Dengan gerakan hati-hati, Tuan Muda Fu Kai menyibakkan kain hitam yang menutupi sebuah benda di atas meja kayu yang kokoh. Saat kain itu terlepas seluruhnya, cahaya di aula utama Paviliun Yueliang segera diselimuti oleh kilauan biru yang memancar dari batu berwarna cemerlang dalam sebuah kotak kaca. Semua yang hadir terpana, keindahan batu itu begitu memikat hingga tak satu pun dari mereka mampu mengalihkan pandangan.
“Indah sekali! Luar biasa menawan!” beberapa orang bergumam terkesima. Suara bisik-bisik itu segera menyebar, mengisi seantero aula dengan rasa kagum yang tak tertahan.Tuan Muda Fu Kai menatap hadirin dengan senyumnya yang ramah, lalu berkata dengan suara yang jernih dan tegas, “Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, inilah Batu Bintang Ilusi terbesar yang pernah ditemukan. Di meja-meja berikutnya, kalian juga dapat melihat yang lebih kecil, serta inti dari batu ini.” Setiap katanya disampaikan dengan tenang, seolah membiarkan keajaiban batu itu sendiPenawaran untuk inti Batu Bintang Ilusi datang dari seorang wanita cantik yang kini menjadi pusat perhatian peserta lelang. Bahkan Tuan Muda Fu Kai menatapnya setengah tidak percaya.Seribu tael emas, jumlah yang jauh melampaui penawaran sebelumnya yang hanya lima ratus tael perak dari seorang pria muda yang duduk di sudut aula. Tentu saja, angka ini memicu bisikan di antara para peserta lelang."Nona Xue Xue, apakah Anda sedang bercanda?" seorang pria muda bertanya pada wanita cantik berhanfu putih yang terkesan lebih mewah dari pakaian kesehariannya.Wanita cantik itu, yang tak lain adalah Xue Xue, salah satu murid senior dari Sekte Pedang Langit, tersenyum cerah dan menyahut santai, "Tentu saja aku tidak sedang bercanda."Bu Hui, yang duduk di dekatnya bersama Cui Xuegang dan Chang Qigang, menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. Dia menyipitkan matanya, memperlihatkan rasa tidak senang terhadap sikap kekanak-kanakan wanita yang dijuluki seb
Qiao Yang menatap dalam diam, matanya tajam terpaku pada bayangan kelam dari lubang hitam yang terbuka di hadapannya. Di sisinya, Dongfang Yu terus memainkan seruling giok dengan kelembutan, tetapi penuh daya ilusi. Melodi dari seruling itu mengalun ke seluruh sudut paviliun, seperti embusan angin lembut yang mengundang perasaan aneh, membuat siapa pun yang mendengar terseret dalam alunan nadanya. Namun, bagi para penjaga di Paviliun Yueliang, melodi ini adalah isyarat—peringatan bahwa mereka harus semakin waspada."Seruling Iblis…" bisik salah seorang penjaga yang tengah berjaga di atap paviliun. Suara seruling Dongfang Yu mungkin memabukkan bagi telinga kebanyakan orang, tetapi bagi mereka yang terlatih, ia adalah tanda bahaya, sinyal bahwa ada sesuatu yang bersembunyi di balik alunan musik itu."Bagaimana situasi pelelangan?" seorang penjaga lain bertanya, menoleh penuh waspada sambil memeriksa seluruh area paviliun dengan saksama. Tatapan matanya tak pernah len
Sementara itu, di desa Empat Musim, Yue Yingying dan Ye Hun duduk bersebelahan di teras rumah beroda. Udara malam terasa sejuk, dengan angin lembut yang mengalir membawa wangi bunga-bunga liar dari pegunungan. Di atas meja, tersaji teh hijau hangat dan kue kacang hijau, aroma segar tehnya berpadu sempurna dengan manisnya kue yang lembut.Mereka memandang langit malam yang dihiasi bulan purnama terang, cahayanya jatuh melingkupi desa dengan kehangatan yang sunyi. Di antara tegukan teh dan camilan sederhana, mereka saling bertukar cerita.“Apa yang kau dapatkan dari catatan-catatan di Pondok Bambu Ungu?” tanya Yingying dengan nada santai, pandangannya masih terpaku pada keindahan bulan.Semenjak Ye Hun terbangun dari tidur panjangnya, mereka menjalin persahabatan yang tak diduga. Bagi Yingying, yang biasanya menjaga jarak dari siapa pun—bahkan dari Ren Hui—kehadiran Ye Hun membuka ruang baginya untuk berbagi hal-hal yang sebelumnya ia simpan sendiri. Begitu
Dongfang Yu masih meniup seruling gioknya, nada-nada merdu berhembus pelan, dibawa angin malam yang semakin dingin. Suara seruling itu melayang-layang, menembus sunyi yang membeku, menciptakan irama yang seakan-akan memanggil sesuatu dari kejauhan. Sementara itu, di dalam Paviliun Yueliang, Wei Jin menggenggam erat telapak tangannya, mata penuh kecemasan. Meski hatinya tak tenang memikirkan Dongfang Yu dan Qiao Yang, dia tak bisa begitu saja meninggalkan tempat pelelangan yang ramai dan hiruk pikuk.Di sudut aula, Ren Hui dan Junjie turut mendengar suara seruling yang menggugah hati itu. Ren Hui melirik Junjie, merasakan ketegangan yang menyelimuti pria di sampingnya yang berdoupeng putih. “Ayo kita keluar,” ujar Ren Hui lembut, sambil menyentuh lengan Junjie dengan hangat. Pria itu mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap waspada.Setelah berhasil mendapatkan inti Batu Bintang Ilusi, tidak ada lagi yang membuat mereka ingin bertahan di ruangan yang ki
Denting senar yang samar-samar terdengar dari kejauhan membuat Dongfang Yu tertegun, seperti terjerat pesona yang tak terlukiskan. Nada itu berbeda—bukan dari guzheng atau guqin seperti yang biasa ia dengar. Ada sesuatu yang asing, namun menyentuh sisi nostalgia dalam ingatannya.Perlahan, Dongfang Yu meraba permukaan gerbang dimensi yang semakin transparan di hadapannya, meski tak membiarkan pandangan melampaui batas. Di sisinya, Qiao Yang mengigit jarinya hingga setetes darah muncul, lalu menulis dengannya di atas kertas mantra dan menempelkannya di punggung Dongfang Yu. Sentuhan mantra itu terasa dingin, seolah memberi kekuatan dan perlindungan."Apakah ini akan baik-baik saja?" tanya Dongfang Yu, ragu dan menoleh pada kakak seperguruannya.Qiao Yang mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di bibirnya, memberi isyarat agar Dongfang Yu tak meragu. Keyakinan di matanya seperti jaminan yang diam-diam menenangkan hati Dongfang Yu.Dongfang Yu mena
Tamu-tamu asing itu menatap lurus pada Dongfang Yu. Meski langkah mereka mantap, tampak jelas canggung mengiringi setiap gerakan mereka. Begitu pun Dongfang Yu, yang tanpa ragu mendekati mereka, mengulurkan tangan sebagai isyarat untuk mengikuti."Aku tahu mungkin ini terasa asing bagi kalian… seperti halnya bagiku." Suaranya lembut namun tegas, senyumnya disuguhkan dengan kehangatan yang hati-hati. "Namun, percayalah, kalian diterima dengan senang hati di Paviliun Yueliang ini."Sepasang mata para tamu itu berkedip, dan meski tak ada jawaban, sikap mereka memberi kesan bahwa mereka memahami maksud Dongfang Yu. Mereka pun melangkah di belakangnya, menuju aula utama yang dipenuhi atmosfer tegang karena tengah berlangsung tawar-menawar sengit.Kedatangan Dongfang Yu bersama para tamu asing ini segera memancing perhatian setiap orang yang ada di dalam ruangan. Keramaian mendadak mereda, dan tatapan bertanya mengarah pada Dongfang dan tamu-tamunya. Wei Jin dan
Ren Hui dan Junjie kembali duduk di meja mereka dengan santai. Wei Xueran melirik mereka sekilas, senyum jahil tersungging di bibirnya seolah sedang merencanakan sesuatu. Ren Hui hanya menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah sedikit bingung, sedangkan Junjie tetap tenang, berlagak seakan suasana di aula yang dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran itu tak mengusiknya sedikit pun.Sementara itu, Tuan Muda Fu Kai masih menunggu penawaran berikutnya. Dia melirik ke arah beberapa tamu asing yang sedang berbisik-bisik di pojok aula, tampak seperti sedang berdiskusi serius. Salah seorang dari mereka memberi isyarat halus, memanggilnya untuk mendekat. Fu Kai tersenyum ramah, senyuman seorang tuan muda yang tahu cara menjaga sikap, dan melangkah mendekati mereka.Begitu dia tiba di hadapan para tamu itu, salah seorang dari mereka tanpa banyak bicara menempelkan selembar kertas jimat pada punggung tangannya. Seketika, Fu Kai merasakan sensasi hangat menjalar dari tanganny
Chu Wang berdiri perlahan, senyumnya tipis dan penuh teka-teki. Dengan elegan, ia melangkah maju dan menatap Tuan Muda Fu Kai, yang berdiri di dekat meja pelelangan. “Tuan Muda Fu,” ujarnya, suaranya lembut tapi penuh wibawa, “agar tidak menimbulkan kecurigaan di antara para tamu yang lain, bagaimana jika aku yang membayar terlebih dahulu?” Tuan Muda Fu Kai terdiam sejenak, tampak sedikit ragu. Ia menoleh ke arah Wei Jin, wanita cantik dengan sorot mata tajam yang sejak awal hanya mengawasi jalannya lelang. Wei Jin mengangguk pelan, memberi isyarat setuju tanpa berkata apa-apa. “Baiklah, jika itu memang keinginan Chu Wang,” jawab Tuan Muda Fu Kai akhirnya, suaranya tegas namun penuh hormat. Chu Wang mengangkat tangannya sedikit, bertepuk tangan dengan gerakan yang anggun. Dua orang pelayan segera datang, membawa kotak kayu berukuran sedang. Mereka membawanya ke hadapan Wei Jin, yang membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya, tumpukan tael emas berkilauan, memantulkan cahaya