelumnya yang hanya lima ratus tael perak dari seorang pria muda yang duduk di sudut aula. Tentu saja, angka ini memicu bisikan di antara para peserta lelang."Nona Xue Xue, apakah Anda sedang bercanda?" seorang pria muda bertanya pada wanita cantik berhanfu putih yang terkesan lebih mewah dari pakaian kesehariannya.Wanita cantik itu, yang tak lain adalah Xue Xue, salah satu murid senior dari Sekte Pedang Langit, tersenyum cerah dan menyahut santai, "Tentu saja aku tidak sedang bercanda."Bu Hui, yang duduk di dekatnya bersama Cui Xuegang dan Chang Qigang, menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. Dia menyipitkan matanya, memperlihatkan rasa tidak senang terhadap sikap kekanak-kanakan wanita yang dijuluki sebQiao Yang menatap dalam diam, matanya tajam terpaku pada bayangan kelam dari lubang hitam yang terbuka di hadapannya. Di sisinya, Dongfang Yu terus memainkan seruling giok dengan kelembutan, tetapi penuh daya ilusi. Melodi dari seruling itu mengalun ke seluruh sudut paviliun, seperti embusan angin lembut yang mengundang perasaan aneh, membuat siapa pun yang mendengar terseret dalam alunan nadanya. Namun, bagi para penjaga di Paviliun Yueliang, melodi ini adalah isyarat—peringatan bahwa mereka harus semakin waspada."Seruling Iblis…" bisik salah seorang penjaga yang tengah berjaga di atap paviliun. Suara seruling Dongfang Yu mungkin memabukkan bagi telinga kebanyakan orang, tetapi bagi mereka yang terlatih, ia adalah tanda bahaya, sinyal bahwa ada sesuatu yang bersembunyi di balik alunan musik itu."Bagaimana situasi pelelangan?" seorang penjaga lain bertanya, menoleh penuh waspada sambil memeriksa seluruh area paviliun dengan saksama. Tatapan matanya tak pernah len
Sementara itu, di desa Empat Musim, Yue Yingying dan Ye Hun duduk bersebelahan di teras rumah beroda. Udara malam terasa sejuk, dengan angin lembut yang mengalir membawa wangi bunga-bunga liar dari pegunungan. Di atas meja, tersaji teh hijau hangat dan kue kacang hijau, aroma segar tehnya berpadu sempurna dengan manisnya kue yang lembut.Mereka memandang langit malam yang dihiasi bulan purnama terang, cahayanya jatuh melingkupi desa dengan kehangatan yang sunyi. Di antara tegukan teh dan camilan sederhana, mereka saling bertukar cerita.“Apa yang kau dapatkan dari catatan-catatan di Pondok Bambu Ungu?” tanya Yingying dengan nada santai, pandangannya masih terpaku pada keindahan bulan.Semenjak Ye Hun terbangun dari tidur panjangnya, mereka menjalin persahabatan yang tak diduga. Bagi Yingying, yang biasanya menjaga jarak dari siapa pun—bahkan dari Ren Hui—kehadiran Ye Hun membuka ruang baginya untuk berbagi hal-hal yang sebelumnya ia simpan sendiri. Begitu
Dongfang Yu masih meniup seruling gioknya, nada-nada merdu berhembus pelan, dibawa angin malam yang semakin dingin. Suara seruling itu melayang-layang, menembus sunyi yang membeku, menciptakan irama yang seakan-akan memanggil sesuatu dari kejauhan. Sementara itu, di dalam Paviliun Yueliang, Wei Jin menggenggam erat telapak tangannya, mata penuh kecemasan. Meski hatinya tak tenang memikirkan Dongfang Yu dan Qiao Yang, dia tak bisa begitu saja meninggalkan tempat pelelangan yang ramai dan hiruk pikuk.Di sudut aula, Ren Hui dan Junjie turut mendengar suara seruling yang menggugah hati itu. Ren Hui melirik Junjie, merasakan ketegangan yang menyelimuti pria di sampingnya yang berdoupeng putih. “Ayo kita keluar,” ujar Ren Hui lembut, sambil menyentuh lengan Junjie dengan hangat. Pria itu mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap waspada.Setelah berhasil mendapatkan inti Batu Bintang Ilusi, tidak ada lagi yang membuat mereka ingin bertahan di ruangan yang ki
Denting senar yang samar-samar terdengar dari kejauhan membuat Dongfang Yu tertegun, seperti terjerat pesona yang tak terlukiskan. Nada itu berbeda—bukan dari guzheng atau guqin seperti yang biasa ia dengar. Ada sesuatu yang asing, namun menyentuh sisi nostalgia dalam ingatannya.Perlahan, Dongfang Yu meraba permukaan gerbang dimensi yang semakin transparan di hadapannya, meski tak membiarkan pandangan melampaui batas. Di sisinya, Qiao Yang mengigit jarinya hingga setetes darah muncul, lalu menulis dengannya di atas kertas mantra dan menempelkannya di punggung Dongfang Yu. Sentuhan mantra itu terasa dingin, seolah memberi kekuatan dan perlindungan."Apakah ini akan baik-baik saja?" tanya Dongfang Yu, ragu dan menoleh pada kakak seperguruannya.Qiao Yang mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya, memberi isyarat agar Dongfang Yu tak meragu. Keyakinan di matanya seperti jaminan yang diam-diam menenangkan hati Dongfang Yu.Dongfang Yu mena
Tamu-tamu asing itu menatap lurus pada Dongfang Yu. Meski langkah mereka mantap, tampak jelas canggung mengiringi setiap gerakan mereka. Begitu pun Dongfang Yu, yang tanpa ragu mendekati mereka, mengulurkan tangan sebagai isyarat untuk mengikuti."Aku tahu mungkin ini terasa asing bagi kalian… seperti halnya bagiku." Suaranya lembut namun tegas, senyumnya disuguhkan dengan kehangatan yang hati-hati. "Namun, percayalah, kalian diterima dengan senang hati di Paviliun Yueliang ini."Sepasang mata para tamu itu berkedip, dan meski tak ada jawaban, sikap mereka memberi kesan bahwa mereka memahami maksud Dongfang Yu. Mereka pun melangkah di belakangnya, menuju aula utama yang dipenuhi atmosfer tegang karena tengah berlangsung tawar-menawar sengit.Kedatangan Dongfang Yu bersama para tamu asing ini segera memancing perhatian setiap orang yang ada di dalam ruangan. Keramaian mendadak mereda, dan tatapan bertanya mengarah pada Dongfang dan tamu-tamunya. Wei Jin dan
Ren Hui dan Junjie kembali duduk di meja mereka dengan santai. Wei Xueran melirik mereka sekilas, senyum jahil tersungging di bibirnya seolah sedang merencanakan sesuatu. Ren Hui hanya menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah sedikit bingung, sedangkan Junjie tetap tenang, berlagak seakan suasana di aula yang dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran itu tak mengusiknya sedikit pun.Sementara itu, Tuan Muda Fu Kai masih menunggu penawaran berikutnya. Dia melirik ke arah beberapa tamu asing yang sedang berbisik-bisik di pojok aula, tampak seperti sedang berdiskusi serius. Salah seorang dari mereka memberi isyarat halus, memanggilnya untuk mendekat. Fu Kai tersenyum ramah, senyuman seorang tuan muda yang tahu cara menjaga sikap, dan melangkah mendekati mereka.Begitu dia tiba di hadapan para tamu itu, salah seorang dari mereka tanpa banyak bicara menempelkan selembar kertas jimat pada punggung tangannya. Seketika, Fu Kai merasakan sensasi hangat menjalar dari tanganny
Chu Wang berdiri perlahan, senyumnya tipis dan penuh teka-teki. Dengan elegan, ia melangkah maju dan menatap Tuan Muda Fu Kai, yang berdiri di dekat meja pelelangan. “Tuan Muda Fu,” ujarnya, suaranya lembut tapi penuh wibawa, “agar tidak menimbulkan kecurigaan di antara para tamu yang lain, bagaimana jika aku yang membayar terlebih dahulu?” Tuan Muda Fu Kai terdiam sejenak, tampak sedikit ragu. Ia menoleh ke arah Wei Jin, wanita cantik dengan sorot mata tajam yang sejak awal hanya mengawasi jalannya lelang. Wei Jin mengangguk pelan, memberi isyarat setuju tanpa berkata apa-apa. “Baiklah, jika itu memang keinginan Chu Wang,” jawab Tuan Muda Fu Kai akhirnya, suaranya tegas namun penuh hormat. Chu Wang mengangkat tangannya sedikit, bertepuk tangan dengan gerakan yang anggun. Dua orang pelayan segera datang, membawa kotak kayu berukuran sedang. Mereka membawanya ke hadapan Wei Jin, yang membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, tumpukan tael emas berkilauan, memantulkan cahaya
Wei Jin berdiri diam di sudut ruangan, hanya mengamati pergerakan orang-orang di aula dengan tatapan tenang dan dalam. Dia mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat halus kepada Tuan Muda Fu Kai dan Dongfang Yu. Tanpa perlu diperintah dua kali, Fu Kai melangkah mundur, sementara Dongfang Yu melangkah maju dengan cekatan, menyerahkan kotak kayu berukir elegan yang berisi Batu Bintang Ilusi kepada gadis cantik yang sebelumnya memberikan buku tebal pada mereka."Nona, waktunya pergi! Gerbang dimensi akan tertutup dalam hitungan napas," ujar Dongfang Yu, nada suaranya mendesak meski lembut. Sambil berbicara, dia mengangkat seruling gioknya, meniup nada-nada yang menggema lembut di dalam ruangan.Seiring dengan alunan melodi yang melayang di udara, kabut tipis perlahan muncul, menyelimuti seluruh aula. Kabut itu berkilauan seperti debu bintang yang terpantul cahaya lentera, memberikan kesan mistis. Dalam hitungan detik, Dongfang Yu beserta gadis itu dan beberapa tamu l
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam