Pemimpin pasukan Hantu Kematian itu mundur beberapa langkah, menyadari kehadiran sosok lain yang kini berdiri tegak di hadapannya. Malam yang diselimuti kabut tipis menambah kegelapan, membuatnya sulit mengenali siapa pria bermantel biru yang dengan angkuh menatapnya tajam. Hembusan angin malam mengibarkan rambut hitamnya yang tergerai, menciptakan siluet yang terasa akrab, tetapi entah di mana perasaan yang sama pernah hadir di benak pria itu.
"Tapak Matahari?" desis pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menutupi wajahnya. Senyum sinis terukir di sudut bibirnya, menciptakan bayangan menyeramkan di balik topeng putihnya. "Sudah lama jurus ini hilang bersama runtuhnya Sekte Delapan Matahari. Tapi mengapa muncul malam ini? Siapa dia?" pikirnya dalam hati, penuh keraguan.Di sisi lain, Junjie merasakan dadanya mulai bergejolak hebat. Sakit yang menusuk di dalam tubuhnya seakan mencakar dari dalam, racun bunga salju yang telah bersarang semakin menggeliat setelaUdara malam terasa seperti bara api yang membakar kulit, panas menyengat seolah musim panas tiba lebih awal meskipun ini baru awal musim semi. Sepoi angin membawa serpihan kertas kimcoa yang beterbangan di udara, berbaur dengan aroma bunga musim semi yang pekat dan memabukkan. Setiap tarikan napas seakan memenuhi dada dengan wangi yang manis sekaligus menyesakkan, membuat kepala terasa berdenyut dan jantung berdegup lebih kencang. Di tengah kekacauan yang menggantung di udara, pemimpin pasukan hantu Kematian berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun. Bayangan malam menyelubungi sosoknya yang mengenakan jubah hitam pekat. Dalam keheningan yang mencekam itu, ia mencoba memusatkan seluruh konsentrasinya, meski ia tahu benar bahwa situasi ini seperti berjalan di tepi jurang kebimbangan. "Apakah mereka sengaja memaksaku menggunakan jurus itu?" pikirnya sambil mengepalkan kedua tangan hingga suara persendian berderak pelan. Ucapan Ye Hun kembal
Ren Hui menggendong tubuh lemah Junjie, sementara Hong Yi dengan sigap mengangkat Feifei yang tak sadarkan diri di bahunya. Mereka berdua melesat melintasi jalanan hutan yang sunyi, hanya ditemani gemuruh angin malam. Langkah mereka tergesa-gesa, berpacu dengan waktu, menghindari kejaran Pasukan Hantu Kematian yang mengejar tanpa henti. Napas Ren Hui terdengar semakin berat, dadanya seakan dihimpit ribuan batu, tetapi dia terus berlari meski terasa seperti bisa tumbang kapan saja.Dalam hitungan detik, mereka tiba di sebuah lahan kosong, tempat Song Mingyu telah memarkir rumah beroda. Pemuda itu menunggu dengan waspada, tampak bersiap siaga. Ren Hui memberi instruksi cepat, suaranya tegas namun samar oleh lelah, "Song Mingyu, cepat berputar! Kita harus menuju Pondok Bukit Semanggi. Hanya di sana kita bisa berlindung sementara ini."Song Mingyu tidak membuang waktu. Dia hanya mengangguk, cambuk di tangannya mendera kuda-kuda yang sudah lelah. Rumah beroda mulai berg
Setelah berjalan cukup lama, Ren Hui mengisyaratkan pada Song Mingyu untuk menghentikan rumah beroda di pinggir hutan. Kabut tipis menyelimuti pohon-pohon pinus, menciptakan suasana sunyi yang seolah menjaga rahasia alam. Sepertinya situasi memang sudah aman, jejak mereka berhasil disembunyikan. Pasukan Hantu Kematian tidak lagi mengejar, dan Song Mingyu telah mengelabui mereka dengan memutar arah perjalanan lebih jauh ke timur."Beristirahatlah! Besok pagi kita menuju Pondok Bukit Semanggi," kata Ren Hui, menepuk bahu pemuda itu dengan lembut. Suaranya terdengar serak, lelah setelah malam yang penuh ketegangan.Song Mingyu mengangguk pelan. Dia bangkit berdiri, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah semalaman mengendalikan rumah beroda. "Kau juga perlu beristirahat, Ren Hui," ucapnya dengan suara lembut, mengamati pria yang duduk bersandar di dinding rumah beroda. Wajah Ren Hui tampak pucat diterangi cahaya bulan yang menyelinap di sela-sela pepohonan.
Pagi telah merekah, sinar matahari yang malu-malu menyusup melalui celah dedaunan pinus di sekitar rumah beroda. Udara dingin yang berembus membawa aroma tanah basah, berpadu dengan wangi samar semanggi yang sedang bermekaran di kejauhan. Suasana di dalam rumah beroda masih terbalut keheningan. Di lantai kayu, Song Mingyu terlelap dengan posisi miring, selimutnya setengah tersingkap. Di dekatnya, Junjie mulai menggeliat, membuka matanya perlahan, lalu terduduk di tepi tempat tidur. Pandangannya tertuju pada sosok Hong Yi, yang tertidur dengan kepala tertelungkup di atas meja. “Ren Hui...” gumam Junjie dalam hati, matanya menyapu sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran pedagang arak itu. Ia menyingkirkan selimut tebal yang membalut tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan Song Mingyu. Begitu keluar dari rumah beroda, angin pagi menyentuh wajahnya, membawa serta suara gemerisik daun pinus. Junj
Ren Hui, Junjie, dan Yingying mengikuti langkah wanita cantik berambut putih memasuki pondok kayu kecil itu. Aroma kayu cendana samar memenuhi udara, bercampur dengan wangi dedaunan basah yang terbawa angin. Seorang pria sebaya Ren Hui dan Junjie, yang mengenakan jubah sederhana namun rapi, tertegun melihat kedatangan mereka. Matanya membelalak ketika pandangannya jatuh pada sosok yang terkulai di gendongan Ren Hui."Ye Hun!" serunya penuh kegelisahan. Dengan langkah cepat, pria itu menghampiri dan tanpa ragu mengambil tubuh tak bernyawa itu dari pelukan Ren Hui. Hatinya terguncang. Namun, tangannya tetap kokoh ketika membaringkan Ye Hun di dipan kayu di sudut ruangan. Suara napasnya terdengar berat, seolah berusaha menahan luapan emosi yang hampir meledak.Pandangan pria itu beralih ke wanita berambut putih. "Bu Hui...?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam sunyi. Wanita itu, yang sejak awal menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, mengangguk
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Ye Hun. Langit di Pondok Bukit Semanggi tampak kelabu, seperti masih menyimpan duka yang enggan berlalu. Ren Hui, Junjie, Song Mingyu, dan Yingying memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Di sisi lain, Cui Xuegang dan Bu Hui, meski dengan berat hati, akhirnya merestui kepergian mereka. “Kami akan baik-baik saja,” ujar Ren Hui dengan nada tenang, tetapi meyakinkan. “Pasukan Hantu Kematian hanya mengincar diriku. Mereka tidak akan mempersulit kalian. Tuan Cui, tidak perlu khawatir,” tambah Hong Yi, mencoba menghilangkan keraguan di wajah dua sekutu barunya. Mereka telah menghabiskan beberapa hari bersama, tetapi waktu singkat itu cukup untuk menumbuhkan kedekatan. Kepribadian Ren Hui yang hangat dan cerdas membuat suasana duka setelah kepergian Ye Hun sedikit lebih mudah dilalui. Di pagi yang masih diselimuti embun tipis, Ren Hui dan kawan-kawan akhirnya berpamitan. Cui Xuegang, Bu Hui, dan Hon
Rumah beroda itu bergerak perlahan, hampir seperti enggan memecah kesunyian pagi. Suara derak roda yang menggiling kerikil terdengar berirama, menciptakan kontras dengan udara pagi yang dingin dan segar. Kabut tipis menyelimuti jalan menuju pusat Kota Yinyue, sementara bayangan pohon-pohon besar bergoyang lembut diterpa angin. Song Mingyu, dengan perhatian tajamnya, memastikan rumah beroda itu berjalan stabil, menuju tujuan pertama mereka, Pasar Hantu.Song Mingyu duduk santai di atas kusir, hanya ditemani Baihua, rubah putih yang setia berbaring di sebelahnya. Dengan suara siulannya yang lembut, Song terlihat santai, seolah dunia tak memiliki beban. Di dalam, suasananya jauh berbeda. Junjie duduk bersandar di sudut, matanya terpaku pada buku yang belum selesai dibacanya. Tangannya sesekali membalik halaman dengan lambat, tetapi ekspresinya menunjukkan pikiran yang melayang lebih jauh dari kata-kata yang tertulis di depan matanya.Ren Hui sendiri sibuk mengatur guc
Junjie menutup buku yang tengah dibacanya. Gerakannya pelan, seolah mencoba menenangkan pikirannya yang terusik oleh situasi. Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri Yingying yang tengah merebus obat di atas tungku kecil. Asap tipis beraroma herbal menguar, menyelimuti ruangan dengan kehangatan samar. Suaranya nyaris berbisik saat bertanya, “Bagaimana keadaannya?” Tatapannya melirik Ren Hui, yang duduk bersila dengan kening bersimbah peluh.“Saat ini baik-baik saja,” jawab Yingying tenang, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan. “Aku rasa perlu beberapa waktu lagi untuk melihat reaksi tubuh sekaligus racun di dalam tubuhnya terhadap racun bi’an hua.”Junjie mengangguk, memahami keterbatasan mereka dalam situasi genting ini. Ia menghampiri Ren Hui yang masih bermeditasi. Pria itu terus berkeringat deras, bahkan giginya sesekali bergemeletuk, menahan sakit yang tak kasatmata. Dengan hati-hati, Junjie mengambil sapu tangan yang terlipat rapi di atas meja dan mengu
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"