Sosok berjubah dan bertudung hitam itu berdiri kaku di hadapan Ye Hun, topeng hantunya terbuat dari kayu gelap bak hantu, menatap kosong dan menyeramkan. Di balik topeng itu, terdengar tawa pelan, seperti angin malam yang berhembus lirih, penuh ejekan. Pria itu mengangkat dagunya sedikit, dan berkata dengan nada datar yang penuh ancaman, "Nona, menyingkirlah! Kami tidak memiliki urusan denganmu."
Ye Hun hanya tersenyum tipis, bibirnya melengkung samar, menyembunyikan rasa pahit yang terpendam dalam ingatannya. Dari suara pria itu, dia sudah dapat mengenali identitas di balik topeng hantu yang kini dikenakan. Pasukan Hantu Kematian yang terkenal mengerikan, tetapi baginya, sosok di hadapannya adalah seseorang yang tidak mungkin dia lupakan."Tuan Liuxing," jawab Ye Hun dengan suara tenang, nyaris berbisik. "Aku hidup bertahun-tahun bersama Anda. Tak peduli seberapa baik Anda menyembunyikan diri, aku akan selalu mengenali Anda."Hanfu putih sederhana, berlapTeriakan Ye Hun menggema di udara, menghancurkan ketenangan malam. Pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu menoleh, seakan baru tersadar akan keberadaannya. Tanpa ragu, ia menggerakkan tangannya dan meraih leher Ye Hun, mencengkeram dengan kuat hingga tubuh mungilnya terangkat. Sepasang kakinya berayun lemah di udara, tak lagi menyentuh tanah."Ye Hun!" seru Yingying, suaranya penuh kepanikan. Tabib ilahi itu segera melompat keluar, melemparkan deretan jarum perak dengan gerakan secepat kilat, menargetkan Pasukan Hantu Kematian. Mereka, seperti bayangan malam, melompat ke udara, menghindari serangan tajam itu sebelum berbalik menyerang Hong Yi dengan kecepatan yang mengerikan.Sementara itu, sang pemimpin pasukan hanya berdiri diam, matanya yang tersembunyi di balik topeng menatap lekat-lekat pada Ye Hun. Tangan Ye Hun mencoba meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuat yang mencekik lehernya. Yingying tak tinggal diam. Bersama Feif
Pemimpin pasukan Hantu Kematian itu mundur beberapa langkah, menyadari kehadiran sosok lain yang kini berdiri tegak di hadapannya. Malam yang diselimuti kabut tipis menambah kegelapan, membuatnya sulit mengenali siapa pria bermantel biru yang dengan angkuh menatapnya tajam. Hembusan angin malam mengibarkan rambut hitamnya yang tergerai, menciptakan siluet yang terasa akrab, tetapi entah di mana perasaan yang sama pernah hadir di benak pria itu."Tapak Matahari?" desis pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menutupi wajahnya. Senyum sinis terukir di sudut bibirnya, menciptakan bayangan menyeramkan di balik topeng putihnya. "Sudah lama jurus ini hilang bersama runtuhnya Sekte Delapan Matahari. Tapi mengapa muncul malam ini? Siapa dia?" pikirnya dalam hati, penuh keraguan.Di sisi lain, Junjie merasakan dadanya mulai bergejolak hebat. Sakit yang menusuk di dalam tubuhnya seakan mencakar dari dalam, racun bunga salju yang telah bersarang semakin menggeliat setela
Udara malam terasa seperti bara api yang membakar kulit, panas menyengat seolah musim panas tiba lebih awal meskipun ini baru awal musim semi. Sepoi angin membawa serpihan kertas kimcoa yang beterbangan di udara, berbaur dengan aroma bunga musim semi yang pekat dan memabukkan. Setiap tarikan napas seakan memenuhi dada dengan wangi yang manis sekaligus menyesakkan, membuat kepala terasa berdenyut dan jantung berdegup lebih kencang. Di tengah kekacauan yang menggantung di udara, pemimpin pasukan hantu Kematian berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun. Bayangan malam menyelubungi sosoknya yang mengenakan jubah hitam pekat. Dalam keheningan yang mencekam itu, ia mencoba memusatkan seluruh konsentrasinya, meski ia tahu benar bahwa situasi ini seperti berjalan di tepi jurang kebimbangan. "Apakah mereka sengaja memaksaku menggunakan jurus itu?" pikirnya sambil mengepalkan kedua tangan hingga suara persendian berderak pelan. Ucapan Ye Hun kembal
Ren Hui menggendong tubuh lemah Junjie, sementara Hong Yi dengan sigap mengangkat Feifei yang tak sadarkan diri di bahunya. Mereka berdua melesat melintasi jalanan hutan yang sunyi, hanya ditemani gemuruh angin malam. Langkah mereka tergesa-gesa, berpacu dengan waktu, menghindari kejaran Pasukan Hantu Kematian yang mengejar tanpa henti. Napas Ren Hui terdengar semakin berat, dadanya seakan dihimpit ribuan batu, tetapi dia terus berlari meski terasa seperti bisa tumbang kapan saja.Dalam hitungan detik, mereka tiba di sebuah lahan kosong, tempat Song Mingyu telah memarkir rumah beroda. Pemuda itu menunggu dengan waspada, tampak bersiap siaga. Ren Hui memberi instruksi cepat, suaranya tegas namun samar oleh lelah, "Song Mingyu, cepat berputar! Kita harus menuju Pondok Bukit Semanggi. Hanya di sana kita bisa berlindung sementara ini."Song Mingyu tidak membuang waktu. Dia hanya mengangguk, cambuk di tangannya mendera kuda-kuda yang sudah lelah. Rumah beroda mulai berg
Setelah berjalan cukup lama, Ren Hui mengisyaratkan pada Song Mingyu untuk menghentikan rumah beroda di pinggir hutan. Kabut tipis menyelimuti pohon-pohon pinus, menciptakan suasana sunyi yang seolah menjaga rahasia alam. Sepertinya situasi memang sudah aman, jejak mereka berhasil disembunyikan. Pasukan Hantu Kematian tidak lagi mengejar, dan Song Mingyu telah mengelabui mereka dengan memutar arah perjalanan lebih jauh ke timur."Beristirahatlah! Besok pagi kita menuju Pondok Bukit Semanggi," kata Ren Hui, menepuk bahu pemuda itu dengan lembut. Suaranya terdengar serak, lelah setelah malam yang penuh ketegangan.Song Mingyu mengangguk pelan. Dia bangkit berdiri, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah semalaman mengendalikan rumah beroda. "Kau juga perlu beristirahat, Ren Hui," ucapnya dengan suara lembut, mengamati pria yang duduk bersandar di dinding rumah beroda. Wajah Ren Hui tampak pucat diterangi cahaya bulan yang menyelinap di sela-sela pepohonan.
Pagi telah merekah, sinar matahari yang malu-malu menyusup melalui celah dedaunan pinus di sekitar rumah beroda. Udara dingin yang berembus membawa aroma tanah basah, berpadu dengan wangi samar semanggi yang sedang bermekaran di kejauhan. Suasana di dalam rumah beroda masih terbalut keheningan. Di lantai kayu, Song Mingyu terlelap dengan posisi miring, selimutnya setengah tersingkap. Di dekatnya, Junjie mulai menggeliat, membuka matanya perlahan, lalu terduduk di tepi tempat tidur. Pandangannya tertuju pada sosok Hong Yi, yang tertidur dengan kepala tertelungkup di atas meja. “Ren Hui...” gumam Junjie dalam hati, matanya menyapu sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran pedagang arak itu. Ia menyingkirkan selimut tebal yang membalut tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan Song Mingyu. Begitu keluar dari rumah beroda, angin pagi menyentuh wajahnya, membawa serta suara gemerisik daun pinus. Junj
Ren Hui, Junjie, dan Yingying mengikuti langkah wanita cantik berambut putih memasuki pondok kayu kecil itu. Aroma kayu cendana samar memenuhi udara, bercampur dengan wangi dedaunan basah yang terbawa angin. Seorang pria sebaya Ren Hui dan Junjie, yang mengenakan jubah sederhana namun rapi, tertegun melihat kedatangan mereka. Matanya membelalak ketika pandangannya jatuh pada sosok yang terkulai di gendongan Ren Hui."Ye Hun!" serunya penuh kegelisahan. Dengan langkah cepat, pria itu menghampiri dan tanpa ragu mengambil tubuh tak bernyawa itu dari pelukan Ren Hui. Hatinya terguncang. Namun, tangannya tetap kokoh ketika membaringkan Ye Hun di dipan kayu di sudut ruangan. Suara napasnya terdengar berat, seolah berusaha menahan luapan emosi yang hampir meledak.Pandangan pria itu beralih ke wanita berambut putih. "Bu Hui...?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam sunyi. Wanita itu, yang sejak awal menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, mengangguk
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Ye Hun. Langit di Pondok Bukit Semanggi tampak kelabu, seperti masih menyimpan duka yang enggan berlalu. Ren Hui, Junjie, Song Mingyu, dan Yingying memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Di sisi lain, Cui Xuegang dan Bu Hui, meski dengan berat hati, akhirnya merestui kepergian mereka. “Kami akan baik-baik saja,” ujar Ren Hui dengan nada tenang, tetapi meyakinkan. “Pasukan Hantu Kematian hanya mengincar diriku. Mereka tidak akan mempersulit kalian. Tuan Cui, tidak perlu khawatir,” tambah Hong Yi, mencoba menghilangkan keraguan di wajah dua sekutu barunya. Mereka telah menghabiskan beberapa hari bersama, tetapi waktu singkat itu cukup untuk menumbuhkan kedekatan. Kepribadian Ren Hui yang hangat dan cerdas membuat suasana duka setelah kepergian Ye Hun sedikit lebih mudah dilalui. Di pagi yang masih diselimuti embun tipis, Ren Hui dan kawan-kawan akhirnya berpamitan. Cui Xuegang, Bu Hui, dan Hon
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny