Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Pelelangan Telah Usai

Share

Pelelangan Telah Usai

Author: Aspasya
last update Huling Na-update: 2024-11-09 15:00:54

Wei Jin berdiri diam di sudut ruangan, hanya mengamati pergerakan orang-orang di aula dengan tatapan tenang dan dalam. Dia mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat halus kepada Tuan Muda Fu Kai dan Dongfang Yu. Tanpa perlu diperintah dua kali, Fu Kai melangkah mundur, sementara Dongfang Yu melangkah maju dengan cekatan, menyerahkan kotak kayu berukir elegan yang berisi Batu Bintang Ilusi kepada gadis cantik yang sebelumnya memberikan buku tebal pada mereka.

"Nona, waktunya pergi! Gerbang dimensi akan tertutup dalam hitungan napas," ujar Dongfang Yu, nada suaranya mendesak meski lembut. Sambil berbicara, dia mengangkat seruling gioknya, meniup nada-nada yang menggema lembut di dalam ruangan.

Seiring dengan alunan melodi yang melayang di udara, kabut tipis perlahan muncul, menyelimuti seluruh aula. Kabut itu berkilauan seperti debu bintang yang terpantul cahaya lentera, memberikan kesan mistis. Dalam hitungan detik, Dongfang Yu beserta gadis itu dan beberapa tamu l
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sesuai Rencana

    Kereta kuda yang dikendarai Ren Hui perlahan-lahan membelah jalanan kota Yueliang yang sunyi. Udara dingin menusuk tulang, membalut seluruh kota dengan kesunyian yang mencekam. Bayang-bayang lampion yang tertinggal di sepanjang jalan hanya menyisakan kerlip temaram, berayun pelan di bawah hembusan angin yang dingin menggigit. Malam ini, suasana terasa jauh lebih misterius dari biasanya, seakan-akan kota itu menyimpan rahasia yang tak terucapkan.“Sungguh menarik!” Junjie tertawa pelan. Dia melepaskan doupeng yang menutupi wajahnya, melemparkannya ke dalam kereta tanpa beban sedikit pun. Rambutnya yang hitam panjang terurai, seakan turut menari bersama angin malam yang dingin.Ren Hui hanya meliriknya sekilas, tersenyum simpul. Dia tahu betul apa yang dimaksud Junjie. Tentu saja, hasil pelelangan malam ini sungguh di luar dugaan mereka. Batu Bintang Ilusi yang memicu perbincangan hangat sepanjang acara akhirnya jatuh ke tangan yang tak terduga.“Besok kita

    Huling Na-update : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pamit

    Dongfang Yu memimpin para tamu asing itu kembali menuju gerbang dimensi yang mulai memudar di balik cahaya biru keunguan. Qiao Yang, yang sudah menunggu di sana, terperangah melihat sosok-sosok asing yang berdiri bersama adik seperguruannya. Mereka adalah tamu dari dunia yang berbeda, dengan aura yang sungguh berbeda dari para ahli yang biasa ditemuinya di Kekaisaran Shenguang. “Kakak, mereka datang dari dimensi lain. Sayangnya, waktu mereka terbatas di sini,” Dongfang Yu menjelaskan dengan suara tenang, meski terlihat sedikit tergesa. Qiao Yang mengangguk, memandang mereka sekilas sebelum berkata dengan nada mendesak, “Cepatlah! Sebelum gerbang ini tertutup kembali dan kita kehilangan kesempatan.” Dongfang Yu berbalik menatap para tamu itu, lalu menundukkan tubuhnya dalam-dalam, ber-kowtow dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih atas bantuan kalian. Nona Eirlys, mungkin buku yang kau berikan hanyalah sebuah buku dongeng di duniamu. Tetap

    Huling Na-update : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pria-pria Menyebalkan

    Keesokan paginya, sebuah kereta kuda melaju pelan menyusuri jalanan Kota Yueliang. Udara pagi masih sejuk, membawa aroma embun yang segar dan kilauan cahaya matahari yang memantul di dedaunan, menciptakan butiran-butiran berkilau layaknya mutiara yang bertaburan di rerumputan."Pagi selalu menjadi waktu yang menyenangkan selain malam bulan purnama," Ren Hui bergumam, suaranya serupa bisikan halus, seakan tengah membaca sebuah syair lama yang dipenuhi kerinduan.Junjie tertawa pelan dari dalam kereta. Dia membuka tirai jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Pemandangan di luar sungguh memikat; bunga-bunga wisteria mulai bersemi, ungu lembutnya mengurai ke angin, sementara bunga liat bermekaran, memercikkan warna-warni cerah di sepanjang jalanan kota yang masih dibalut kabut pagi."Benar seperti katamu, Ren Hui," gumam Junjie, suaranya lebih pelan, terdengar puas. "Pagi hari di musim semi di Kota Yueliang benar-benar seperti lukisan hidup

    Huling Na-update : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gerobak Arak Di Lembah Kabut Mutiara

    Pagi-pagi sekali, Ren Hui sudah membawa gerobaknya melintasi jalan setapak menuju pasar desa di Lembah Kabut Mutiara. Meski jaraknya cukup jauh, ia lebih suka pasar ini dibandingkan pasar di Desa Empat Musim yang hanya dibuka seminggu sekali. Di sini, kehidupan terasa lebih ramai dan penuh warna, serupa dengan arak yang disusunnya dalam guci-guci yang berderak pelan di atas gerobak kayu. Ia mendorong gerobaknya dengan langkah santai, tak ada yang perlu dikejar. Sekalipun terlambat dan kehilangan jam-jam teramai pasar, ia tahu araknya tetap akan laku di kedai-kedai sekitar. Ia tak tergesa-gesa, hanya menikmati angin pagi yang sejuk dengan aroma embun yang masih menggantung di udara. Saat tiba di kaki sebuah bukit kecil, Ren Hui menghentikan langkahnya. Ia mendongak, menatap anak tangga batu yang memanjang menuju puncak bukit. Tanaman semanggi hijau menyembul di sela-sela bebatuan, melambai lembut diterpa angin. Tanpa sadar, ia teringat pada perkataan Cui

    Huling Na-update : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayar !

    Ren Hui tersenyum puas sambil menatap gerobak kayu yang penuh dengan guci-guci arak besar. Sebagian besar guci yang tadinya terisi penuh kini telah setengah kosong. Beberapa di antaranya sudah diantarkannya ke pemilik kedai dan penginapan di sekitar pasar besar. Ada juga yang dibeli oleh pelayan rumah tangga dari keluarga kaya yang tengah berbelanja di pasar pagi ini. "Pedagang arak!" Suara seorang pria memanggil tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Ren Hui mendongak, matanya bertemu dengan seraut wajah tampan yang sangat dikenalnya. Hanfu biru langit cerah melambai tertiup angin, berpadu dengan jubah putih yang panjang menjuntai hingga ke pergelangan kaki. Perhiasan giok berwarna biru muda tergantung di pinggangnya, memantulkan kilauan cahaya matahari pagi. Rambut hitam panjang diikat rapi dengan pita sutra yang senada dengan hanfunya. Seulas senyum di bibir tipis yang kemerahan itu menciptakan pesona yang mampu membuat siapa saja terpukau, termasuk Ren

    Huling Na-update : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertemuan Tak Terduga Di Pasar

    Wei Xueran menatap gadis yang baru saja menegurnya, alisnya mengernyit tipis. Gadis muda itu terlihat cantik memesona dalam balutan hanfu ungu muda dengan ikat pinggang ungu tua. Rambut hitamnya tergerai panjang, dihiasi oleh jepit giok yang memantulkan cahaya lembut di bawah sinar matahari sore. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan gadis itu—berapi-api seperti kobaran semangat yang tak kenal takut."Pergilah!" Wei Xueran mengibaskan lengannya, namun selendang putih yang melilit pergelangannya tak mudah lepas, malah semakin erat membelitnya. Gadis itu hanya tersenyum kecil, menarik selendangnya dengan lebih kuat, seolah sengaja ingin mempermainkannya.Wei Xueran menghela napas panjang, matanya menyipit penuh kekesalan yang tertahan. Dia tidak ingin bertindak gegabah, terutama karena lawannya hanyalah seorang gadis muda. Bagaimanapun, akan sangat memalukan jika dia benar-benar harus bertarung melawan gadis seperti ini di tengah keramaian pasar."Nona,

    Huling Na-update : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kekhawatiran Wei Xueran

    Ren Hui menyeret Wei Xueran dengan cepat, seolah mengabaikan keluhan sahabatnya itu, membawa pria itu kembali ke tempat di mana gerobak araknya terparkir dengan rapi di bawah pohon willow yang daunnya berayun pelan tertiup angin musim semi. Tanpa banyak bicara, Ren Hui merapikan susunan guci-guci arak, memastikan tak ada yang terguling sebelum ia bersiap mendorong gerobaknya."Ayo, kita kembali ke Kediaman Chu Wang," ajaknya, menoleh sambil tersenyum tipis. Ren Hui tak memedulikan wajah Wei Xueran yang kini sedikit kusut meski tetap tak kehilangan pesona khasnya. Pria itu tetap saja tampan, bahkan dengan rambut yang sedikit acak-acakan."Aiyo! Aku masih ingin bersenang-senang di pasar ini," keluh Wei Xueran seraya mengibaskan lengan jubah sutra birunya yang mewah. Nada suaranya terdengar seperti bocah yang tak rela meninggalkan arena permainan. "Kau pergilah dulu! Chu Wang pasti akan membayar arak yang kuambil tadi," lanjutnya sambil melangkah pergi, tidak peduli p

    Huling Na-update : 2024-11-12
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Kembali Lagi

    Sosok berhanfu putih dengan jubah hijau lotus tampak berdiri tegak di tengah jalan yang lengang. Ia tersenyum lembut, melambaikan tangan ke arah dua orang yang baru tiba. Sorotan mata pemuda itu menyiratkan kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan. "Kau rupanya!" Wei Xueran mendengus, mengerutkan alis seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, senyumnya tipis, menunjukkan rasa jengkel yang bercampur dengan rasa akrab. Di sisi lain, Ren Hui justru tersenyum lebar, wajahnya berbinar seperti bertemu dengan teman lama. "Sendirian?" Ren Hui mendekat, melirik ke belakang bahu pemuda itu, memastikan tak ada pengikut. Sorot matanya mengisyaratkan rasa waspada, meskipun senyumnya tetap ramah. "Aku yakin dia melarikan diri lagi dari Nyonya Su Yang," ejek Wei Xueran sambil terkekeh, mengguncang guci arak di tangannya dengan gerakan santai, seakan tak peduli dunia. "Wei Xueran! Berhenti bicara sembarangan!" Song Mingy

    Huling Na-update : 2024-11-12

Pinakabagong kabanata

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status