Dongfang Yu memimpin para tamu asing itu kembali menuju gerbang dimensi yang mulai memudar di balik cahaya biru keunguan. Qiao Yang, yang sudah menunggu di sana, terperangah melihat sosok-sosok asing yang berdiri bersama adik seperguruannya. Mereka adalah tamu dari dunia yang berbeda, dengan aura yang sungguh berbeda dari para ahli yang biasa ditemuinya di Kekaisaran Shenguang.
“Kakak, mereka datang dari dimensi lain. Sayangnya, waktu mereka terbatas di sini,” Dongfang Yu menjelaskan dengan suara tenang, meski terlihat sedikit tergesa. Qiao Yang mengangguk, memandang mereka sekilas sebelum berkata dengan nada mendesak, “Cepatlah! Sebelum gerbang ini tertutup kembali dan kita kehilangan kesempatan.” Dongfang Yu berbalik menatap para tamu itu, lalu menundukkan tubuhnya dalam-dalam, ber-kowtow dengan penuh rasa hormat. “Terima kasih atas bantuan kalian. Nona Eirlys, mungkin buku yang kau berikan hanyalah sebuah buku dongeng di duniamu. TetapKeesokan paginya, sebuah kereta kuda melaju pelan menyusuri jalanan Kota Yueliang. Udara pagi masih sejuk, membawa aroma embun yang segar dan kilauan cahaya matahari yang memantul di dedaunan, menciptakan butiran-butiran berkilau layaknya mutiara yang bertaburan di rerumputan."Pagi selalu menjadi waktu yang menyenangkan selain malam bulan purnama," Ren Hui bergumam, suaranya serupa bisikan halus, seakan tengah membaca sebuah syair lama yang dipenuhi kerinduan.Junjie tertawa pelan dari dalam kereta. Dia membuka tirai jendela, membiarkan angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya. Pemandangan di luar sungguh memikat; bunga-bunga wisteria mulai bersemi, ungu lembutnya mengurai ke angin, sementara bunga liat bermekaran, memercikkan warna-warni cerah di sepanjang jalanan kota yang masih dibalut kabut pagi."Benar seperti katamu, Ren Hui," gumam Junjie, suaranya lebih pelan, terdengar puas. "Pagi hari di musim semi di Kota Yueliang benar-benar seperti lukisan hidup
Pagi-pagi sekali, Ren Hui sudah membawa gerobaknya melintasi jalan setapak menuju pasar desa di Lembah Kabut Mutiara. Meski jaraknya cukup jauh, ia lebih suka pasar ini dibandingkan pasar di Desa Empat Musim yang hanya dibuka seminggu sekali. Di sini, kehidupan terasa lebih ramai dan penuh warna, serupa dengan arak yang disusunnya dalam guci-guci yang berderak pelan di atas gerobak kayu. Ia mendorong gerobaknya dengan langkah santai, tak ada yang perlu dikejar. Sekalipun terlambat dan kehilangan jam-jam teramai pasar, ia tahu araknya tetap akan laku di kedai-kedai sekitar. Ia tak tergesa-gesa, hanya menikmati angin pagi yang sejuk dengan aroma embun yang masih menggantung di udara. Saat tiba di kaki sebuah bukit kecil, Ren Hui menghentikan langkahnya. Ia mendongak, menatap anak tangga batu yang memanjang menuju puncak bukit. Tanaman semanggi hijau menyembul di sela-sela bebatuan, melambai lembut diterpa angin. Tanpa sadar, ia teringat pada perkataan Cui
Ren Hui tersenyum puas sambil menatap gerobak kayu yang penuh dengan guci-guci arak besar. Sebagian besar guci yang tadinya terisi penuh kini telah setengah kosong. Beberapa di antaranya sudah diantarkannya ke pemilik kedai dan penginapan di sekitar pasar besar. Ada juga yang dibeli oleh pelayan rumah tangga dari keluarga kaya yang tengah berbelanja di pasar pagi ini. "Pedagang arak!" Suara seorang pria memanggil tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. Ren Hui mendongak, matanya bertemu dengan seraut wajah tampan yang sangat dikenalnya. Hanfu biru langit cerah melambai tertiup angin, berpadu dengan jubah putih yang panjang menjuntai hingga ke pergelangan kaki. Perhiasan giok berwarna biru muda tergantung di pinggangnya, memantulkan kilauan cahaya matahari pagi. Rambut hitam panjang diikat rapi dengan pita sutra yang senada dengan hanfunya. Seulas senyum di bibir tipis yang kemerahan itu menciptakan pesona yang mampu membuat siapa saja terpukau, termasuk Ren
Wei Xueran menatap gadis yang baru saja menegurnya, alisnya mengernyit tipis. Gadis muda itu terlihat cantik memesona dalam balutan hanfu ungu muda dengan ikat pinggang ungu tua. Rambut hitamnya tergerai panjang, dihiasi oleh jepit giok yang memantulkan cahaya lembut di bawah sinar matahari sore. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan gadis itu—berapi-api seperti kobaran semangat yang tak kenal takut."Pergilah!" Wei Xueran mengibaskan lengannya, namun selendang putih yang melilit pergelangannya tak mudah lepas, malah semakin erat membelitnya. Gadis itu hanya tersenyum kecil, menarik selendangnya dengan lebih kuat, seolah sengaja ingin mempermainkannya.Wei Xueran menghela napas panjang, matanya menyipit penuh kekesalan yang tertahan. Dia tidak ingin bertindak gegabah, terutama karena lawannya hanyalah seorang gadis muda. Bagaimanapun, akan sangat memalukan jika dia benar-benar harus bertarung melawan gadis seperti ini di tengah keramaian pasar."Nona,
Ren Hui menyeret Wei Xueran dengan cepat, seolah mengabaikan keluhan sahabatnya itu, membawa pria itu kembali ke tempat di mana gerobak araknya terparkir dengan rapi di bawah pohon willow yang daunnya berayun pelan tertiup angin musim semi. Tanpa banyak bicara, Ren Hui merapikan susunan guci-guci arak, memastikan tak ada yang terguling sebelum ia bersiap mendorong gerobaknya."Ayo, kita kembali ke Kediaman Chu Wang," ajaknya, menoleh sambil tersenyum tipis. Ren Hui tak memedulikan wajah Wei Xueran yang kini sedikit kusut meski tetap tak kehilangan pesona khasnya. Pria itu tetap saja tampan, bahkan dengan rambut yang sedikit acak-acakan."Aiyo! Aku masih ingin bersenang-senang di pasar ini," keluh Wei Xueran seraya mengibaskan lengan jubah sutra birunya yang mewah. Nada suaranya terdengar seperti bocah yang tak rela meninggalkan arena permainan. "Kau pergilah dulu! Chu Wang pasti akan membayar arak yang kuambil tadi," lanjutnya sambil melangkah pergi, tidak peduli p
Sosok berhanfu putih dengan jubah hijau lotus tampak berdiri tegak di tengah jalan yang lengang. Ia tersenyum lembut, melambaikan tangan ke arah dua orang yang baru tiba. Sorotan mata pemuda itu menyiratkan kehangatan yang sudah lama tak mereka rasakan. "Kau rupanya!" Wei Xueran mendengus, mengerutkan alis seolah melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, senyumnya tipis, menunjukkan rasa jengkel yang bercampur dengan rasa akrab. Di sisi lain, Ren Hui justru tersenyum lebar, wajahnya berbinar seperti bertemu dengan teman lama. "Sendirian?" Ren Hui mendekat, melirik ke belakang bahu pemuda itu, memastikan tak ada pengikut. Sorot matanya mengisyaratkan rasa waspada, meskipun senyumnya tetap ramah. "Aku yakin dia melarikan diri lagi dari Nyonya Su Yang," ejek Wei Xueran sambil terkekeh, mengguncang guci arak di tangannya dengan gerakan santai, seakan tak peduli dunia. "Wei Xueran! Berhenti bicara sembarangan!" Song Mingy
Sementara itu di dalam rumah beroda, Junjie duduk santai di teras belakang, dikelilingi semilir angin yang membawa aroma lembut musim semi. Dia tampak tenang, meski matanya fokus menelusuri halaman buku yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu istimewa, ditukar dengan Batu Bintang Ilusi oleh seorang tamu asing saat pelelangan. Sampul biru tua buku itu terasa kasar di ujung jarinya, menambah kesan kuno dan misterius.Namun, ada satu hal yang membuat buku tersebut berbeda. Tulisannya menggunakan bahasa asing yang tak dikenali, baik oleh Dongfang Yu maupun Junjie. Meski begitu, Nona Eirlys telah memberikan petunjuk penting sebelumnya, menunjukkan cara mengaktifkan mantra yang tersembunyi di dalam buku itu. Dengan sekali sentuhan, tulisan asing tersebut kini seolah-olah mengalir ke dalam pikiran Junjie, memudahkannya mempelajari isi buku tersebut tanpa kendala."Junjie, aku dan Ye Hun menemukan sesuatu saat kami mengunjungi Pondok Bambu Ungu, kediaman Guru Liuxing,
Lembah Kabut Mutiara, Kota YinyueDua sosok itu berjalan beriringan menyusuri jalan desa yang sunyi. Sang tuan muda, mengenakan hanfu putih berkilau dengan bordiran awan emas, melangkah tenang. Sementara di sampingnya, pelayannya, gadis berhanfu ungu, berlari-lari kecil dengan langkah ringan, kadang berputar seakan menari mengikuti hembusan angin lembah yang dingin dan segar. Senyum riang tak pernah lepas dari wajahnya, dan suaranya yang nyaring terus mengisi kesunyian."Tuan Muda, sekarang kita akan pergi ke mana?" tanyanya penuh semangat, kedua matanya berbinar-binar seperti bintang yang memantulkan cahaya bulan.Hong Yi, sang tuan muda, hanya mengangkat alisnya sambil tersenyum tipis. "Menurutmu, ke mana kita harus pergi?" Ia malah berbalik melemparkan pertanyaan itu kembali dengan nada menggoda.Si gadis berhenti sejenak, memandangnya dengan bibir yang mengerucut dan pipi yang menggembung seperti bola kapas. Jelas terlihat, dia merasa kesal ka