Share

Mantra Kota Es

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-09 11:00:20
Chu Wang berdiri perlahan, senyumnya tipis dan penuh teka-teki. Dengan elegan, ia melangkah maju dan menatap Tuan Muda Fu Kai, yang berdiri di dekat meja pelelangan. “Tuan Muda Fu,” ujarnya, suaranya lembut tapi penuh wibawa, “agar tidak menimbulkan kecurigaan di antara para tamu yang lain, bagaimana jika aku yang membayar terlebih dahulu?”

Tuan Muda Fu Kai terdiam sejenak, tampak sedikit ragu. Ia menoleh ke arah Wei Jin, wanita cantik dengan sorot mata tajam yang sejak awal hanya mengawasi jalannya lelang. Wei Jin mengangguk pelan, memberi isyarat setuju tanpa berkata apa-apa.

“Baiklah, jika itu memang keinginan Chu Wang,” jawab Tuan Muda Fu Kai akhirnya, suaranya tegas namun penuh hormat.

Chu Wang mengangkat tangannya sedikit, bertepuk tangan dengan gerakan yang anggun. Dua orang pelayan segera datang, membawa kotak kayu berukuran sedang. Mereka membawanya ke hadapan Wei Jin, yang membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, tumpukan tael emas berkilauan, memantulkan cahaya
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pelelangan Telah Usai

    Wei Jin berdiri diam di sudut ruangan, hanya mengamati pergerakan orang-orang di aula dengan tatapan tenang dan dalam. Dia mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat halus kepada Tuan Muda Fu Kai dan Dongfang Yu. Tanpa perlu diperintah dua kali, Fu Kai melangkah mundur, sementara Dongfang Yu melangkah maju dengan cekatan, menyerahkan kotak kayu berukir elegan yang berisi Batu Bintang Ilusi kepada gadis cantik yang sebelumnya memberikan buku tebal pada mereka."Nona, waktunya pergi! Gerbang dimensi akan tertutup dalam hitungan napas," ujar Dongfang Yu, nada suaranya mendesak meski lembut. Sambil berbicara, dia mengangkat seruling gioknya, meniup nada-nada yang menggema lembut di dalam ruangan.Seiring dengan alunan melodi yang melayang di udara, kabut tipis perlahan muncul, menyelimuti seluruh aula. Kabut itu berkilauan seperti debu bintang yang terpantul cahaya lentera, memberikan kesan mistis. Dalam hitungan detik, Dongfang Yu beserta gadis itu dan beberapa tamu l

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sesuai Rencana

    Kereta kuda yang dikendarai Ren Hui perlahan-lahan membelah jalanan kota Yueliang yang sunyi. Udara dingin menusuk tulang, membalut seluruh kota dengan kesunyian yang mencekam. Bayang-bayang lampion yang tertinggal di sepanjang jalan hanya menyisakan kerlip temaram, berayun pelan di bawah hembusan angin yang dingin menggigit. Malam ini, suasana terasa jauh lebih misterius dari biasanya, seakan-akan kota itu menyimpan rahasia yang tak terucapkan.“Sungguh menarik!” Junjie tertawa pelan. Dia melepaskan doupeng yang menutupi wajahnya, melemparkannya ke dalam kereta tanpa beban sedikit pun. Rambutnya yang hitam panjang terurai, seakan turut menari bersama angin malam yang dingin.Ren Hui hanya meliriknya sekilas, tersenyum simpul. Dia tahu betul apa yang dimaksud Junjie. Tentu saja, hasil pelelangan malam ini sungguh di luar dugaan mereka. Batu Bintang Ilusi yang memicu perbincangan hangat sepanjang acara akhirnya jatuh ke tangan yang tak terduga.“Besok kita

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pamit

    Dongfang Yu memimpin para tamu asing itu kembali menuju gerbang dimensi yang mulai memudar di balik cahaya biru keunguan. Qiao Yang, yang sudah menunggu di sana, terperangah melihat sosok-sosok asing yang berdiri bersama adik seperguruannya. Mereka adalah tamu dari dunia yang berbeda, dengan aura yang sungguh berbeda dari para ahli yang biasa ditemuinya di Kekaisaran Shenguang. “Kakak, mereka datang dari dimensi lain. Sayangnya, waktu mereka terbatas di sini,” Dongfang Yu menjelaskan dengan suara tenang, meski terlihat sedikit tergesa. Qiao Yang mengangguk, memandang mereka sekilas sebelum berkata dengan nada mendesak, “Cepatlah! Sebelum gerbang ini tertutup kembali dan kita kehilangan kesempatan.” Dongfang Yu berbalik menatap para tamu itu, lalu menundukkan tubuhnya dalam-dalam, ber-kowtow dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih atas bantuan kalian. Nona Eirlys, mungkin buku yang kau berikan hanyalah sebuah buku dongeng di duniamu. Tetap

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pria-pria Menyebalkan

    Keesokan paginya, sebuah kereta kuda melaju pelan menyusuri jalanan Kota Yueliang. Udara pagi masih sejuk, membawa aroma embun yang segar dan kilauan cahaya matahari yang memantul di dedaunan, menciptakan butiran-butiran berkilau layaknya mutiara yang bertaburan di rerumputan."Pagi selalu menjadi waktu yang menyenangkan selain malam bulan purnama," Ren Hui bergumam, suaranya serupa bisikan halus, seakan tengah membaca sebuah syair lama yang dipenuhi kerinduan.Junjie tertawa pelan dari dalam kereta. Dia membuka tirai jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Pemandangan di luar sungguh memikat; bunga-bunga wisteria mulai bersemi, ungu lembutnya mengurai ke angin, sementara bunga liat bermekaran, memercikkan warna-warni cerah di sepanjang jalanan kota yang masih dibalut kabut pagi."Benar seperti katamu, Ren Hui," gumam Junjie, suaranya lebih pelan, terdengar puas. "Pagi hari di musim semi di Kota Yueliang benar-benar seperti lukisan hidup

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gerobak Arak Di Lembah Kabut Mutiara

    Pagi-pagi sekali, Ren Hui sudah membawa gerobaknya melintasi jalan setapak menuju pasar desa di Lembah Kabut Mutiara. Meski jaraknya cukup jauh, ia lebih suka pasar ini dibandingkan pasar di Desa Empat Musim yang hanya dibuka seminggu sekali. Di sini, kehidupan terasa lebih ramai dan penuh warna, serupa dengan arak yang disusunnya dalam guci-guci yang berderak pelan di atas gerobak kayu. Ia mendorong gerobaknya dengan langkah santai, tak ada yang perlu dikejar. Sekalipun terlambat dan kehilangan jam-jam teramai pasar, ia tahu araknya tetap akan laku di kedai-kedai sekitar. Ia tak tergesa-gesa, hanya menikmati angin pagi yang sejuk dengan aroma embun yang masih menggantung di udara. Saat tiba di kaki sebuah bukit kecil, Ren Hui menghentikan langkahnya. Ia mendongak, menatap anak tangga batu yang memanjang menuju puncak bukit. Tanaman semanggi hijau menyembul di sela-sela bebatuan, melambai lembut diterpa angin. Tanpa sadar, ia teringat pada perkataan Cui

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayar !

    Ren Hui tersenyum puas sambil menatap gerobak kayu yang penuh dengan guci-guci arak besar. Sebagian besar guci yang tadinya terisi penuh kini telah setengah kosong. Beberapa di antaranya sudah diantarkannya ke pemilik kedai dan penginapan di sekitar pasar besar. Ada juga yang dibeli oleh pelayan rumah tangga dari keluarga kaya yang tengah berbelanja di pasar pagi ini. "Pedagang arak!" Suara seorang pria memanggil tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Ren Hui mendongak, matanya bertemu dengan seraut wajah tampan yang sangat dikenalnya. Hanfu biru langit cerah melambai tertiup angin, berpadu dengan jubah putih yang panjang menjuntai hingga ke pergelangan kaki. Perhiasan giok berwarna biru muda tergantung di pinggangnya, memantulkan kilauan cahaya matahari pagi. Rambut hitam panjang diikat rapi dengan pita sutra yang senada dengan hanfunya. Seulas senyum di bibir tipis yang kemerahan itu menciptakan pesona yang mampu membuat siapa saja terpukau, termasuk Ren

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertemuan Tak Terduga Di Pasar

    Wei Xueran menatap gadis yang baru saja menegurnya, alisnya mengernyit tipis. Gadis muda itu terlihat cantik memesona dalam balutan hanfu ungu muda dengan ikat pinggang ungu tua. Rambut hitamnya tergerai panjang, dihiasi oleh jepit giok yang memantulkan cahaya lembut di bawah sinar matahari sore. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan gadis itu—berapi-api seperti kobaran semangat yang tak kenal takut."Pergilah!" Wei Xueran mengibaskan lengannya, namun selendang putih yang melilit pergelangannya tak mudah lepas, malah semakin erat membelitnya. Gadis itu hanya tersenyum kecil, menarik selendangnya dengan lebih kuat, seolah sengaja ingin mempermainkannya.Wei Xueran menghela napas panjang, matanya menyipit penuh kekesalan yang tertahan. Dia tidak ingin bertindak gegabah, terutama karena lawannya hanyalah seorang gadis muda. Bagaimanapun, akan sangat memalukan jika dia benar-benar harus bertarung melawan gadis seperti ini di tengah keramaian pasar."Nona,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kekhawatiran Wei Xueran

    Ren Hui menyeret Wei Xueran dengan cepat, seolah mengabaikan keluhan sahabatnya itu, membawa pria itu kembali ke tempat di mana gerobak araknya terparkir dengan rapi di bawah pohon willow yang daunnya berayun pelan tertiup angin musim semi. Tanpa banyak bicara, Ren Hui merapikan susunan guci-guci arak, memastikan tak ada yang terguling sebelum ia bersiap mendorong gerobaknya."Ayo, kita kembali ke Kediaman Chu Wang," ajaknya, menoleh sambil tersenyum tipis. Ren Hui tak memedulikan wajah Wei Xueran yang kini sedikit kusut meski tetap tak kehilangan pesona khasnya. Pria itu tetap saja tampan, bahkan dengan rambut yang sedikit acak-acakan."Aiyo! Aku masih ingin bersenang-senang di pasar ini," keluh Wei Xueran seraya mengibaskan lengan jubah sutra birunya yang mewah. Nada suaranya terdengar seperti bocah yang tak rela meninggalkan arena permainan. "Kau pergilah dulu! Chu Wang pasti akan membayar arak yang kuambil tadi," lanjutnya sambil melangkah pergi, tidak peduli p

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status