Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Aku Kembali Karena Kau

Share

Aku Kembali Karena Kau

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-10-29 11:00:50

Di atap Pondok Darah Besi, Junjie dan Chu Wang duduk bersebelahan, menyaksikan keramaian Pasar Hantu yang ramai di bawah mereka. Guci arak yang diambil Junjie dari pinggangnya berkilau dalam cahaya bulan yang lembut, seolah menanti momen untuk dibagikan kepada sahabatnya.

"Kau masih menyukai arak," ujar Chu Wang, menatap sahabatnya dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, namun cukup untuk menyiratkan rasa kehangatan yang mendalam.

Junjie menggoyangkan guci arak itu ke arah Chu Wang dengan nada menggoda. "Mau mencoba?"

Chu Wang menggeleng, matanya kembali melirik kerumunan di bawah. Sejak usia muda, ia tak pernah mampu bertoleransi terhadap minuman beralkohol. Baginya, arak hanya memancing masalah, dan ia tidak ingin kehilangan kendali hanya karena seteguk atau dua.

Tawa pelan Junjie mengisi malam, mengangkat bahunya seolah tak menganggap serius. Persahabatan mereka telah terjalin sejak lama, dan hanya Junjie yang mamp
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Mengejar Suara-suara Misterius

    Ren Hui mengejar sosok-sosok berjubah dan berkerudung hitam itu di tengah kerumunan. Berkali-kali dia kehilangan mereka."Pondok Darah Besi," gumamnya seraya menatap sekeliling Pasar Hantu. "Tujuan mereka pondok Pak Tua Lan Feng. Aku harus ke sana!"Dia bergegas kembali ke pondok milik pak tua pelupa tadi. Dia berlari dengan hati berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih kencang. Suara yang malam ini terdengar tanpa disengaja membuatnya hampir kehilangan akal."Ada apa ini? Bagaimana bisa suaranya begitu mirip dengan dia? Ini mustahil." Berkali-kali menggumamkan kata-kata itu di dalam hatinya.Seperti saat di perahu dalam perjalanan menuju Pasar Hantu tadi. Saat pertama kalinya dia mendengar suara seseorang yang sangat mirip, bahkan dia meyakini itu suara milik seseorang yang dianggapnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu.Ren Hui terus berlari hingga tiba di pelataran yang dipenu

    Last Updated : 2024-10-30
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Munculnya Dua Pedang Empat Musim

    Kepingan-kepingan salju berhamburan di sekitar pelataran. Menciptakan harmonisasi warna yang kontras. Bunga Bi'an Hua yang semerah darah berselimutkan lapisan salju tipis yang memutih."Pedang Musim Dingin," sebuah gumaman terdengar samar-samar di telinga Ren Hui.Dia bersandar di sepasang lengan kokoh yang melindunginya dari tebasan pedang tadi. Saat membuka mata perlahan dan melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya dia tersenyum lega. "Junjie," gumamnya seraya menggenggam erat lengan yang menyangga tubuhnya."Muncul juga salah satu pedang empat musim yang legendaris di Jiang Hu. Pedang Musim Salju." Tiba-tiba satu lagi sosok berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan mendarat di depan dua sosok yang tadi bertarung dengan Ren Hui.Ren Hui tertegun, lagi-lagi suara ini. Suara yang membuatnya linglung, kehilangan akal dan nyaris celaka. Dengan susah payah dia berusaha untuk berdiri.

    Last Updated : 2024-10-31
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Teman Terbaik

    Ren Hui terbangun saat merasakan guncangan pelan. Dia berusaha untuk menggerakkan tubuhnya, tetapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan lesu. Dengan susah payah dia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.Setelah beberapa lama, dia menyadari di mana dirinya berada kini. Sepertinya di sebuah kereta yang tengah berjalan pelan. Perlahan di memperhatikan sekelilingnya, dan baru dilihatnya Junjie yang duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.Seperti biasa, pria tampan itu tertidur di bangku kereta dengan gaya malasnya, bertopang dagu. Angin musim semi yang bertiup sepoi-sepoi meniup anak-anak rambut yang berkeliaran di dahinya. Mantel birunya tampak berkilau di bawah terpaan sinar matahari pagi. Begitupun dengan gelang mutiara es di pergelangan tangannya."Kau pasti berjaga semalaman," gumamnya seraya tersenyum tipis. Ren Hui menatap pria tampan itu dengan tatapan berbinar. "Semoga aku tidak membuatmu panik," lanjutnya

    Last Updated : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Mengunjungi Pondok Bambu Ungu

    Desa Empat MusimSementara itu di rumah beroda, Yingying dan Ye Hun tengah sibuk dengan pekerjaan mereka. Ye Hun sibuk memotong-motong karang dingin yang disimpan Ren Hui di laci obat."Setelah ini giling semua menjadi serbuk," Yingying memberi petunjuk padanya. Dia sendiri tengah menggiling beberapa butir mutiara embun biru dan mutiara es."Yingying, apa ini semua efektif untuk menetralisir racun bunga salju dan mengobati penyakit dingin Pangeran Yongle?" Ye Hun bertanya dengan hati-hati."Hanya untuk penyakit dingin dan menekan efek racunnya saja. Untuk menghilangkan sisa-sisa racun secara keseluruhan harus menggunakan bunga es abadi. Hanya itu satu-satunya cara." Yingying menyahut dengan lugas, tanpa basa-basi pertanyaan Ye Hun.Ye Hun menghela napas pelan. Dia tahu dengan pasti, bunga es abadi bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Bahkan sangat sulit."B

    Last Updated : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Biru Tujuh Rupa

    Di depan mereka terbentang pemandangan yang memukau, bagaikan lukisan alam yang penuh warna. Halaman itu, yang tampak lama tidak dirawat, dihiasi dengan hamparan bunga biru yang tumbuh liar, tetapu anggun, membentuk pemandangan yang menyerupai padang biru. Rumpun-rumpun bunga itu berayun pelan ditiup angin seolah menyambut kehadiran mereka."Yingying, bukankah ini bunga biru tujuh rupa?" tanya Ye Hun dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaranya setengah tersendat, namun terdengar ada nada kekaguman dan kecemasan di sana. Yingying, yang berdiri di sampingnya, mengangguk pelan tanpa suara.Keduanya bertatapan sejenak. Mata mereka berbicara lebih dari kata-kata, ada ketidakpastian, kenangan, dan sedikit rasa takut yang saling terjalin. "Dulu, aku pernah melihat bunga biru tujuh rupa di sini," gumam Ye Hun sambil menyentuh keningnya yang mulai dibasahi keringat tipis, "Tapi, tidak pernah sebanyak ini."Yingying tetap diam, t

    Last Updated : 2024-11-01
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Wisma Cahaya Bintang

    Kereta kuda yang dinaiki Song Mingyu dan kawan-kawannya perlahan memasuki Kota Yueliang menjelang sore. Cahaya matahari lembut yang memudar melukis langit dengan semburat keemasan, memberikan kesan tenang pada kota yang mulai berbenah menuju malam."Junjie! Kita sudah sampai di Kota Yueliang!" serunya kepada pria yang sejak berangkat belum sekalipun keluar dari kereta, bahkan saat mereka berhenti untuk istirahat di kedai teh.Kali ini, Junjie tampaknya mendengarnya. Tirai kereta tersingkap, dan ia keluar untuk duduk di samping Song Mingyu. "Dulu kita meninggalkan kota ini menjelang musim gugur, dan sekarang kembali lagi di musim semi," ucapnya pelan, seraya menyodorkan sepotong bāozi pada Song Mingyu, seperti sebuah pengingat akan perjalanan mereka."Iya, kau benar!" sahut Song Mingyu, menerima bāozi tersebut. Dia menggigitnya perlahan, seolah menikmati setiap rasa yang melebur di lidahnya. Namun, ekspresi santainya seket

    Last Updated : 2024-11-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Catatan Sejarah

    Ujung cambuk melayang cepat, menghantam udara dan memecahkan meja kayu di depan mereka. Song Mingyu, dengan gesit, berkelit dari serangan itu, sementara Junjie memilih langkah lain. Ia melompat ringan, lalu duduk di meja terdekat bersama Chu Wang dan Wei Xueran, mengamati dengan senyum tipis di wajahnya yang tersembunyi di balik doupengnya.Ren Hui, yang tetap duduk di tempatnya, hanya bisa memandangi sisa-sisa meja yang berantakan. Dengan tatapan memelas, ia menoleh ke arah Junjie, berharap mendapat sedikit empati, namun Junjie malah memalingkan wajahnya, berpura-pura tidak melihat.“Aiyo, Nyonya! Teh enak ini tumpah sebelum sempat saya nikmati,” keluh Ren Hui, menatap wanita berwajah tegas yang berdiri tak jauh dari meja yang hancur itu.Wanita itu—Nyonya Su Yang, ibu Song Mingyu—memandang Ren Hui sejenak, kemudian mengibaskan cambuknya lagi dengan gerakan penuh amarah, kali ini diarahkan ke Song Mingyu yang melompat mundur dengan gesit. “Ibu! Jangan mem

    Last Updated : 2024-11-02
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Malam Yang Tak Lagi Seindah Bintang Di Langit

    Malam di Wisma Cahaya Bintang seolah menjadi bagian dari bentangan langit luas yang berhiaskan bintang. Ren Hui dan Junjie duduk di atas atap kamar mereka, dikelilingi angin malam yang sejuk serta taburan bintang yang berpendar di langit, menyesap arak sambil menikmati panorama bulan yang hampir sempurna.“Hidup tanpa menikmati arak di bawah langit yang seindah ini, sepertinya terasa kurang lengkap, bukan?” gumam Junjie, suaranya tenang, namun bibirnya tersenyum lebar, seperti seorang sahabat yang mengajak menikmati kesederhanaan hidup.Ren Hui hanya mengangguk pelan, memberi respon berupa gumaman yang tenang. Pangeran Yongle di sampingnya kini terlihat begitu berbeda—bukan sosok bangsawan, melainkan pria sederhana yang menjalani hidup bebas, berkelana tanpa batas dari satu kota ke kota lain.Setelah sejenak hening, Junjie kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih serius meski masih santai. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu nekad melawan o

    Last Updated : 2024-11-02

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status