Accueil / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Kupu-kupu Terjebak Jaring Laba-laba

Share

Kupu-kupu Terjebak Jaring Laba-laba

Auteur: Aspasya
last update Dernière mise à jour: 2024-11-13 07:00:52

Lembah Kabut Mutiara, Kota Yinyue

Dua sosok itu berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang sunyi. Sang tuan muda, mengenakan hanfu putih berkilau dengan bordiran awan emas, melangkah tenang. Sementara di sampingnya, pelayannya, gadis berhanfu ungu, berlari-lari kecil dengan langkah ringan, kadang berputar seakan menari mengikuti hembusan angin lembah yang dingin dan segar. Senyum riang tak pernah lepas dari wajahnya, dan suaranya yang nyaring terus mengisi kesunyian.

"Tuan Muda, sekarang kita akan pergi ke mana?" tanyanya penuh semangat, kedua matanya berbinar-binar seperti bintang yang memantulkan cahaya bulan.

Hong Yi, sang tuan muda, hanya mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. "Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Ia malah berbalik melemparkan pertanyaan itu kembali dengan nada menggoda.

Si gadis berhenti sejenak, memandangnya dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggembung seperti bola kapas. Jelas terlihat, dia merasa kesal ka
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Rohmansyah Rohmansyah
gak perang perang.. muter muter aja ceritanya
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Related chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Melepaskan Kupu-kupu

    Ye Hun dan Yingying tertegun saat merasakan getaran halus dari benang tipis yang hampir kasat mata, melintang di bagian atas rumah beroda dan tersambung ke dekat pintu. Getaran itu begitu lembut, seolah hanya angin sepoi-sepoi yang menyentuhnya. Namun, cukup untuk menarik perhatian mereka. Keduanya hanya saling melirik tanpa bicara, tetapi kekhawatiran samar tampak di mata mereka. Di teras, Song Mingyu yang tengah bermain dengan Baihua, si rubah putih yang lincah, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan langsung melompat turun dari teras. Gerakannya cepat dan penuh kewaspadaan, berbeda dengan suasana santai yang terlihat sebelumnya. Di dalam, Junjie segera menutup buku yang sedang dibacanya, wajahnya serius, sebelum bergegas menyusul ke luar. Namun, Ren Hui yang berada di dapur tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh kejadian ini, masih mengaduk sup yang tengah mendidih. "Hanya seekor kupu-kupu yang terjebak di jaring laba-laba," gumam Ren Hui pelan d

    Dernière mise à jour : 2024-11-13
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tuan Muda Menawan Dari Kediaman Keberuntungan Besar

    Feifei memicingkan mata, bibirnya mencerucut ketika menatap Ren Hui, yang dikenalnya sebagai pedagang arak yang ditemuinya di pasar. Sedangkan dua pria di belakangnya benar-benar asing baginya.Gadis berhanfu ungu itu masih diliputi rasa kesal dan akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain-main dengan mereka. Tanpa ragu, ia melemparkan selendang putihnya. Selendang itu meluncur cepat, berputar halus, melingkar mengitari tubuh ketiga pria tersebut."Aiyo, Nona! Kenapa kau melakukan ini?" Ren Hui berteriak panik, mencoba melepaskan diri. Sementara Song Mingyu sedikit kesal, menyesali keputusan Ren Hui yang membebaskan gadis itu. Hanya Junjie yang tetap tersenyum tipis, jelas mengenali formasi selendang putih ini."Salahkan dirimu sendiri, Pedagang arak! Kenapa kau memasang jebakan di tempat ini?" Feifei berteriak seraya tertawa riang.Song Mingyu bergerak cepat, melompat dan terbang melayang menjauh, mendarat tak jauh dari tempat semula. Junjie hanya

    Dernière mise à jour : 2024-11-13
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jejak Rumor

    Ren Hui tersenyum tipis, bibirnya membentuk lengkungan yang hangat, tetapi mengandung misteri. Ucapan pria muda menawan di hadapannya barusan masih menggema di telinganya. Tak pernah diduganya, rumor tentang dirinya telah menyebar luas, menjalar seperti api yang menyambar dedaunan kering, tak terhenti hingga mencapai pelosok negeri."Tuan Ren Hui, seorang pedagang arak dengan rumah berodanya yang unik," Hong Yi melanjutkan dengan nada serius, kendati senyum lembut tetap menghiasi bibirnya yang merah segar. "Konon, beberapa tahun lalu, Anda pernah memberikan arak dewa kepada pelanggan yang kemudian sembuh dari sakit yang sudah lama diderita."Ren Hui tertawa kecil, menyembunyikan ketertarikannya di balik wajah yang tenang. "Baiklah, jika Tuan Muda tidak keberatan, silakan singgah di rumah beroda kami," katanya dengan nada ramah. Dia tidak memiliki alasan untuk menolak kunjungan dari dua tamu tak diundang ini, meski hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka c

    Dernière mise à jour : 2024-11-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertemuan Dan Jodoh

    Ren Hui tertawa kecil, suaranya begitu halus, hampir tenggelam oleh angin senja yang sejuk. Dengan senyum tenang, dia berkata pelan, "Tuan Muda Hong Yi, agak sulit mengenali Anda, apalagi selama ini justru Tuan Muda kedua, Hong Li, yang lebih sering muncul di depan umum."Hong Yi tersenyum tipis, matanya memancarkan kilau cerdik. Dia menganggukkan kepalanya, menyadari sepenuhnya maksud tersirat dari ucapan pedagang arak di depannya. Meski penampilannya mungkin sederhana, tetapi jauh dari kata biasa."Aku yakin kau pasti pernah mendengar rumor mengenai dua Tuan Muda di Kediaman Keberuntungan Besar," balas Hong Yi dengan santai, mengibaskan kipas sutranya dengan gerakan anggun. Kali ini, dia tidak lagi berbicara dengan bahasa formal yang penuh basa-basi.Ren Hui mengangguk ringan, seolah menyetujui ucapan itu. "Jika rumor tentang seorang pedagang arak saja mampu menarik perhatian Tuan Muda dari kediaman bangsawan terhormat, maka tentu saja rumor mengenai tua

    Dernière mise à jour : 2024-11-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jamuan Hangat di Rumah Beroda

    Suasana yang semula hening dan sedikit canggung mulai mencair saat Song Mingyu, tanpa ragu, mengambil sepotong dimsum dari piring di depan Junjie. Namun, Junjie dengan cepat menggeser piringnya, menjauhkan hidangan lezat itu dari jangkauan tangan temannya.“Aiyo, Junjie, kau pelit sekali!” protes Song Mingyu dengan nada kesal, sembari mengerutkan keningnya.“Di piringmu masih ada,” balas Junjie, santai sambil mengambil sepotong dimsum dari piringnya sendiri dan menyantapnya dengan tenang. Gerakannya anggun, menunjukkan kebiasaan makan yang tertata dan berkelas.Song Mingyu menatap Junjie dengan penuh arti sebelum tersenyum kecil, seperti mendapatkan ide nakal. “Aku mau dimsum isi udang,” ucapnya, dan kali ini tangannya dengan cepat kembali mencuri sepotong dimsum dari piring Junjie.Namun, Junjie tak kalah cepat. Ia menangkis serangan sumpit Song Mingyu, dan sepotong dimsum itu terjepit di antara dua pasang sumpit mereka. Perjuangan kecil itu mena

    Dernière mise à jour : 2024-11-14
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hantu di Keremangan Malam

    Ren Hui dan Junjie segera melesat membantu Song Mingyu yang terhuyung, sementara Hong Yi menyapu pandangan ke sekeliling, wajahnya mencerminkan kewaspadaan. Sejenak mereka terdiam, menanti serangan atau kehadiran yang tak terduga. Hanya desiran angin malam yang terdengar, seolah turut menyimpan rahasia dalam senyapnya.“Ada yang menerobos formasi jaring laba-laba,” ujar Song Mingyu serak, tangannya menekan dada yang terasa nyeri, seakan tercekik oleh serangan tak terlihat.“Formasi jaring laba-laba itu tidak mudah ditembus,” gumam Junjie pelan, suaranya bagai bisikan angin yang berlalu. Pandangannya terarah ke pintu rumah beroda yang terbuka lebar, menghadap ke luar yang hanya diterangi sinar bulan dan kerlap-kerlip bintang. Lentera-lentera dan lampion yang bergoyang diterpa angin menambah suasana menjadi suram, seolah ada bayangan gelap yang bersembunyi di balik remang-remang malam.Hembusan angin tiba-tiba menjadi lebih kencang, memporak-porandakan nyala

    Dernière mise à jour : 2024-11-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Suara Di Balik Topeng Hantu

    Sosok berjubah dan bertudung hitam itu berdiri kaku di hadapan Ye Hun, topeng hantunya terbuat dari kayu gelap bak hantu, menatap kosong dan menyeramkan. Di balik topeng itu, terdengar tawa pelan, seperti angin malam yang berhembus lirih, penuh ejekan. Pria itu mengangkat dagunya sedikit, dan berkata dengan nada datar yang penuh ancaman, "Nona, menyingkirlah! Kami tidak memiliki urusan denganmu."Ye Hun hanya tersenyum tipis, bibirnya melengkung samar, menyembunyikan rasa pahit yang terpendam dalam ingatannya. Dari suara pria itu, dia sudah dapat mengenali identitas di balik topeng hantu yang kini dikenakan. Pasukan Hantu Kematian yang terkenal mengerikan, tetapi baginya, sosok di hadapannya adalah seseorang yang tidak mungkin dia lupakan."Tuan Liuxing," jawab Ye Hun dengan suara tenang, nyaris berbisik. "Aku hidup bertahun-tahun bersama Anda. Tak peduli seberapa baik Anda menyembunyikan diri, aku akan selalu mengenali Anda."Hanfu putih sederhana, berlap

    Dernière mise à jour : 2024-11-17
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Siapa Yang Berkhianat?

    Teriakan Ye Hun menggema di udara, menghancurkan ketenangan malam. Pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu menoleh, seakan baru tersadar akan keberadaannya. Tanpa ragu, ia menggerakkan tangannya dan meraih leher Ye Hun, mencengkeram dengan kuat hingga tubuh mungilnya terangkat. Sepasang kakinya berayun lemah di udara, tak lagi menyentuh tanah."Ye Hun!" seru Yingying, suaranya penuh kepanikan. Tabib ilahi itu segera melompat keluar, melemparkan deretan jarum perak dengan gerakan secepat kilat, menargetkan Pasukan Hantu Kematian. Mereka, seperti bayangan malam, melompat ke udara, menghindari serangan tajam itu sebelum berbalik menyerang Hong Yi dengan kecepatan yang mengerikan.Sementara itu, sang pemimpin pasukan hanya berdiri diam, matanya yang tersembunyi di balik topeng menatap lekat-lekat pada Ye Hun. Tangan Ye Hun mencoba meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat yang mencekik lehernya. Yingying tak tinggal diam. Bersama Feif

    Dernière mise à jour : 2024-11-17

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status