Kediaman Pinus Hijau, Kota Lingyun
Di tengah deru angin yang membawa butiran salju tipis, Kediaman Pinus Hijau terlihat sunyi dan damai, seolah terlelap di bawah naungan musim dingin. Di antara ranting-ranting pinus yang tertutup salju, Song Mingyu berlatih tanpa henti. Setiap tebasan dan ayunan pedangnya terarah, mengalir bagaikan air yang menari di atas sungai beku. Udara dingin menggigit kulit, namun Mingyu tidak peduli.Peluh tipis menetes dari dahinya, bercampur dengan salju yang jatuh pelan-pelan, namun konsentrasinya tetap utuh pada jurus-jurus yang telah diajarkan oleh Junjie.Di halaman terbuka, pemandangan musim dingin yang sunyi terasa seolah terpahat dalam lukisan indah, sementara langkah-langkah kakinya mengusik ketenangan salju. Pedang Naga Langit di tangannya berkilau lemah, terpantul cahaya langit yang suram."Apakah itu… Pedang Naga Langit?" Suara lembut namun tegas memecah keheningan. Dari beranda, Nyonya Su Yang berdiri anggunKota Jinshan, meski diselimuti musim dingin yang semakin mencekam, tetap hidup dengan denyut keramaiannya. Di sepanjang jalan, pedagang dan pengunjung berlalu-lalang, menciptakan simfoni langkah kaki dan tawa yang membaur dengan angin dingin. Udara yang menusuk tulang tak mampu memadamkan semangat kota ini—sebuah tempat yang makmur berkat kekayaan tambangnya. Ren Hui dan Junjie melangkah tenang di antara kerumunan, baru saja menagih pembayaran arak di salah satu restoran terbesar di kota.Junjie menarik napas dalam, merasakan udara dingin menelusup di balik tirai doupeng putih yang menutupi wajahnya. "Penduduk kota ini masih saja royal seperti dahulu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Meski jauh dari ibu kota, ia tetap berhati-hati. Jinshan mungkin tampak seperti kota kecil, namun selalu ada kemungkinan wajahnya dikenali sebagai Pangeran Yongle."Hasil tambang membuat mereka kaya raya," sahut Ren Hui ringan, nada suaranya penuh kehangatan, seakan-akan
Ren Hui masih menggenggam erat tangan Junjie, menariknya dengan langkah terburu-buru ke suatu tempat. Di hadapan mereka, sebuah papan kayu besar bertuliskan Paviliun Tambang Berharga berdiri kokoh, menghiasi pintu bangunan megah dengan huruf-huruf yang terukir tegas dan indah. Langkah Ren Hui terhenti di sana, tepat di depan pintu masuk.Keduanya mendongak, menatap papan nama yang terasa begitu akrab. Kenangan lama menyelinap ke dalam benak mereka. Beberapa tahun silam, mereka pernah membuat kekacauan di tempat ini—nyaris menghancurkan segalanya. Namun, dengan kecerdikan dan negosiasi yang tak terduga, mereka berhasil menyelamatkan situasi, berujung pada kesepakatan yang justru menguntungkan semua pihak."Sudah waktunya mengunjungi kawan lama," Ren Hui berbisik, melirik ke arah Junjie. Senyumnya lebar, seringai jahil tergambar jelas di wajahnya. Junjie hanya mendesah panjang sebagai jawaban. Tanpa peringatan, ia menginjak kaki Ren Hui dengan tegas.
Pelayan itu membawa Junjie dan Ren Hui menuju bagian dalam toko. Suasana di dalam ruangan terasa lengang, namun ada sentuhan kehangatan dari aroma kayu tua dan lilin yang memancarkan cahaya lembut. Udara terasa sedikit pengap karena ruangan yang tidak memiliki jendela. Junjie dan Ren Hui menatap sekeliling, memori lama muncul kembali di benak mereka."Tempat ini tidak banyak berubah," bisik Ren Hui, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Junjie mengangguk pelan. "Jangan bicara terlalu banyak," balasnya lirih, hampir tidak terdengar."Tuan, silakan masuk," ucap pelayan itu dengan sopan, menghentikan langkah di sudut ruangan. Dengan lincah, ia membuka pintu kayu di ujung ruangan. Ren Hui dan Junjie saling bertukar pandang, sejenak merasakan keraguan yang mulai menyergap benak mereka."Ada Tuan Yang di dalam, bersama beberapa tamu lain yang tertarik pada batu berharga itu," lanjut pelayan menjelaskan, seakan ingin menghapus keraguan yang terlihat dari
Ren Hui dan Junjie berjalan perlahan di sepanjang jalan kota yang kini hampir sunyi. Hujan salju turun dengan lebat, butir-butir putih itu menari di udara sebelum akhirnya menumpuk di jalanan, membuat langkah mereka tertahan. Angin dingin menghembus tajam, menusuk hingga ke tulang, memaksa mereka untuk memperlambat langkah dan akhirnya memutuskan berhenti di sebuah kedai teh kecil di tepi jalan.“Kita berteduh di sini,” ujar Ren Hui, sambil mengibaskan salju yang melekat di mantelnya. Suaranya terdengar serak oleh dingin, tetapi tetap hangat di tengah suasana beku.Begitu memasuki kedai, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari tempat itu, mereka bisa melihat jalanan yang perlahan tertutup selimut putih salju. Ren Hui menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir tanah liat, uap tipis mengepul di udara dingin ruangan itu. Dia menyodorkan satu cangkir kepada Junjie.“Junjie, kau tak perlu ikut pelelangan batu kristal itu,” ucap Ren Hui, suaranya lemb
Bu Hui memandang tiga sosok yang berjalan beriringan, ditemani seekor rubah putih melangkah dengan lincah. Hatinya terasa tergerak, bayang-bayang masa lalu seketika membanjiri benaknya, menyelusup ke dalam relung yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Sebuah senyum samar terbit di bibirnya tanpa ia sadari. "Rasanya seperti melihat kalian bertiga lagi, seperti dahulu," gumamnya, suara lembutnya nyaris tersapu desiran angin beku yang berhembus sepoi-sepoi. Tatapannya tak lepas dari ketiga sosok itu, langkah mereka semakin jauh hingga menghilang di tikungan, lenyap ditelan kabut salju yang kian pekat. Bu Hui menarik napas panjang, menutup matanya sejenak, meresapi kesepian yang mendera hatinya. Saat ia mendongakkan kepala ke langit kelabu, udara dingin yang menusuk tulang menyeruak ke dalam paru-parunya, membuat hatinya terasa semakin membeku. Perlahan, ia membuka mata kembali, membiarkan bayangan ketiga orang yang tersisa tadi memenuhi bena
Paviliun Melodi Bambu Desir angin dingin mengalir lembut di antara batang-batang bambu yang tumbuh rapat di Komplek Istana Musim Semi. Salju tipis melapisi batang hijau itu, menghasilkan gesekan halus yang terdengar seperti melodi seruling bambu, membawa keheningan yang menenangkan. Di tengah-tengah rumpun bambu, berdiri Paviliun Melodi Bambu, kediaman Putri Tian Xing Hui. Paviliun ini, meski berjarak jauh dari Istana Seribu Bunga, menawarkan ketenangan yang didambakan oleh putri dari mendiang Gui Fei, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan istana.Pagi itu, suasana paviliun terasa hening, seperti hari-hari sebelumnya. Para pelayan bekerja dengan diam, menyapu salju dari jalan setapak dan memastikan setiap sudut bersih. Paviliun ini memang jarang dikunjungi, kecuali oleh beberapa orang kepercayaan, termasuk Kasim Zheng dan Chu Wang. Bahkan Kaisar jarang menemuinya, menjadikan sang putri terbiasa dengan kesendirian yang damai."Kasim Zheng, a
Pondok Bambu Hijau, Desa YehuaDi dalam Pondok Bambu Hijau, suasana terasa hening, ketenangan menyelusup hingga ke setiap sudut ruangan. Hanya suara lembut aliran teh yang dituangkan ke dalam cangkir porselen yang memecah keheningan. Nyonya Gao, seorang wanita anggun dengan mantel merah anggur, duduk tenang di sisi meja rendah, menyesap tehnya perlahan. Gerakan tangannya lembut dan penuh keanggunan, seolah setiap tegukan dirancang dengan hati-hati.Aroma melati yang samar mengisi udara, memperkuat aura tenteram yang mengelilinginya. Di hadapannya, Wen Rou, pria berhanfu hitam, menundukkan kepala dengan penuh hormat, sikapnya memancarkan kesopanan yang nyaris tanpa cela."Wen Rou, ada sesuatu yang perlu kau laporkan padaku?" Suara Nyonya Gao mengalun halus, nyaris seperti angin lembut yang menyapu dedaunan bambu di luar. Nada suaranya tenang namun tegas, memecah keheningan yang menyelimuti.Wen Rou mengangkat kepalanya sejenak, namun segera kembali
Kota Jinshan Tungku perapian di sudut ruangan menyala terang, api menghangatkan suasana yang semula dingin. Hawa hangatnya menyebar perlahan, meresap ke dalam setiap celah rumah beroda itu, menciptakan kontras yang tajam dengan keadaan di luar. Hujan salju deras terus mengguyur tanpa henti, melapisi padang rumput yang mengelilingi mereka dengan selimut putih tebal, membuat pemandangan berubah menjadi hamparan padang salju yang sunyi. Gundukan-gundukan memutih terbentuk dalam sekejap, mengubur segalanya di bawah keheningan musim dingin.Di dalam ruangan yang nyaman, Ye Hun duduk di kursi rendah, tangannya terampil memegang jarum dan selembar kain, menjahit sebuah gaun untuknya sendiri. Di hadapannya, Junjie duduk malas di meja, dagunya bertopang di tangan, matanya setengah terpejam. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti seseorang yang betah tenggelam dalam kemalasan, menikmati ketenangan tanpa peduli pada dunia luar. Di bawah ca