Setelah menyelesaikan makanan mereka, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu beranjak untuk beristirahat. Meninggalkan kehangatan kedai, mereka diantar seorang pelayan menuju kamar yang telah dipesan sebelumnya.
"Karena tamu begitu banyak, kami hanya bisa menyediakan satu kamar di lantai bawah, Tuan," ucap pelayan itu sambil membungkuk hormat. Dia membuka pintu kamar dan memberi isyarat agar mereka masuk."Tidak masalah, kami hanya singgah semalam saja," sahut Ren Hui dengan senyum ramah, menepuk bahu pelayan sebagai tanda terima kasih. "Oh ya, nanti malam kami berencana ke Pasar Hantu. Bisakah kau memesankan perahu untuk kami?""Tentu saja, Tuan!" sahut pelayan antusias, tampak senang menerima tugas itu. "Saya akan memberitahukan jika perahu telah siap. Silakan Tuan-tuan beristirahat," ujarnya sebelum meninggalkan mereka bertiga.Ren Hui memandang ke sekeliling ruangan yang sederhana namun bersih, lalu membuka jendela, membiarkan udara malam yang sejukPerahu meluncur perlahan di atas air sungai yang berkilau diterpa cahaya bulan sabit. Lentera-lentera temaram yang terpasang di ujung perahu, kunang-kunang yang beterbangan di tepian, dan pepohonan willow yang anggun menjuntai di sepanjang sungai, menciptakan suasana yang sunyi dan sedikit misterius.Song Mingyu, yang berdiri di bagian belakang perahu, mengamati air sungai yang berkilau samar. "Aku kira hanya ada satu pintu masuk ke Pasar Hantu," gumamnya dengan nada penuh keraguan.Ren Hui, yang berdiri santai di depan dengan kipas lipat terbuka di depan dadanya, tersenyum tipis mendengar gumaman itu. "Jalur ini memang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja," balasnya sambil mengangkat bahu.Song Mingyu menatap Ren Hui, matanya menyipit sedikit, penuh rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang pedagang arak miskin seperti Ren Hui tahu begitu banyak tentang tempat-tempat tersembunyi dan jalur rahasia?Dan lagi, bukankah identitas asli pria di
Ren Hui masih terpaku, rasa sulit percaya membanjiri hatinya. Setelah lebih dari sepuluh tahun, ia kembali mendengar suara yang dahulu sangat akrab di telinganya. "Tidak mungkin," gumamnya, seraya mengepalkan kedua tangan hingga jari-jarinya menggenggam udara, seolah ingin mengaitkan kenangan yang tak ingin lepas. Berulangkali dia mengulang kata itu dalam hatinya, tanpa menyadari bahwa perahu mereka kini telah tiba di depan terowongan gelap yang menyeramkan. “Aiyo, rupanya di sini sungai tiba-tiba menghilang,” kata Song Mingyu pelan, menepuk bahu Junjie dengan tangan yang bergetar penuh rasa ingin tahu. Pria yang mengenakan hanfu putih itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tidak banyak berbicara. Song Mingyu terdiam, matanya mengamati lorong di hadapan mereka. Kegelapan menyelimuti, hanya menyisakan titik-titik cahaya dari lentera perahu di depan mereka yang bergetar lembut, menciptakan bayangan menari di dinding lorong.
Mereka bertiga, dengan Ren Hui membawa lentera berisi kunang-kunang yang berpendar lembut, menelusuri tangga batu yang menurun tajam, basah oleh embun malam. Tangga itu bermula dari pangkal pohon wisteria tua, dengan rongga besar menganga di akarnya, seolah menyembunyikan sebuah jalan rahasia.“Jika di siang hari, tempat ini sangat indah,” ujar Junjie, mendongakkan kepala dan menatap ranting-ranting pohon wisteria yang mulai bersemi. Bayangan akan untaian bunga wisteria yang mekar serempak di musimnya membuat bibirnya terulas senyum samar."Cukup sulit untuk mengunjungi Pasar Hantu di siang hari. Apalagi jika tidak melalui Desa Air Biru atau pintu di sana," Ren Hui menyahut, pandangannya tertuju pada batu-batu putih tinggi yang menjulang, seakan mengurung tempat itu."Kenapa begitu?" tanya Song Mingyu sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Junjie menuruni tangga yang licin. Mereka melangkah hati-hati, waspada pada setiap pijakan.“Karena hany
Junjie tertegun saat melihat siapa dua pria yang telah tiba terlebih dahulu di tempat yang juga menjadi tujuan mereka. Dengan langkah pasti, mereka mendekati teras pondok, diikuti oleh Song Mingyu yang tampak penasaran."Pak Tua! Apa kabarmu?" Junjie menyapa pemilik pondok dengan sopan, yang tengah menuangkan arak ke dalam cangkirnya.Kehadiran Junjie dan kawan-kawan itu membuat pak tua beserta kedua tamunya terkejut sejenak. Namun, suasana segera mencair saat pak tua itu tertawa terkekeh, berdiri dari kursinya untuk menyambut mereka dengan hangat. "Aiyo! Apakah kalian juga membawakan arak untukku?" tanyanya.Ren Hui tertawa lebar, mendahului Junjie dan Song Mingyu untuk naik ke teras pondok. Dia mendekati pria tua itu dan menepuk bahunya. "Tentu saja! Aku datang membawakan arak yang lezat untukmu! Juga untuk mereka!" sahutnya dengan riang.Junjie mengikuti Ren Hui, duduk di kursi dengan santai. "Chu Wang, ayo minum bersama kami!" ucapnya sambil m
Malam itu terasa hangat dalam keakraban yang meresap hingga ke tulang, meski hawa malam masih menggigit dengan dingin. Di teras pondok kayu kecil yang dikelilingi sinar temaram lentera, Ren Hui, Wei Xueran, Song Mingyu, dan Pak Tua Lan Feng duduk melingkar, ditemani cangkir-cangkir arak yang terus terisi, menghangatkan percakapan mereka.Wei Xueran menatap Ren Hui lekat-lekat, matanya menyimpan bayang luka yang dalam. Suaranya hampir berbisik ketika berkata, "Aku hampir saja membunuh Chu Wang ketika dia mengatakan kau masih hidup." Getirnya terasa menusuk, seakan menggali luka lama yang belum benar-benar sembuh.Ren Hui hanya tersenyum tipis, mengangkat cangkir dan perlahan menuangkan arak ke dalamnya. Isyarat halus itu cukup bagi Xueran, tak perlu mengungkit masa lalu. Wei Xueran menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya pada Song Mingyu, yang tampak asyik menatap sesuatu di dinding teras, tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Tua," Ren Hui
Di atap Pondok Darah Besi, Junjie dan Chu Wang duduk bersebelahan, menyaksikan keramaian Pasar Hantu yang ramai di bawah mereka. Guci arak yang diambil Junjie dari pinggangnya berkilau dalam cahaya bulan yang lembut, seolah menanti momen untuk dibagikan kepada sahabatnya. "Kau masih menyukai arak," ujar Chu Wang, menatap sahabatnya dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, namun cukup untuk menyiratkan rasa kehangatan yang mendalam. Junjie menggoyangkan guci arak itu ke arah Chu Wang dengan nada menggoda. "Mau mencoba?" Chu Wang menggeleng, matanya kembali melirik kerumunan di bawah. Sejak usia muda, ia tak pernah mampu bertoleransi terhadap minuman beralkohol. Baginya, arak hanya memancing masalah, dan ia tidak ingin kehilangan kendali hanya karena seteguk atau dua. Tawa pelan Junjie mengisi malam, mengangkat bahunya seolah tak menganggap serius. Persahabatan mereka telah terjalin sejak lama, dan hanya Junjie yang mamp
Ren Hui mengejar sosok-sosok berjubah dan berkerudung hitam itu di tengah kerumunan. Berkali-kali dia kehilangan mereka."Pondok Darah Besi," gumamnya seraya menatap sekeliling Pasar Hantu. "Tujuan mereka pondok Pak Tua Lan Feng. Aku harus ke sana!"Dia bergegas kembali ke pondok milik pak tua pelupa tadi. Dia berlari dengan hati berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih kencang. Suara yang malam ini terdengar tanpa disengaja membuatnya hampir kehilangan akal."Ada apa ini? Bagaimana bisa suaranya begitu mirip dengan dia? Ini mustahil." Berkali-kali menggumamkan kata-kata itu di dalam hatinya.Seperti saat di perahu dalam perjalanan menuju Pasar Hantu tadi. Saat pertama kalinya dia mendengar suara seseorang yang sangat mirip, bahkan dia meyakini itu suara milik seseorang yang dianggapnya telah tiada sepuluh tahun yang lalu.Ren Hui terus berlari hingga tiba di pelataran yang dipenu
Kepingan-kepingan salju berhamburan di sekitar pelataran. Menciptakan harmonisasi warna yang kontras. Bunga Bi'an Hua yang semerah darah berselimutkan lapisan salju tipis yang memutih."Pedang Musim Dingin," sebuah gumaman terdengar samar-samar di telinga Ren Hui.Dia bersandar di sepasang lengan kokoh yang melindunginya dari tebasan pedang tadi. Saat membuka mata perlahan dan melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya dia tersenyum lega. "Junjie," gumamnya seraya menggenggam erat lengan yang menyangga tubuhnya."Muncul juga salah satu pedang empat musim yang legendaris di Jiang Hu. Pedang Musim Salju." Tiba-tiba satu lagi sosok berjubah dan berkerudung hitam berkelebat dan mendarat di depan dua sosok yang tadi bertarung dengan Ren Hui.Ren Hui tertegun, lagi-lagi suara ini. Suara yang membuatnya linglung, kehilangan akal dan nyaris celaka. Dengan susah payah dia berusaha untuk berdiri.