“Bocah sialan!” Pemimpin prajurit itu berteriak dengan kemarahan yang menggema di seluruh kedai. Matanya berkilat-kilat marah saat menyaksikan para prajuritnya tergeletak tak berdaya di lantai.
Tanpa berpikir panjang, dia menerjang ke arah pemuda yang menjadi pusat kericuhan.Dengan loncatan yang tinggi, pemimpin prajurit itu melesat melewati Ren Hui dan kawan-kawannya yang tengah menikmati teh di sudut kedai.Para tamu lain segera berhamburan keluar, berusaha menghindari masalah dengan Pasukan Penjaga Kekaisaran yang terkenal akan arogansinya. Namun, beberapa orang tetap tinggal, menikmati kekacauan sambil berbisik-bisik, bergosip.“Ah, sungguh keterlaluan,” Junjie mendengus pelan, kepalanya mendongak malas saat melihat pemimpin prajurit itu terbang di atas mereka, tanpa rasa segan.Junjie dengan santai meraih sumpit dari meja, memutarnya perlahan di tangannya. Gerakannya kian cepat, matanya tetap tenang. Dalam sekejap, sumpit itu mele“Guru!” Lan Ning berseru, napasnya tercekat melihat sosok berambut putih yang berdiri tegak di ambang pintu kedai. Hanfu dan jubah putihnya berkibar lembut, seolah ikut menari bersama angin musim semi. Rambut peraknya terurai seperti untaian sutra, berkilauan saat sinar matahari senja menyentuhnya, menciptakan aura memikat yang sulit diabaikan."Aiyo, Nona Bu Hui!" Pemilik kedai dan beberapa pengunjung yang berkerumun segera berlari menghampirinya. Mereka menundukkan badan penuh hormat, sementara suara riuh yang sebelumnya memenuhi ruangan mendadak mereda, digantikan oleh desis kagum yang pelan namun jelas terdengar.Ren Hui, yang berdiri di sudut ruangan, tertegun melihat kemunculan Bu Hui. Pandangannya menyapu wajah wanita itu dengan cepat, lalu beralih ke Junjie di sampingnya. Tapi Junjie hanya berdiri santai, tak terganggu sedikit pun oleh kehadiran Bu Hui yang jelas membawa hawa dingin. Tanpa sepatah kata, Ren Hui maju beberapa la
Langit masih gelap ketika Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Udara pagi menyelusup dingin, sementara kabut tipis menggantung di atas jalan-jalan berbatu Kota Yinyue yang masih sunyi. Cahaya pertama dari matahari baru saja muncul di ufuk timur, memercikkan semburat lembut keemasan di langit kelabu. Kuda-kuda mereka menderap pelan, memecah keheningan yang menyelimuti kota. Di belakang mereka, penginapan yang baru saja mereka tinggalkan mulai terbangun dari tidur panjangnya. Suara derit pintu kayu yang terbuka, diiringi sapaan pengawal malam yang saling berbalas, berbaur dengan angin pagi yang sejuk.Di siang harinya, Lan Ning dan Bu Hui mengunjungi kedai yang sama. Pemilik kedai, dengan senyum ramah, memberitahukan bahwa ketiga pria yang mereka cari telah berangkat sejak pagi buta. Lan Ning menghela napas, menyesali kesempatan yang terlewat untuk mengucapkan terima kasih kepada pria-pria misterius itu, terutama Ren Hui,
Perbatasan Kota YinyueSong Mingyu tersenyum puas saat mereka bertiga tiba di perbatasan Kota Yinyue. Hanya tinggal sedikit lagi mereka akan tiba di Kota Yueliang, tujuan mereka yang telah dinanti."Bagaimana kalau kita mampir ke Pasar Hantu?" Song Mingyu melirik kedua rekannya yang masih duduk di atas kuda masing-masing, wajahnya penuh harap."Untuk apa?" Junjie menjawab dengan nada malas, suaranya tertegun dalam kebisingan. Di balik doupengnya, dia menguap pelan, menampilkan ketidakpedulian yang mengesalkan bagi Song Mingyu. Sementara itu, Ren Hui hanya tersenyum tenang seperti biasanya."Masih ada beberapa hari sebelum acara pelelangan. Jika kalian ingin bersenang-senang sebentar, tidak ada salahnya kita mengunjungi Pasar Hantu," Ren Hui mengusulkan, senyumnya merekah. Topengnya kini sudah dilepas, menunjukkan wajahnya yang tampan."Bagaimana menurutmu, Junjie?" tanya Song Mingyu, menatap pria yang terlihat acuh tak acuh itu, berharap
Mereka bertiga menelusuri jalanan Desa dengan santai. Derap kuda yang berirama lembut berpadu dengan gemericik aliran sungai di sisi jalan terdengar bak musik yang menghibur di senja itu. Udara berembus hangat, membawa aroma tanah basah dan wangi makanan dari rumah penduduk desa dan kedai yang berderet di sepanjang jalan.“Desa Air Biru, itulah nama desa ini,” ujar Junjie sambil melirik Song Mingyu yang menunggang kuda di sampingnya.“Ah, nama yang indah,” balas Song Mingyu dengan senyum kecil, tatapannya menyapu desa yang penuh pesona alami. Meski tak sesemarak Desa Empat Musim, ada kehangatan sederhana di sini, terpancar dari sungai yang berkelok di sisi jalan utama dan pepohonan willow yang meliuk anggun di tepi air.“Benar. Nama desa ini berasal dari sungai itu.” Junjie mengangguk, lalu menunjuk ke seberang jalan.Song Mingyu menoleh, matanya menyusuri aliran jernih yang berkilauan tertimpa sinar matahari senja. Cahaya keemasan perlahan memud
Di dalam penginapan yang mulai riuh oleh percakapan, aroma teh dan arak samar-samar melayang, menambahkan kehangatan pada ruangan yang berderak. Junjie menarik napas panjang, pandangannya tertuju pada Ren Hui dari balik doupeng yang menyembunyikan wajahnya. Sekilas tatapan itu seperti angin lalu, namun di balik keheningan, ada keakraban tak terucap yang hanya mereka berdua rasakan."Kau mengenal salah satu dari mereka?" suara Ren Hui terdengar lembut, hampir tertelan keramaian. Namun, baik Junjie maupun Song Mingyu, yang duduk di dekatnya, menangkap setiap kata dengan jelas.Junjie menjawab tanpa basa-basi, "Beberapa di antaranya." Kalimatnya singkat, penuh makna yang tak perlu dijelaskan lebih jauh.Song Mingyu, yang semula hanya mengamati, mengalihkan pandangan pada sekelompok tamu yang baru saja memasuki penginapan dan mengambil tempat di meja kosong di sisi ruangan. Di antara wajah-wajah asing itu, ada satu sosok yang ia kenal. Ia menghela na
Setelah menyelesaikan makanan mereka, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu beranjak untuk beristirahat. Meninggalkan kehangatan kedai, mereka diantar seorang pelayan menuju kamar yang telah dipesan sebelumnya."Karena tamu begitu banyak, kami hanya bisa menyediakan satu kamar di lantai bawah, Tuan," ucap pelayan itu sambil membungkuk hormat. Dia membuka pintu kamar dan memberi isyarat agar mereka masuk."Tidak masalah, kami hanya singgah semalam saja," sahut Ren Hui dengan senyum ramah, menepuk bahu pelayan sebagai tanda terima kasih. "Oh ya, nanti malam kami berencana ke Pasar Hantu. Bisakah kau memesankan perahu untuk kami?""Tentu saja, Tuan!" sahut pelayan antusias, tampak senang menerima tugas itu. "Saya akan memberitahukan jika perahu telah siap. Silakan Tuan-tuan beristirahat," ujarnya sebelum meninggalkan mereka bertiga.Ren Hui memandang ke sekeliling ruangan yang sederhana namun bersih, lalu membuka jendela, membiarkan udara malam yang sejuk
Perahu meluncur perlahan di atas air sungai yang berkilau diterpa cahaya bulan sabit. Lentera-lentera temaram yang terpasang di ujung perahu, kunang-kunang yang beterbangan di tepian, dan pepohonan willow yang anggun menjuntai di sepanjang sungai, menciptakan suasana yang sunyi dan sedikit misterius.Song Mingyu, yang berdiri di bagian belakang perahu, mengamati air sungai yang berkilau samar. "Aku kira hanya ada satu pintu masuk ke Pasar Hantu," gumamnya dengan nada penuh keraguan.Ren Hui, yang berdiri santai di depan dengan kipas lipat terbuka di depan dadanya, tersenyum tipis mendengar gumaman itu. "Jalur ini memang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja," balasnya sambil mengangkat bahu.Song Mingyu menatap Ren Hui, matanya menyipit sedikit, penuh rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang pedagang arak miskin seperti Ren Hui tahu begitu banyak tentang tempat-tempat tersembunyi dan jalur rahasia?Dan lagi, bukankah identitas asli pria di
Ren Hui masih terpaku, rasa sulit percaya membanjiri hatinya. Setelah lebih dari sepuluh tahun, ia kembali mendengar suara yang dahulu sangat akrab di telinganya. "Tidak mungkin," gumamnya, seraya mengepalkan kedua tangan hingga jari-jarinya menggenggam udara, seolah ingin mengaitkan kenangan yang tak ingin lepas. Berulangkali dia mengulang kata itu dalam hatinya, tanpa menyadari bahwa perahu mereka kini telah tiba di depan terowongan gelap yang menyeramkan. “Aiyo, rupanya di sini sungai tiba-tiba menghilang,” kata Song Mingyu pelan, menepuk bahu Junjie dengan tangan yang bergetar penuh rasa ingin tahu. Pria yang mengenakan hanfu putih itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tidak banyak berbicara. Song Mingyu terdiam, matanya mengamati lorong di hadapan mereka. Kegelapan menyelimuti, hanya menyisakan titik-titik cahaya dari lentera perahu di depan mereka yang bergetar lembut, menciptakan bayangan menari di dinding lorong.