Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota Baiyun
Chu Wang berdiri tegak di dalam gazebo, memandang jauh ke Taman Cahaya Salju yang seluruhnya diselimuti lapisan salju tebal. Pohon-pohon plum pucat menjulang diam, ranting-rantingnya yang kurus tertutupi putihnya embun beku. Batu-batu setapak yang berkelok-kelok di antara taman tampak seperti mutiara yang terselip di balik tirai salju.Udara musim dingin yang tajam mengiris kulit, namun sosok Chu Wang tetap kokoh, tidak tergerak oleh dinginnya. Mantel merah anggurnya berkibar lembut terkena angin, memperkuat kesan wibawa dan keteguhan yang terpancar dari dirinya.Di belakangnya, Mo Yuan berdiri dengan kepala tertunduk, tampak enggan untuk mengangkat wajah. Kesetiaan bawahannya itu tak perlu dipertanyakan, namun hari ini ada keraguan yang tergantung di udara, mungkin karena kabar penting yang baru saja dilaporkannya dari perbatasan Utara. Ketegangan yang tak kasatmata menyelinap di antara serpihan salju yaKota JinshanSalju turun semakin deras selama beberapa hari terakhir, menutupi Kota Jinshan dengan selimut putih yang tak berujung. Ren Hui, Junjie, Ye Hun, dan Baihua terkurung di dalam rumah beroda, terjebak oleh cuaca yang tak bersahabat. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa serpihan es yang mengetuk-ngetuk jendela, seolah mencoba menerobos masuk ke dalam kehangatan rumah beroda mereka. Di luar, hanya ada kesunyian yang menggantung berat, memantulkan kesendirian kota yang tertutup salju."Membosankan," keluh Junjie, suaranya rendah namun cukup untuk terdengar jelas di dalam ruangan. Ia duduk dengan malas di kursi kayu yang sudah usang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja seakan berharap ritme monoton itu bisa mengusir kekosongan yang ia rasakan.Tatapannya kosong, tenggelam dalam kebosanan yang dalam, sementara wajahnya memancarkan ketidakpedulian pada apa pun yang terjadi di sekitarnya.Ye Hun meliriknya sekilas
Beberapa hari berlalu, dan cuaca mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Meski sesekali salju masih turun, intensitasnya jauh berkurang. Ren Hui, seperti biasa, mengendarai rumah beroda mereka, keluar perlahan dari hamparan salju yang memutih.Rumah beroda itu berderak pelan, memecah keheningan di atas jalan setapak yang dilapisi salju tipis. Kuda-kuda yang menarik rumah beroda berlari pelan, meninggalkan jejak samar di atas salju yang lembut. Gemerincing lonceng di leher kuda-kuda itu terdengar lembut, berpadu harmonis dengan irama langkah kaki mereka. Suara-suara itu bagai alunan musik yang menyertai perjalanan mereka, menghidupkan suasana yang tenang namun penuh pesona.Di sepanjang jalan, rumah-rumah penduduk mulai tampak. Beberapa anak kecil berlarian keluar rumah, tertarik oleh suara lonceng dan derap kuda yang seolah menjadi melodi musim dingin. Ren Hui, dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya, melambaikan tangan kepada mereka."Anak-
Desa Empat Musim Perjalanan mereka bertiga terus berlanjut, melintasi hutan yang sunyi, ladang beku, dan pedesaan yang tertutup kabut musim dingin. Salju putih melapisi segala sesuatu, menciptakan suasana yang terkadang sunyi, dingin, dan monoton. Namun, di antara kelesuan alam, keindahan yang menakjubkan muncul tanpa diduga—pohon-pohon membeku dalam jaring embun es, danau-danau kecil memantulkan langit kelabu yang menyatu dengan tanah dan sinar matahari sesekali menerangi sepanjang waktu meski redup. Pagi itu, matahari bersinar lebih cerah. Burung-burung mulai berkicau dengan riang, seolah menyambut datangnya musim semi yang perlahan mendekat. Angin yang biasanya menusuk kini hanya berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan tunas-tunas muda yang mulai tersembunyi di balik salju yang mencair. “Hah, ini cukup bagus,” gumam Ren Hui sambil mengaduk isi kuali dengan hati-hati. Aroma bubur yang sedang dimasaknya mulai memenuhi udara pagi
Junjie memandang Song Mingyu yang masih memeluk Ren Hui erat, seakan tak ingin melepaskannya. Ekspresi Junjie bercampur antara geli dan bingung, tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis melihat pemandangan ini. Pria tampan yang dikenal malas itu sepertinya sudah terbiasa dengan tingkah kekanak-kanakan Song Mingyu. Dengan napas panjang, ia menatap Ren Hui yang hanya membalas dengan senyum kecut. "Apakah Nyonya Su Yang mengizinkanmu meninggalkan Paviliun Pinus Hijau?" tanya Ren Hui dengan nada santai, perlahan melonggarkan pelukan Song Mingyu seolah adegan itu bukan hal baru. Song Mingyu hanya menyunggingkan senyum masam, lalu duduk di hadapan Junjie. "Melihat senyummu, kupikir saat ini Nyonya Su Yang sedang sibuk memarahi para pelayanmu," ucap Ren Hui sambil terkekeh kecil. Tanpa aba-aba, ia memukul lembut kepala Song Mingyu dengan nampan, membuat suasana semakin akrab. Song Mingyu masih tersenyum masam, lalu dengan tenang mengambil c
Paviliun Yueliang, Kota Yueliang Kabut masih menyelimuti Bukit Hujan Kabut meski salju telah mencair, dan sinar matahari yang hangat kini mulai menggantikan suasana dingin. Meskipun perubahan musim terjadi di tempat lain, atmosfer di Bukit Hujan Kabut tak pernah terpengaruh. Begitu pula dengan Desa Empat Musim, yang tetap hijau nan segar bahkan di musim dingin. Di sini, kabut seakan menjadi penanda waktu, menahan segala perubahan dan menciptakan keabadian dalam keheningan. Di dalam sebuah kediaman yang nyaman, dua wanita cantik duduk berhadapan, dikelilingi oleh aroma teh yang harum dan berbagai camilan menggoda yang terhidang di atas meja. Sebatang dupa membara mengeluarkan asap tipis beraroma bunga lotus yang menenangkan, memenuhi ruangan dengan nuansa kedamaian. Wei Jin dan Dongfang Yu, dua di antara tiga majikan Paviliun Yueliang, sedang terlibat dalam percakapan serius. "Bagaimana dengan persiapan pelelangan nanti?" tanya Wei Jin, matanya tajam meneliti wajah cantik di hada
Desa Empat Musim, Kota YinyueRen Hui, Junjie, dan Song Mingyu menatap Ye Hun dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Wanita itu mengeluarkan bunga-bunga berwarna merah darah dari keranjang bambu yang dibawanya saat berpamitan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa embun pagi yang masih menempel di dedaunan."Apa ini?" tanya Junjie, seraya mengambil setangkai bunga merah darah itu dan mengamatinya dengan seksama. Bagi Junjie, bunga ini tampak seperti bunga biasa, tak ada yang istimewa dibandingkan dengan bunga-bunga lain yang sering ia temui.Namun, tidak demikian dengan Song Mingyu. Dia lebih tertarik menatap Ye Hun, yang kini duduk di hadapannya dengan tatapan tenang. Dia masih sulit untuk mempercayai bahwa wanita ini kini dalam keadaan sehat. Dahulu, wanita ini terbaring di dalam peti mati giok lavender, seolah berada dalam keadaan mati suri.Sementara itu, Ren Hui memilih
Beberapa hari berlalu dengan tenang, sementara udara musim semi semakin terasa lembut menyentuh setiap sudut Desa Empat Musim. Perlahan, sisa-sisa salju yang tersisa di tanah mulai menguap, menghilang tanpa jejak. Kehijauan desa yang memang abadi sepanjang tahun kini terasa lebih hidup. Tunas-tunas baru dan bunga-bunga mulai bermunculan dan bermekaran, menyelipkan warna-warna lembut di antara pepohonan yang sunyi.Di tengah suasana desa yang mulai bergairah kembali, Ye Hun, yang pernah lama tinggal di tempat ini, menghabiskan waktu dengan berkeliling. Kehadiran Yue Yingying, tabib yang merawat Junjie, yang baru saja tiba beberapa hari lalu, membuatnya merasa lebih nyaman. Tak lagi ada rasa kesepian yang dulu sering menyelimuti hari-harinya. Kini, mereka berdua sering kali berjalan bersama-sama, menyusuri hutan untuk mencari herbal yang tumbuh liar di sekitar desa."Apakah menurutmu ada kaitan antara bunga bi’an Huan dan bunga biru tujuh rupa?" suara lemb
"Pondok Bambu Ungu?" Ren Hui dan Junjie serentak bertanya kepada dua wanita cantik yang duduk di hadapan mereka. Yingying dan Ye Hun mengangguk bersamaan, tatapan mereka serius. Sementara itu, Song Mingyu hanya menatap mereka silih berganti, kebingungan dengan percakapan yang terjadi, matanya melirik sekeliling, merasakan ketegangan yang menguar."Ren Hui, menurut Ye Hun, hanya di Pondok Bambu Ungu bunga biru tujuh rupa pernah tumbuh. Mungkin saja masih ada sisa, meski sedikit, atau ada petunjuk lain untuk mendapatkan penawar racunnya," kata Yingying, nadanya hati-hati, matanya meneliti wajah Ren Hui dengan penuh pertimbangan.Ren Hui menghela napas dalam-dalam, jiwanya seolah terombang-ambing oleh kenangan. Tempat itu, Pondok Bambu Ungu, adalah tempat yang ia kenal baik—terlalu baik. Di sanalah dia dibesarkan dan menghabiskan separuh hidupnya. Kembali ke sana bukanlah sesuatu yang dia inginkan."Aku mengerti," katanya pelan, mengangguk pelan. "N
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam