Wei Jin berdiri diam di sudut ruangan, hanya mengamati pergerakan orang-orang di aula dengan tatapan tenang dan dalam. Dia mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat halus kepada Tuan Muda Fu Kai dan Dongfang Yu. Tanpa perlu diperintah dua kali, Fu Kai melangkah mundur, sementara Dongfang Yu melangkah maju dengan cekatan, menyerahkan kotak kayu berukir elegan yang berisi Batu Bintang Ilusi kepada gadis cantik yang sebelumnya memberikan buku tebal pada mereka.
"Nona, waktunya pergi! Gerbang dimensi akan tertutup dalam hitungan napas," ujar Dongfang Yu, nada suaranya mendesak meski lembut. Sambil berbicara, dia mengangkat seruling gioknya, meniup nada-nada yang menggema lembut di dalam ruangan.Seiring dengan alunan melodi yang melayang di udara, kabut tipis perlahan muncul, menyelimuti seluruh aula. Kabut itu berkilauan seperti debu bintang yang terpantul cahaya lentera, memberikan kesan mistis. Dalam hitungan detik, Dongfang Yu beserta gadis itu dan beberapa tamu lKereta kuda yang dikendarai Ren Hui perlahan-lahan membelah jalanan kota Yueliang yang sunyi. Udara dingin menusuk tulang, membalut seluruh kota dengan kesunyian yang mencekam. Bayang-bayang lampion yang tertinggal di sepanjang jalan hanya menyisakan kerlip temaram, berayun pelan di bawah hembusan angin yang dingin menggigit. Malam ini, suasana terasa jauh lebih misterius dari biasanya, seakan-akan kota itu menyimpan rahasia yang tak terucapkan.“Sungguh menarik!” Junjie tertawa pelan. Dia melepaskan doupeng yang menutupi wajahnya, melemparkannya ke dalam kereta tanpa beban sedikit pun. Rambutnya yang hitam panjang terurai, seakan turut menari bersama angin malam yang dingin.Ren Hui hanya meliriknya sekilas, tersenyum simpul. Dia tahu betul apa yang dimaksud Junjie. Tentu saja, hasil pelelangan malam ini sungguh di luar dugaan mereka. Batu Bintang Ilusi yang memicu perbincangan hangat sepanjang acara akhirnya jatuh ke tangan yang tak terduga.“Besok kita
Dongfang Yu memimpin para tamu asing itu kembali menuju gerbang dimensi yang mulai memudar di balik cahaya biru keunguan. Qiao Yang, yang sudah menunggu di sana, terperangah melihat sosok-sosok asing yang berdiri bersama adik seperguruannya. Mereka adalah tamu dari dunia yang berbeda, dengan aura yang sungguh berbeda dari para ahli yang biasa ditemuinya di Kekaisaran Shenguang. “Kakak, mereka datang dari dimensi lain. Sayangnya, waktu mereka terbatas di sini,” Dongfang Yu menjelaskan dengan suara tenang, meski terlihat sedikit tergesa. Qiao Yang mengangguk, memandang mereka sekilas sebelum berkata dengan nada mendesak, “Cepatlah! Sebelum gerbang ini tertutup kembali dan kita kehilangan kesempatan.” Dongfang Yu berbalik menatap para tamu itu, lalu menundukkan tubuhnya dalam-dalam, ber-kowtow dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih atas bantuan kalian. Nona Eirlys, mungkin buku yang kau berikan hanyalah sebuah buku dongeng di duniamu. Tetap
Keesokan paginya, sebuah kereta kuda melaju pelan menyusuri jalanan Kota Yueliang. Udara pagi masih sejuk, membawa aroma embun yang segar dan kilauan cahaya matahari yang memantul di dedaunan, menciptakan butiran-butiran berkilau layaknya mutiara yang bertaburan di rerumputan."Pagi selalu menjadi waktu yang menyenangkan selain malam bulan purnama," Ren Hui bergumam, suaranya serupa bisikan halus, seakan tengah membaca sebuah syair lama yang dipenuhi kerinduan.Junjie tertawa pelan dari dalam kereta. Dia membuka tirai jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Pemandangan di luar sungguh memikat; bunga-bunga wisteria mulai bersemi, ungu lembutnya mengurai ke angin, sementara bunga liat bermekaran, memercikkan warna-warni cerah di sepanjang jalanan kota yang masih dibalut kabut pagi."Benar seperti katamu, Ren Hui," gumam Junjie, suaranya lebih pelan, terdengar puas. "Pagi hari di musim semi di Kota Yueliang benar-benar seperti lukisan hidup
Pagi-pagi sekali, Ren Hui sudah membawa gerobaknya melintasi jalan setapak menuju pasar desa di Lembah Kabut Mutiara. Meski jaraknya cukup jauh, ia lebih suka pasar ini dibandingkan pasar di Desa Empat Musim yang hanya dibuka seminggu sekali. Di sini, kehidupan terasa lebih ramai dan penuh warna, serupa dengan arak yang disusunnya dalam guci-guci yang berderak pelan di atas gerobak kayu. Ia mendorong gerobaknya dengan langkah santai, tak ada yang perlu dikejar. Sekalipun terlambat dan kehilangan jam-jam teramai pasar, ia tahu araknya tetap akan laku di kedai-kedai sekitar. Ia tak tergesa-gesa, hanya menikmati angin pagi yang sejuk dengan aroma embun yang masih menggantung di udara. Saat tiba di kaki sebuah bukit kecil, Ren Hui menghentikan langkahnya. Ia mendongak, menatap anak tangga batu yang memanjang menuju puncak bukit. Tanaman semanggi hijau menyembul di sela-sela bebatuan, melambai lembut diterpa angin. Tanpa sadar, ia teringat pada perkataan Cui
Ren Hui tersenyum puas sambil menatap gerobak kayu yang penuh dengan guci-guci arak besar. Sebagian besar guci yang tadinya terisi penuh kini telah setengah kosong. Beberapa di antaranya sudah diantarkannya ke pemilik kedai dan penginapan di sekitar pasar besar. Ada juga yang dibeli oleh pelayan rumah tangga dari keluarga kaya yang tengah berbelanja di pasar pagi ini. "Pedagang arak!" Suara seorang pria memanggil tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Ren Hui mendongak, matanya bertemu dengan seraut wajah tampan yang sangat dikenalnya. Hanfu biru langit cerah melambai tertiup angin, berpadu dengan jubah putih yang panjang menjuntai hingga ke pergelangan kaki. Perhiasan giok berwarna biru muda tergantung di pinggangnya, memantulkan kilauan cahaya matahari pagi. Rambut hitam panjang diikat rapi dengan pita sutra yang senada dengan hanfunya. Seulas senyum di bibir tipis yang kemerahan itu menciptakan pesona yang mampu membuat siapa saja terpukau, termasuk Ren
Wei Xueran menatap gadis yang baru saja menegurnya, alisnya mengernyit tipis. Gadis muda itu terlihat cantik memesona dalam balutan hanfu ungu muda dengan ikat pinggang ungu tua. Rambut hitamnya tergerai panjang, dihiasi oleh jepit giok yang memantulkan cahaya lembut di bawah sinar matahari sore. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan gadis itu—berapi-api seperti kobaran semangat yang tak kenal takut."Pergilah!" Wei Xueran mengibaskan lengannya, namun selendang putih yang melilit pergelangannya tak mudah lepas, malah semakin erat membelitnya. Gadis itu hanya tersenyum kecil, menarik selendangnya dengan lebih kuat, seolah sengaja ingin mempermainkannya.Wei Xueran menghela napas panjang, matanya menyipit penuh kekesalan yang tertahan. Dia tidak ingin bertindak gegabah, terutama karena lawannya hanyalah seorang gadis muda. Bagaimanapun, akan sangat memalukan jika dia benar-benar harus bertarung melawan gadis seperti ini di tengah keramaian pasar."Nona,
Ren Hui menyeret Wei Xueran dengan cepat, seolah mengabaikan keluhan sahabatnya itu, membawa pria itu kembali ke tempat di mana gerobak araknya terparkir dengan rapi di bawah pohon willow yang daunnya berayun pelan tertiup angin musim semi. Tanpa banyak bicara, Ren Hui merapikan susunan guci-guci arak, memastikan tak ada yang terguling sebelum ia bersiap mendorong gerobaknya."Ayo, kita kembali ke Kediaman Chu Wang," ajaknya, menoleh sambil tersenyum tipis. Ren Hui tak memedulikan wajah Wei Xueran yang kini sedikit kusut meski tetap tak kehilangan pesona khasnya. Pria itu tetap saja tampan, bahkan dengan rambut yang sedikit acak-acakan."Aiyo! Aku masih ingin bersenang-senang di pasar ini," keluh Wei Xueran seraya mengibaskan lengan jubah sutra birunya yang mewah. Nada suaranya terdengar seperti bocah yang tak rela meninggalkan arena permainan. "Kau pergilah dulu! Chu Wang pasti akan membayar arak yang kuambil tadi," lanjutnya sambil melangkah pergi, tidak peduli p
Sosok berhanfu putih dengan jubah hijau lotus tampak berdiri tegak di tengah jalan yang lengang. Ia tersenyum lembut, melambaikan tangan ke arah dua orang yang baru tiba. Sorotan mata pemuda itu menyiratkan kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan. "Kau rupanya!" Wei Xueran mendengus, mengerutkan alis seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, senyumnya tipis, menunjukkan rasa jengkel yang bercampur dengan rasa akrab. Di sisi lain, Ren Hui justru tersenyum lebar, wajahnya berbinar seperti bertemu dengan teman lama. "Sendirian?" Ren Hui mendekat, melirik ke belakang bahu pemuda itu, memastikan tak ada pengikut. Sorot matanya mengisyaratkan rasa waspada, meskipun senyumnya tetap ramah. "Aku yakin dia melarikan diri lagi dari Nyonya Su Yang," ejek Wei Xueran sambil terkekeh, mengguncang guci arak di tangannya dengan gerakan santai, seakan tak peduli dunia. "Wei Xueran! Berhenti bicara sembarangan!" Song Mingy
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"