Desa Empat Musim, Kota YinyueRen Hui, Junjie, dan Song Mingyu menatap Ye Hun dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Wanita itu mengeluarkan bunga-bunga berwarna merah darah dari keranjang bambu yang dibawanya saat berpamitan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan."Apa ini?" tanya Junjie, seraya mengambil setangkai bunga merah darah itu dan mengamatinya dengan seksama. Bagi Junjie, bunga ini tampak seperti bunga biasa, tak ada yang istimewa dibandingkan dengan bunga-bunga lain yang sering ia temui.Namun, tidak demikian dengan Song Mingyu. Dia lebih tertarik menatap Ye Hun, yang kini duduk di hadapannya dengan tatapan tenang. Dia masih sulit untuk mempercayai bahwa wanita ini kini dalam keadaan sehat. Dahulu, wanita ini terbaring di dalam peti mati giok lavender, seolah berada dalam keadaan mati suri.Sementara itu, Ren Hui memilih
Beberapa hari berlalu dengan tenang, sementara udara musim semi semakin terasa lembut menyentuh setiap sudut Desa Empat Musim. Perlahan, sisa-sisa salju yang tersisa di tanah mulai menguap, menghilang tanpa jejak. Kehijauan desa yang memang abadi sepanjang tahun kini terasa lebih hidup. Tunas-tunas baru dan bunga-bunga mulai bermunculan dan bermekaran, menyelipkan warna-warna lembut di antara pepohonan yang sunyi.Di tengah suasana desa yang mulai bergairah kembali, Ye Hun, yang pernah lama tinggal di tempat ini, menghabiskan waktu dengan berkeliling. Kehadiran Yue Yingying, tabib yang merawat Junjie, yang baru saja tiba beberapa hari lalu, membuatnya merasa lebih nyaman. Tak lagi ada rasa kesepian yang dulu sering menyelimuti hari-harinya. Kini, mereka berdua sering kali berjalan bersama-sama, menyusuri hutan untuk mencari herbal yang tumbuh liar di sekitar desa."Apakah menurutmu ada kaitan antara bunga bi’an Huan dan bunga biru tujuh rupa?" suara lemb
"Pondok Bambu Ungu?" Ren Hui dan Junjie serentak bertanya kepada dua wanita cantik yang duduk di hadapan mereka. Yingying dan Ye Hun mengangguk bersamaan, tatapan mereka serius. Sementara itu, Song Mingyu hanya menatap mereka silih berganti, kebingungan dengan percakapan yang terjadi, matanya melirik sekeliling, merasakan ketegangan yang menguar."Ren Hui, menurut Ye Hun, hanya di Pondok Bambu Ungu bunga biru tujuh rupa pernah tumbuh. Mungkin saja masih ada sisa, meski sedikit, atau ada petunjuk lain untuk mendapatkan penawar racunnya," kata Yingying, nadanya hati-hati, matanya meneliti wajah Ren Hui dengan penuh pertimbangan.Ren Hui menghela napas dalam-dalam, jiwanya seolah terombang-ambing oleh kenangan. Tempat itu, Pondok Bambu Ungu, adalah tempat yang ia kenal baik—terlalu baik. Di sanalah dia dibesarkan dan menghabiskan separuh hidupnya. Kembali ke sana bukanlah sesuatu yang dia inginkan."Aku mengerti," katanya pelan, mengangguk pelan. "N
Saat kabut pagi perlahan menghilang dari lembah yang baru saja mereka lewati, udara dingin masih terasa menggigit di sepanjang perjalanan menuju Kota Yueliang. Suara derap kaki kuda memecah keheningan jalan yang diselimuti embun pagi. Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu memulai perjalanan mereka, sementara lembah di kejauhan masih dibalut oleh sisa kabut tipis yang melayang seperti tirai halus. Di sekitar mereka, dedaunan berkilau dengan sisa embun yang menyelimuti rerumputan. Di kejauhan, bayangan pegunungan semakin samar, membaur dengan awan rendah di cakrawala. Meski matahari sudah mulai terbit, suasana masih terasa dingin. Sementara itu Ye Hun dan Yingying tetap tinggal di rumah beroda, berusaha mencari penawar untuk racun bunga biru tujuh rupa serta meracik obat bagi penyakit dingin yang terus menggerogoti tubuh Junjie. "Lembah ini benar-benar diselimuti kabut, meski tak setebal di Bukit Hujan Kabut," gumam Junjie pelan, matanya menerawang, menelusuri garis lembah yang kini mul
“Siapa dirimu? Berani ikut campur urusan kami?” Pemimpin prajurit itu berteriak, suaranya menggema keras di dalam kedai yang mendadak hening. Tatapannya memicing tajam pada Junjie, berusaha menilai niat di balik doupeng putih yang menyembunyikan wajah pria itu.Junjie, dengan tenang, meneguk tehnya yang beraroma wangi, meletakkan cangkir porselen kembali ke atas meja dengan suara lembut, seolah tak ingin mengganggu suasana. Perlahan, ia berdiri, gerakannya tenang dan terukur, seakan menyimpan ketenangan yang tak tergerus oleh ketegangan di sekelilingnya. Di sampingnya, murid Sekte Pedang Langit berdiri tegak di samping Song Mingyu, jelas cemas dan tak tenang, matanya berkeliling penuh ketakutan. Ren Hui, satu-satunya yang tetap duduk, tampak tidak terganggu sedikit pun, sementara para tamu lain hanya terdiam, memilih untuk menyaksikan dalam diam, tubuh mereka kaku karena takut terlibat.“Pasukan Penjaga Kekaisaran bertugas menjaga keamanan kaisar,” Junjie
“Bocah sialan!” Pemimpin prajurit itu berteriak dengan kemarahan yang menggema di seluruh kedai. Matanya berkilat-kilat marah saat menyaksikan para prajuritnya tergeletak tak berdaya di lantai. Tanpa berpikir panjang, dia menerjang ke arah pemuda yang menjadi pusat kericuhan.Dengan loncatan yang tinggi, pemimpin prajurit itu melesat melewati Ren Hui dan kawan-kawannya yang tengah menikmati teh di sudut kedai. Para tamu lain segera berhamburan keluar, berusaha menghindari masalah dengan Pasukan Penjaga Kekaisaran yang terkenal akan arogansinya. Namun, beberapa orang tetap tinggal, menikmati kekacauan sambil berbisik-bisik, bergosip.“Ah, sungguh keterlaluan,” Junjie mendengus pelan, kepalanya mendongak malas saat melihat pemimpin prajurit itu terbang di atas mereka, tanpa rasa segan.Junjie dengan santai meraih sumpit dari meja, memutarnya perlahan di tangannya. Gerakannya kian cepat, matanya tetap tenang. Dalam sekejap, sumpit itu mele
“Guru!” Lan Ning berseru, napasnya tercekat melihat sosok berambut putih yang berdiri tegak di ambang pintu kedai. Hanfu dan jubah putihnya berkibar lembut, seolah ikut menari bersama angin musim semi. Rambut peraknya terurai seperti untaian sutra, berkilauan saat sinar matahari senja menyentuhnya, menciptakan aura memikat yang sulit diabaikan."Aiyo, Nona Bu Hui!" Pemilik kedai dan beberapa pengunjung yang berkerumun segera berlari menghampirinya. Mereka menundukkan badan penuh hormat, sementara suara riuh yang sebelumnya memenuhi ruangan mendadak mereda, digantikan oleh desis kagum yang pelan namun jelas terdengar.Ren Hui, yang berdiri di sudut ruangan, tertegun melihat kemunculan Bu Hui. Pandangannya menyapu wajah wanita itu dengan cepat, lalu beralih ke Junjie di sampingnya. Tapi Junjie hanya berdiri santai, tak terganggu sedikit pun oleh kehadiran Bu Hui yang jelas membawa hawa dingin. Tanpa sepatah kata, Ren Hui maju beberapa la
Langit masih gelap ketika Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Udara pagi menyelusup dingin, sementara kabut tipis menggantung di atas jalan-jalan berbatu Kota Yinyue yang masih sunyi. Cahaya pertama dari matahari baru saja muncul di ufuk timur, memercikkan semburat lembut keemasan di langit kelabu. Kuda-kuda mereka menderap pelan, memecah keheningan yang menyelimuti kota. Di belakang mereka, penginapan yang baru saja mereka tinggalkan mulai terbangun dari tidur panjangnya. Suara derit pintu kayu yang terbuka, diiringi sapaan pengawal malam yang saling berbalas, berbaur dengan angin pagi yang sejuk.Di siang harinya, Lan Ning dan Bu Hui mengunjungi kedai yang sama. Pemilik kedai, dengan senyum ramah, memberitahukan bahwa ketiga pria yang mereka cari telah berangkat sejak pagi buta. Lan Ning menghela napas, menyesali kesempatan yang terlewat untuk mengucapkan terima kasih kepada pria-pria misterius itu, terutama Ren Hui,
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam