Ren Hui menyeret Wei Xueran dengan cepat, seolah mengabaikan keluhan sahabatnya itu, membawa pria itu kembali ke tempat di mana gerobak araknya terparkir dengan rapi di bawah pohon willow yang daunnya berayun pelan tertiup angin musim semi. Tanpa banyak bicara, Ren Hui merapikan susunan guci-guci arak, memastikan tak ada yang terguling sebelum ia bersiap mendorong gerobaknya.
"Ayo, kita kembali ke Kediaman Chu Wang," ajaknya, menoleh sambil tersenyum tipis. Ren Hui tak memedulikan wajah Wei Xueran yang kini sedikit kusut meski tetap tak kehilangan pesona khasnya. Pria itu tetap saja tampan, bahkan dengan rambut yang sedikit acak-acakan."Aiyo! Aku masih ingin bersenang-senang di pasar ini," keluh Wei Xueran seraya mengibaskan lengan jubah sutra birunya yang mewah. Nada suaranya terdengar seperti bocah yang tak rela meninggalkan arena permainan. "Kau pergilah dulu! Chu Wang pasti akan membayar arak yang kuambil tadi," lanjutnya sambil melangkah pergi, tidak peduli pSosok berhanfu putih dengan jubah hijau lotus tampak berdiri tegak di tengah jalan yang lengang. Ia tersenyum lembut, melambaikan tangan ke arah dua orang yang baru tiba. Sorotan mata pemuda itu menyiratkan kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan. "Kau rupanya!" Wei Xueran mendengus, mengerutkan alis seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, senyumnya tipis, menunjukkan rasa jengkel yang bercampur dengan rasa akrab. Di sisi lain, Ren Hui justru tersenyum lebar, wajahnya berbinar seperti bertemu dengan teman lama. "Sendirian?" Ren Hui mendekat, melirik ke belakang bahu pemuda itu, memastikan tak ada pengikut. Sorot matanya mengisyaratkan rasa waspada, meskipun senyumnya tetap ramah. "Aku yakin dia melarikan diri lagi dari Nyonya Su Yang," ejek Wei Xueran sambil terkekeh, mengguncang guci arak di tangannya dengan gerakan santai, seakan tak peduli dunia. "Wei Xueran! Berhenti bicara sembarangan!" Song Mingy
Sementara itu di dalam rumah beroda, Junjie duduk santai di teras belakang, dikelilingi semilir angin yang membawa aroma lembut musim semi. Dia tampak tenang, meski matanya fokus menelusuri halaman buku yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu istimewa, ditukar dengan Batu Bintang Ilusi oleh seorang tamu asing saat pelelangan. Sampul biru tua buku itu terasa kasar di ujung jarinya, menambah kesan kuno dan misterius.Namun, ada satu hal yang membuat buku tersebut berbeda. Tulisannya menggunakan bahasa asing yang tak dikenali, baik oleh Dongfang Yu maupun Junjie. Meski begitu, Nona Eirlys telah memberikan petunjuk penting sebelumnya, menunjukkan cara mengaktifkan mantra yang tersembunyi di dalam buku itu. Dengan sekali sentuhan, tulisan asing tersebut kini seolah-olah mengalir ke dalam pikiran Junjie, memudahkannya mempelajari isi buku tersebut tanpa kendala."Junjie, aku dan Ye Hun menemukan sesuatu saat kami mengunjungi Pondok Bambu Ungu, kediaman Guru Liuxing,
Lembah Kabut Mutiara, Kota YinyueDua sosok itu berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang sunyi. Sang tuan muda, mengenakan hanfu putih berkilau dengan bordiran awan emas, melangkah tenang. Sementara di sampingnya, pelayannya, gadis berhanfu ungu, berlari-lari kecil dengan langkah ringan, kadang berputar seakan menari mengikuti hembusan angin lembah yang dingin dan segar. Senyum riang tak pernah lepas dari wajahnya, dan suaranya yang nyaring terus mengisi kesunyian."Tuan Muda, sekarang kita akan pergi ke mana?" tanyanya penuh semangat, kedua matanya berbinar-binar seperti bintang yang memantulkan cahaya bulan.Hong Yi, sang tuan muda, hanya mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. "Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Ia malah berbalik melemparkan pertanyaan itu kembali dengan nada menggoda.Si gadis berhenti sejenak, memandangnya dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggembung seperti bola kapas. Jelas terlihat, dia merasa kesal ka
Ye Hun dan Yingying tertegun saat merasakan getaran halus dari benang tipis yang hampir kasat mata, melintang di bagian atas rumah beroda dan tersambung ke dekat pintu. Getaran itu begitu lembut, seolah hanya angin sepoi-sepoi yang menyentuhnya. Namun, cukup untuk menarik perhatian mereka. Keduanya hanya saling melirik tanpa bicara, tetapi kekhawatiran samar tampak di mata mereka. Di teras, Song Mingyu yang tengah bermain dengan Baihua, si rubah putih yang lincah, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan langsung melompat turun dari teras. Gerakannya cepat dan penuh kewaspadaan, berbeda dengan suasana santai yang terlihat sebelumnya. Di dalam, Junjie segera menutup buku yang sedang dibacanya, wajahnya serius, sebelum bergegas menyusul ke luar. Namun, Ren Hui yang berada di dapur tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh kejadian ini, masih mengaduk sup yang tengah mendidih. "Hanya seekor kupu-kupu yang terjebak di jaring laba-laba," gumam Ren Hui pelan d
Feifei memicingkan mata, bibirnya mencerucut ketika menatap Ren Hui, yang dikenalnya sebagai pedagang arak yang ditemuinya di pasar. Sedangkan dua pria di belakangnya benar-benar asing baginya.Gadis berhanfu ungu itu masih diliputi rasa kesal dan akhirnya memutuskan untuk sedikit bermain-main dengan mereka. Tanpa ragu, ia melemparkan selendang putihnya. Selendang itu meluncur cepat, berputar halus, melingkar mengitari tubuh ketiga pria tersebut."Aiyo, Nona! Kenapa kau melakukan ini?" Ren Hui berteriak panik, mencoba melepaskan diri. Sementara Song Mingyu sedikit kesal, menyesali keputusan Ren Hui yang membebaskan gadis itu. Hanya Junjie yang tetap tersenyum tipis, jelas mengenali formasi selendang putih ini."Salahkan dirimu sendiri, Pedagang arak! Kenapa kau memasang jebakan di tempat ini?" Feifei berteriak seraya tertawa riang.Song Mingyu bergerak cepat, melompat dan terbang melayang menjauh, mendarat tak jauh dari tempat semula. Junjie hanya
Ren Hui tersenyum tipis, bibirnya membentuk lengkungan yang hangat, tetapi mengandung misteri. Ucapan pria muda menawan di hadapannya barusan masih menggema di telinganya. Tak pernah diduganya, rumor tentang dirinya telah menyebar luas, menjalar seperti api yang menyambar dedaunan kering, tak terhenti hingga mencapai pelosok negeri."Tuan Ren Hui, seorang pedagang arak dengan rumah berodanya yang unik," Hong Yi melanjutkan dengan nada serius, kendati senyum lembut tetap menghiasi bibirnya yang merah segar. "Konon, beberapa tahun lalu, Anda pernah memberikan arak dewa kepada pelanggan yang kemudian sembuh dari sakit yang sudah lama diderita."Ren Hui tertawa kecil, menyembunyikan ketertarikannya di balik wajah yang tenang. "Baiklah, jika Tuan Muda tidak keberatan, silakan singgah di rumah beroda kami," katanya dengan nada ramah. Dia tidak memiliki alasan untuk menolak kunjungan dari dua tamu tak diundang ini, meski hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya mereka c
Ren Hui tertawa kecil, suaranya begitu halus, hampir tenggelam oleh angin senja yang sejuk. Dengan senyum tenang, dia berkata pelan, "Tuan Muda Hong Yi, agak sulit mengenali Anda, apalagi selama ini justru Tuan Muda kedua, Hong Li, yang lebih sering muncul di depan umum."Hong Yi tersenyum tipis, matanya memancarkan kilau cerdik. Dia menganggukkan kepalanya, menyadari sepenuhnya maksud tersirat dari ucapan pedagang arak di depannya. Meski penampilannya mungkin sederhana, tetapi jauh dari kata biasa."Aku yakin kau pasti pernah mendengar rumor mengenai dua Tuan Muda di Kediaman Keberuntungan Besar," balas Hong Yi dengan santai, mengibaskan kipas sutranya dengan gerakan anggun. Kali ini, dia tidak lagi berbicara dengan bahasa formal yang penuh basa-basi.Ren Hui mengangguk ringan, seolah menyetujui ucapan itu. "Jika rumor tentang seorang pedagang arak saja mampu menarik perhatian Tuan Muda dari kediaman bangsawan terhormat, maka tentu saja rumor mengenai tua
Kota Tianxia, Kekaisaran Shenguang tahun ke-20 TianjianDi atas menara kota Tianxia, dua orang jagoan pedang berdiri saling berhadapan. Ren Jie, Dewa Pedang dari sekte Pedang Langit, menatap tajam ke arah lawannya. Di hadapannya, Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia yang dijuluki sebagai Raja Pedang, memegang pedangnya dengan penuh keyakinan.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga plum yang mekar di sekitar menara. Suara gemerisik daun terdengar samar, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan segera dimulai. Di bawah sinar bulan yang pucat, kedua pedang itu berkilauan, mencerminkan tekad dan ambisi pemiliknya."Ren Jie, sudah lama aku menantikan saat ini," kata Wang Jiang dengan suara rendah namun penuh determinasi. "Hari ini, kita akan menentukan siapa yang layak menyandang gelar Raja Pedang di Shenguang."Ren Jie hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah menginginkan gelar itu, Wang Jiang. Aku datang ke Tianxia untuk mencari jawaban atas kematian guruku dan