Perbatasan Kota Yinyue
Song Mingyu tersenyum puas saat mereka bertiga tiba di perbatasan Kota Yinyue. Hanya tinggal sedikit lagi mereka akan tiba di Kota Yueliang, tujuan mereka yang telah dinanti."Bagaimana kalau kita mampir ke Pasar Hantu?" Song Mingyu melirik kedua rekannya yang masih duduk di atas kuda masing-masing, wajahnya penuh harap."Untuk apa?" Junjie menjawab dengan nada malas, suaranya tertegun dalam kebisingan. Di balik doupengnya, dia menguap pelan, menampilkan ketidakpedulian yang mengesalkan bagi Song Mingyu. Sementara itu, Ren Hui hanya tersenyum tenang seperti biasanya."Masih ada beberapa hari sebelum acara pelelangan. Jika kalian ingin bersenang-senang sebentar, tidak ada salahnya kita mengunjungi Pasar Hantu," Ren Hui mengusulkan, senyumnya merekah. Topengnya kini sudah dilepas, menunjukkan wajahnya yang tampan."Bagaimana menurutmu, Junjie?" tanya Song Mingyu, menatap pria yang terlihat acuh tak acuh itu, berharapMereka bertiga menelusuri jalanan Desa dengan santai. Derap kuda yang berirama lembut berpadu dengan gemericik aliran sungai di sisi jalan terdengar bak musik yang menghibur di senja itu. Udara berembus hangat, membawa aroma tanah basah dan wangi makanan dari rumah penduduk desa dan kedai yang berderet di sepanjang jalan.“Desa Air Biru, itulah nama desa ini,” ujar Junjie sambil melirik Song Mingyu yang menunggang kuda di sampingnya.“Ah, nama yang indah,” balas Song Mingyu dengan senyum kecil, tatapannya menyapu desa yang penuh pesona alami. Meski tak sesemarak Desa Empat Musim, ada kehangatan sederhana di sini, terpancar dari sungai yang berkelok di sisi jalan utama dan pepohonan willow yang meliuk anggun di tepi air.“Benar. Nama desa ini berasal dari sungai itu.” Junjie mengangguk, lalu menunjuk ke seberang jalan.Song Mingyu menoleh, matanya menyusuri aliran jernih yang berkilauan tertimpa sinar matahari senja. Cahaya keemasan perlahan memud
Di dalam penginapan yang mulai riuh oleh percakapan, aroma teh dan arak samar-samar melayang, menambahkan kehangatan pada ruangan yang berderak. Junjie menarik napas panjang, pandangannya tertuju pada Ren Hui dari balik doupeng yang menyembunyikan wajahnya. Sekilas tatapan itu seperti angin lalu, namun di balik keheningan, ada keakraban tak terucap yang hanya mereka berdua rasakan."Kau mengenal salah satu dari mereka?" suara Ren Hui terdengar lembut, hampir tertelan keramaian. Namun, baik Junjie maupun Song Mingyu, yang duduk di dekatnya, menangkap setiap kata dengan jelas.Junjie menjawab tanpa basa-basi, "Beberapa di antaranya." Kalimatnya singkat, penuh makna yang tak perlu dijelaskan lebih jauh.Song Mingyu, yang semula hanya mengamati, mengalihkan pandangan pada sekelompok tamu yang baru saja memasuki penginapan dan mengambil tempat di meja kosong di sisi ruangan. Di antara wajah-wajah asing itu, ada satu sosok yang ia kenal. Ia menghela na
Setelah menyelesaikan makanan mereka, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu beranjak untuk beristirahat. Meninggalkan kehangatan kedai, mereka diantar seorang pelayan menuju kamar yang telah dipesan sebelumnya."Karena tamu begitu banyak, kami hanya bisa menyediakan satu kamar di lantai bawah, Tuan," ucap pelayan itu sambil membungkuk hormat. Dia membuka pintu kamar dan memberi isyarat agar mereka masuk."Tidak masalah, kami hanya singgah semalam saja," sahut Ren Hui dengan senyum ramah, menepuk bahu pelayan sebagai tanda terima kasih. "Oh ya, nanti malam kami berencana ke Pasar Hantu. Bisakah kau memesankan perahu untuk kami?""Tentu saja, Tuan!" sahut pelayan antusias, tampak senang menerima tugas itu. "Saya akan memberitahukan jika perahu telah siap. Silakan Tuan-tuan beristirahat," ujarnya sebelum meninggalkan mereka bertiga.Ren Hui memandang ke sekeliling ruangan yang sederhana namun bersih, lalu membuka jendela, membiarkan udara malam yang sejuk
Perahu meluncur perlahan di atas air sungai yang berkilau diterpa cahaya bulan sabit. Lentera-lentera temaram yang terpasang di ujung perahu, kunang-kunang yang beterbangan di tepian, dan pepohonan willow yang anggun menjuntai di sepanjang sungai, menciptakan suasana yang sunyi dan sedikit misterius.Song Mingyu, yang berdiri di bagian belakang perahu, mengamati air sungai yang berkilau samar. "Aku kira hanya ada satu pintu masuk ke Pasar Hantu," gumamnya dengan nada penuh keraguan.Ren Hui, yang berdiri santai di depan dengan kipas lipat terbuka di depan dadanya, tersenyum tipis mendengar gumaman itu. "Jalur ini memang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja," balasnya sambil mengangkat bahu.Song Mingyu menatap Ren Hui, matanya menyipit sedikit, penuh rasa ingin tahu. Bagaimana bisa seorang pedagang arak miskin seperti Ren Hui tahu begitu banyak tentang tempat-tempat tersembunyi dan jalur rahasia?Dan lagi, bukankah identitas asli pria di
Ren Hui masih terpaku, rasa sulit percaya membanjiri hatinya. Setelah lebih dari sepuluh tahun, ia kembali mendengar suara yang dahulu sangat akrab di telinganya. "Tidak mungkin," gumamnya, seraya mengepalkan kedua tangan hingga jari-jarinya menggenggam udara, seolah ingin mengaitkan kenangan yang tak ingin lepas. Berulangkali dia mengulang kata itu dalam hatinya, tanpa menyadari bahwa perahu mereka kini telah tiba di depan terowongan gelap yang menyeramkan. “Aiyo, rupanya di sini sungai tiba-tiba menghilang,” kata Song Mingyu pelan, menepuk bahu Junjie dengan tangan yang bergetar penuh rasa ingin tahu. Pria yang mengenakan hanfu putih itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tidak banyak berbicara. Song Mingyu terdiam, matanya mengamati lorong di hadapan mereka. Kegelapan menyelimuti, hanya menyisakan titik-titik cahaya dari lentera perahu di depan mereka yang bergetar lembut, menciptakan bayangan menari di dinding lorong.
Mereka bertiga, dengan Ren Hui membawa lentera berisi kunang-kunang yang berpendar lembut, menelusuri tangga batu yang menurun tajam, basah oleh embun malam. Tangga itu bermula dari pangkal pohon wisteria tua, dengan rongga besar menganga di akarnya, seolah menyembunyikan sebuah jalan rahasia.“Jika di siang hari, tempat ini sangat indah,” ujar Junjie, mendongakkan kepala dan menatap ranting-ranting pohon wisteria yang mulai bersemi. Bayangan akan untaian bunga wisteria yang mekar serempak di musimnya membuat bibirnya terulas senyum samar."Cukup sulit untuk mengunjungi Pasar Hantu di siang hari. Apalagi jika tidak melalui Desa Air Biru atau pintu di sana," Ren Hui menyahut, pandangannya tertuju pada batu-batu putih tinggi yang menjulang, seakan mengurung tempat itu."Kenapa begitu?" tanya Song Mingyu sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Junjie menuruni tangga yang licin. Mereka melangkah hati-hati, waspada pada setiap pijakan.“Karena hany
Junjie tertegun saat melihat siapa dua pria yang telah tiba terlebih dahulu di tempat yang juga menjadi tujuan mereka. Dengan langkah pasti, mereka mendekati teras pondok, diikuti oleh Song Mingyu yang tampak penasaran."Pak Tua! Apa kabarmu?" Junjie menyapa pemilik pondok dengan sopan, yang tengah menuangkan arak ke dalam cangkirnya.Kehadiran Junjie dan kawan-kawan itu membuat pak tua beserta kedua tamunya terkejut sejenak. Namun, suasana segera mencair saat pak tua itu tertawa terkekeh, berdiri dari kursinya untuk menyambut mereka dengan hangat. "Aiyo! Apakah kalian juga membawakan arak untukku?" tanyanya.Ren Hui tertawa lebar, mendahului Junjie dan Song Mingyu untuk naik ke teras pondok. Dia mendekati pria tua itu dan menepuk bahunya. "Tentu saja! Aku datang membawakan arak yang lezat untukmu! Juga untuk mereka!" sahutnya dengan riang.Junjie mengikuti Ren Hui, duduk di kursi dengan santai. "Chu Wang, ayo minum bersama kami!" ucapnya sambil m
Malam itu terasa hangat dalam keakraban yang meresap hingga ke tulang, meski hawa malam masih menggigit dengan dingin. Di teras pondok kayu kecil yang dikelilingi sinar temaram lentera, Ren Hui, Wei Xueran, Song Mingyu, dan Pak Tua Lan Feng duduk melingkar, ditemani cangkir-cangkir arak yang terus terisi, menghangatkan percakapan mereka.Wei Xueran menatap Ren Hui lekat-lekat, matanya menyimpan bayang luka yang dalam. Suaranya hampir berbisik ketika berkata, "Aku hampir saja membunuh Chu Wang ketika dia mengatakan kau masih hidup." Getirnya terasa menusuk, seakan menggali luka lama yang belum benar-benar sembuh.Ren Hui hanya tersenyum tipis, mengangkat cangkir dan perlahan menuangkan arak ke dalamnya. Isyarat halus itu cukup bagi Xueran, tak perlu mengungkit masa lalu. Wei Xueran menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya pada Song Mingyu, yang tampak asyik menatap sesuatu di dinding teras, tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Tua," Ren Hui