Sosok berhanfu putih dengan jubah hijau lotus tampak berdiri tegak di tengah jalan yang lengang. Ia tersenyum lembut, melambaikan tangan ke arah dua orang yang baru tiba. Sorotan mata pemuda itu menyiratkan kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan.
"Kau rupanya!" Wei Xueran mendengus, mengerutkan alis seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, senyumnya tipis, menunjukkan rasa jengkel yang bercampur dengan rasa akrab. Di sisi lain, Ren Hui justru tersenyum lebar, wajahnya berbinar seperti bertemu dengan teman lama. "Sendirian?" Ren Hui mendekat, melirik ke belakang bahu pemuda itu, memastikan tak ada pengikut. Sorot matanya mengisyaratkan rasa waspada, meskipun senyumnya tetap ramah. "Aku yakin dia melarikan diri lagi dari Nyonya Su Yang," ejek Wei Xueran sambil terkekeh, mengguncang guci arak di tangannya dengan gerakan santai, seakan tak peduli dunia. "Wei Xueran! Berhenti bicara sembarangan!" Song MingySementara itu di dalam rumah beroda, Junjie duduk santai di teras belakang, dikelilingi semilir angin yang membawa aroma lembut musim semi. Dia tampak tenang, meski matanya fokus menelusuri halaman buku yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu istimewa, ditukar dengan Batu Bintang Ilusi oleh seorang tamu asing saat pelelangan. Sampul biru tua buku itu terasa kasar di ujung jarinya, menambah kesan kuno dan misterius.Namun, ada satu hal yang membuat buku tersebut berbeda. Tulisannya menggunakan bahasa asing yang tak dikenali, baik oleh Dongfang Yu maupun Junjie. Meski begitu, Nona Eirlys telah memberikan petunjuk penting sebelumnya, menunjukkan cara mengaktifkan mantra yang tersembunyi di dalam buku itu. Dengan sekali sentuhan, tulisan asing tersebut kini seolah-olah mengalir ke dalam pikiran Junjie, memudahkannya mempelajari isi buku tersebut tanpa kendala."Junjie, aku dan Ye Hun menemukan sesuatu saat kami mengunjungi Pondok Bambu Ungu, kediaman Guru Liuxing,
Lembah Kabut Mutiara, Kota YinyueDua sosok itu berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang sunyi. Sang tuan muda, mengenakan hanfu putih berkilau dengan bordiran awan emas, melangkah tenang. Sementara di sampingnya, pelayannya, gadis berhanfu ungu, berlari-lari kecil dengan langkah ringan, kadang berputar seakan menari mengikuti hembusan angin lembah yang dingin dan segar. Senyum riang tak pernah lepas dari wajahnya, dan suaranya yang nyaring terus mengisi kesunyian."Tuan Muda, sekarang kita akan pergi ke mana?" tanyanya penuh semangat, kedua matanya berbinar-binar seperti bintang yang memantulkan cahaya bulan.Hong Yi, sang tuan muda, hanya mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. "Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Ia malah berbalik melemparkan pertanyaan itu kembali dengan nada menggoda.Si gadis berhenti sejenak, memandangnya dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggembung seperti bola kapas. Jelas terlihat, dia merasa kesal ka
Ye Hun dan Yingying tertegun saat merasakan getaran halus dari benang tipis yang hampir kasat mata, melintang di bagian atas rumah beroda dan tersambung ke dekat pintu. Getaran itu begitu lembut, seolah hanya angin sepoi-sepoi yang menyentuhnya. Namun, cukup untuk menarik perhatian mereka. Keduanya hanya saling melirik tanpa bicara, tetapi kekhawatiran samar tampak di mata mereka. Di teras, Song Mingyu yang tengah bermain dengan Baihua, si rubah putih yang lincah, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan langsung melompat turun dari teras. Gerakannya cepat dan penuh kewaspadaan, berbeda dengan suasana santai yang terlihat sebelumnya. Di dalam, Junjie segera menutup buku yang sedang dibacanya, wajahnya serius, sebelum bergegas menyusul ke luar. Namun, Ren Hui yang berada di dapur tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh kejadian ini, masih mengaduk sup yang tengah mendidih. "Hanya seekor kupu-kupu yang terjebak di jaring laba-laba," gumam Ren Hui pelan d
Feifei memicingkan mata, bibirnya mencerucut ketika menatap Ren Hui, yang dikenalnya sebagai pedagang arak yang ditemuinya di pasar. Sedangkan dua pria di belakangnya benar-benar asing baginya.Gadis berhanfu ungu itu masih diliputi rasa kesal dan akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain-main dengan mereka. Tanpa ragu, ia melemparkan selendang putihnya. Selendang itu meluncur cepat, berputar halus, melingkar mengitari tubuh ketiga pria tersebut."Aiyo, Nona! Kenapa kau melakukan ini?" Ren Hui berteriak panik, mencoba melepaskan diri. Sementara Song Mingyu sedikit kesal, menyesali keputusan Ren Hui yang membebaskan gadis itu. Hanya Junjie yang tetap tersenyum tipis, jelas mengenali formasi selendang putih ini."Salahkan dirimu sendiri, Pedagang arak! Kenapa kau memasang jebakan di tempat ini?" Feifei berteriak seraya tertawa riang.Song Mingyu bergerak cepat, melompat dan terbang melayang menjauh, mendarat tak jauh dari tempat semula. Junjie hanya
Ren Hui tersenyum tipis, bibirnya membentuk lengkungan yang hangat, tetapi mengandung misteri. Ucapan pria muda menawan di hadapannya barusan masih menggema di telinganya. Tak pernah diduganya, rumor tentang dirinya telah menyebar luas, menjalar seperti api yang menyambar dedaunan kering, tak terhenti hingga mencapai pelosok negeri."Tuan Ren Hui, seorang pedagang arak dengan rumah berodanya yang unik," Hong Yi melanjutkan dengan nada serius, kendati senyum lembut tetap menghiasi bibirnya yang merah segar. "Konon, beberapa tahun lalu, Anda pernah memberikan arak dewa kepada pelanggan yang kemudian sembuh dari sakit yang sudah lama diderita."Ren Hui tertawa kecil, menyembunyikan ketertarikannya di balik wajah yang tenang. "Baiklah, jika Tuan Muda tidak keberatan, silakan singgah di rumah beroda kami," katanya dengan nada ramah. Dia tidak memiliki alasan untuk menolak kunjungan dari dua tamu tak diundang ini, meski hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka c
Ren Hui tertawa kecil, suaranya begitu halus, hampir tenggelam oleh angin senja yang sejuk. Dengan senyum tenang, dia berkata pelan, "Tuan Muda Hong Yi, agak sulit mengenali Anda, apalagi selama ini justru Tuan Muda kedua, Hong Li, yang lebih sering muncul di depan umum."Hong Yi tersenyum tipis, matanya memancarkan kilau cerdik. Dia menganggukkan kepalanya, menyadari sepenuhnya maksud tersirat dari ucapan pedagang arak di depannya. Meski penampilannya mungkin sederhana, tetapi jauh dari kata biasa."Aku yakin kau pasti pernah mendengar rumor mengenai dua Tuan Muda di Kediaman Keberuntungan Besar," balas Hong Yi dengan santai, mengibaskan kipas sutranya dengan gerakan anggun. Kali ini, dia tidak lagi berbicara dengan bahasa formal yang penuh basa-basi.Ren Hui mengangguk ringan, seolah menyetujui ucapan itu. "Jika rumor tentang seorang pedagang arak saja mampu menarik perhatian Tuan Muda dari kediaman bangsawan terhormat, maka tentu saja rumor mengenai tua
Suasana yang semula hening dan sedikit canggung mulai mencair saat Song Mingyu, tanpa ragu, mengambil sepotong dimsum dari piring di depan Junjie. Namun, Junjie dengan cepat menggeser piringnya, menjauhkan hidangan lezat itu dari jangkauan tangan temannya.“Aiyo, Junjie, kau pelit sekali!” protes Song Mingyu dengan nada kesal, sembari mengerutkan keningnya.“Di piringmu masih ada,” balas Junjie, santai sambil mengambil sepotong dimsum dari piringnya sendiri dan menyantapnya dengan tenang. Gerakannya anggun, menunjukkan kebiasaan makan yang tertata dan berkelas.Song Mingyu menatap Junjie dengan penuh arti sebelum tersenyum kecil, seperti mendapatkan ide nakal. “Aku mau dimsum isi udang,” ucapnya, dan kali ini tangannya dengan cepat kembali mencuri sepotong dimsum dari piring Junjie.Namun, Junjie tak kalah cepat. Ia menangkis serangan sumpit Song Mingyu, dan sepotong dimsum itu terjepit di antara dua pasang sumpit mereka. Perjuangan kecil itu mena
Ren Hui dan Junjie segera melesat membantu Song Mingyu yang terhuyung, sementara Hong Yi menyapu pandangan ke sekeliling, wajahnya mencerminkan kewaspadaan. Sejenak mereka terdiam, menanti serangan atau kehadiran yang tak terduga. Hanya desiran angin malam yang terdengar, seolah turut menyimpan rahasia dalam senyapnya.“Ada yang menerobos formasi jaring laba-laba,” ujar Song Mingyu serak, tangannya menekan dada yang terasa nyeri, seakan tercekik oleh serangan tak terlihat.“Formasi jaring laba-laba itu tidak mudah ditembus,” gumam Junjie pelan, suaranya bagai bisikan angin yang berlalu. Pandangannya terarah ke pintu rumah beroda yang terbuka lebar, menghadap ke luar yang hanya diterangi sinar bulan dan kerlap-kerlip bintang. Lentera-lentera dan lampion yang bergoyang diterpa angin menambah suasana menjadi suram, seolah ada bayangan gelap yang bersembunyi di balik remang-remang malam.Hembusan angin tiba-tiba menjadi lebih kencang, memporak-porandakan nyala
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny