Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Paviliun Tambang Berharga

Share

Paviliun Tambang Berharga

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-18 15:00:39

Ren Hui masih menggenggam erat tangan Junjie, menariknya dengan langkah terburu-buru ke suatu tempat. Di hadapan mereka, sebuah papan kayu besar bertuliskan Paviliun Tambang Berharga berdiri kokoh, menghiasi pintu bangunan megah dengan huruf-huruf yang terukir tegas dan indah. Langkah Ren Hui terhenti di sana, tepat di depan pintu masuk.

Keduanya mendongak, menatap papan nama yang terasa begitu akrab. Kenangan lama menyelinap ke dalam benak mereka. Beberapa tahun silam, mereka pernah membuat kekacauan di tempat ini—nyaris menghancurkan segalanya. Namun, dengan kecerdikan dan negosiasi yang tak terduga, mereka berhasil menyelamatkan situasi, berujung pada kesepakatan yang justru menguntungkan semua pihak.

"Sudah waktunya mengunjungi kawan lama," Ren Hui berbisik, melirik ke arah Junjie. Senyumnya lebar, seringai jahil tergambar jelas di wajahnya.

Junjie hanya mendesah panjang sebagai jawaban. Tanpa peringatan, ia menginjak kaki Ren Hui dengan tegas.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kristal Bintang Ilusi

    Pelayan itu membawa Junjie dan Ren Hui menuju bagian dalam toko. Suasana di dalam ruangan terasa lengang, namun ada sentuhan kehangatan dari aroma kayu tua dan lilin yang memancarkan cahaya lembut. Udara terasa sedikit pengap karena ruangan yang tidak memiliki jendela. Junjie dan Ren Hui menatap sekeliling, memori lama muncul kembali di benak mereka."Tempat ini tidak banyak berubah," bisik Ren Hui, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Junjie mengangguk pelan. "Jangan bicara terlalu banyak," balasnya lirih, hampir tidak terdengar."Tuan, silakan masuk," ucap pelayan itu dengan sopan, menghentikan langkah di sudut ruangan. Dengan lincah, ia membuka pintu kayu di ujung ruangan. Ren Hui dan Junjie saling bertukar pandang, sejenak merasakan keraguan yang mulai menyergap benak mereka."Ada Tuan Yang di dalam, bersama beberapa tamu lain yang tertarik pada batu berharga itu," lanjut pelayan menjelaskan, seakan ingin menghapus keraguan yang terlihat dari

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Bawah Hujan Salju

    Ren Hui dan Junjie berjalan perlahan di sepanjang jalan kota yang kini hampir sunyi. Hujan salju turun dengan lebat, butir-butir putih itu menari di udara sebelum akhirnya menumpuk di jalanan, membuat langkah mereka tertahan. Angin dingin menghembus tajam, menusuk hingga ke tulang, memaksa mereka untuk memperlambat langkah dan akhirnya memutuskan berhenti di sebuah kedai teh kecil di tepi jalan.“Kita berteduh di sini,” ujar Ren Hui, sambil mengibaskan salju yang melekat di mantelnya. Suaranya terdengar serak oleh dingin, tetapi tetap hangat di tengah suasana beku.Begitu memasuki kedai, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari tempat itu, mereka bisa melihat jalanan yang perlahan tertutup selimut putih salju. Ren Hui menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir tanah liat, uap tipis mengepul di udara dingin ruangan itu. Dia menyodorkan satu cangkir kepada Junjie.“Junjie, kau tak perlu ikut pelelangan batu kristal itu,” ucap Ren Hui, suaranya lemb

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bu Hui

    Bu Hui memandang tiga sosok yang berjalan beriringan, ditemani seekor rubah putih melangkah dengan lincah. Hatinya terasa tergerak, bayang-bayang masa lalu seketika membanjiri benaknya, menyelusup ke dalam relung yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Sebuah senyum samar terbit di bibirnya tanpa ia sadari. "Rasanya seperti melihat kalian bertiga lagi, seperti dahulu," gumamnya, suara lembutnya nyaris tersapu desiran angin beku yang berhembus sepoi-sepoi. Tatapannya tak lepas dari ketiga sosok itu, langkah mereka semakin jauh hingga menghilang di tikungan, lenyap ditelan kabut salju yang kian pekat. Bu Hui menarik napas panjang, menutup matanya sejenak, meresapi kesepian yang mendera hatinya. Saat ia mendongakkan kepala ke langit kelabu, udara dingin yang menusuk tulang menyeruak ke dalam paru-parunya, membuat hatinya terasa semakin membeku. Perlahan, ia membuka mata kembali, membiarkan bayangan ketiga orang yang tersisa tadi memenuhi bena

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Paviliun Melodi Bambu Yang Damai

    Paviliun Melodi Bambu Desir angin dingin mengalir lembut di antara batang-batang bambu yang tumbuh rapat di Komplek Istana Musim Semi. Salju tipis melapisi batang hijau itu, menghasilkan gesekan halus yang terdengar seperti melodi seruling bambu, membawa keheningan yang menenangkan. Di tengah-tengah rumpun bambu, berdiri Paviliun Melodi Bambu, kediaman Putri Tian Xing Hui. Paviliun ini, meski berjarak jauh dari Istana Seribu Bunga, menawarkan ketenangan yang didambakan oleh putri dari mendiang Gui Fei, menjauhkan diri dari hiruk pikuk kehidupan istana.Pagi itu, suasana paviliun terasa hening, seperti hari-hari sebelumnya. Para pelayan bekerja dengan diam, menyapu salju dari jalan setapak dan memastikan setiap sudut bersih. Paviliun ini memang jarang dikunjungi, kecuali oleh beberapa orang kepercayaan, termasuk Kasim Zheng dan Chu Wang. Bahkan Kaisar jarang menemuinya, menjadikan sang putri terbiasa dengan kesendirian yang damai."Kasim Zheng, a

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar Yang Menghibur

    Pondok Bambu Hijau, Desa YehuaDi dalam Pondok Bambu Hijau, suasana terasa hening, ketenangan menyelusup hingga ke setiap sudut ruangan. Hanya suara lembut aliran teh yang dituangkan ke dalam cangkir porselen yang memecah keheningan. Nyonya Gao, seorang wanita anggun dengan mantel merah anggur, duduk tenang di sisi meja rendah, menyesap tehnya perlahan. Gerakan tangannya lembut dan penuh keanggunan, seolah setiap tegukan dirancang dengan hati-hati.Aroma melati yang samar mengisi udara, memperkuat aura tenteram yang mengelilinginya. Di hadapannya, Wen Rou, pria berhanfu hitam, menundukkan kepala dengan penuh hormat, sikapnya memancarkan kesopanan yang nyaris tanpa cela."Wen Rou, ada sesuatu yang perlu kau laporkan padaku?" Suara Nyonya Gao mengalun halus, nyaris seperti angin lembut yang menyapu dedaunan bambu di luar. Nada suaranya tenang namun tegas, memecah keheningan yang menyelimuti.Wen Rou mengangkat kepalanya sejenak, namun segera kembali

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pemalas

    Kota Jinshan Tungku perapian di sudut ruangan menyala terang, api menghangatkan suasana yang semula dingin. Hawa hangatnya menyebar perlahan, meresap ke dalam setiap celah rumah beroda itu, menciptakan kontras yang tajam dengan keadaan di luar. Hujan salju deras terus mengguyur tanpa henti, melapisi padang rumput yang mengelilingi mereka dengan selimut putih tebal, membuat pemandangan berubah menjadi hamparan padang salju yang sunyi. Gundukan-gundukan memutih terbentuk dalam sekejap, mengubur segalanya di bawah keheningan musim dingin.Di dalam ruangan yang nyaman, Ye Hun duduk di kursi rendah, tangannya terampil memegang jarum dan selembar kain, menjahit sebuah gaun untuknya sendiri. Di hadapannya, Junjie duduk malas di meja, dagunya bertopang di tangan, matanya setengah terpejam. Wajahnya tampak tenang, hampir tanpa ekspresi, seperti seseorang yang betah tenggelam dalam kemalasan, menikmati ketenangan tanpa peduli pada dunia luar. Di bawah ca

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-20
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Phoenix Dalam Sangkar Emas

    Kota Beifeng, Perbatasan UtaraSalju tebal menutupi setiap sudut Kota Beifeng, menyelimuti atap-atap rumah dan jalan-jalan sempit yang sepi. Udara dingin yang menggigit, menusuk hingga ke sumsum tulang, memaksa penduduk kota untuk bersembunyi di balik pintu-pintu kayu mereka. Kota kecil di perbatasan Utara Kekaisaran Shenguang ini adalah pemberhentian terakhir sebelum hamparan padang sabana yang luas, yang membentang tak berujung menuju gurun ganas Kekaisaran Beili.Angin utara berhembus tajam, mengangkat serpihan salju ke udara, mempertegas kesunyian kelabu yang menyelimuti. Langit berwarna abu-abu pucat, tak terlihat di mana awan berakhir dan tanah bersalju dimulai.Di sebuah kamar penginapan sederhana, seorang gadis duduk termenung di depan jendela, tubuhnya diselimuti mantel putih berlapis bulu mink merah muda. Meski bulu halus itu melekat di bahunya, kehangatan tetap terasa jauh, seolah-olah udara dingin berhasil menembus hingga ke dalam hat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Merepotkan

    Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunChu Wang berdiri tegak di dalam gazebo, memandang jauh ke Taman Cahaya Salju yang seluruhnya diselimuti lapisan salju tebal. Pohon-pohon plum pucat menjulang diam, ranting-rantingnya yang kurus tertutupi putihnya embun beku. Batu-batu setapak yang berkelok-kelok di antara taman tampak seperti mutiara yang terselip di balik tirai salju. Udara musim dingin yang tajam mengiris kulit, namun sosok Chu Wang tetap kokoh, tidak tergerak oleh dinginnya. Mantel merah anggurnya berkibar lembut terkena angin, memperkuat kesan wibawa dan keteguhan yang terpancar dari dirinya.Di belakangnya, Mo Yuan berdiri dengan kepala tertunduk, tampak enggan untuk mengangkat wajah. Kesetiaan bawahannya itu tak perlu dipertanyakan, namun hari ini ada keraguan yang tergantung di udara, mungkin karena kabar penting yang baru saja dilaporkannya dari perbatasan Utara. Ketegangan yang tak kasatmata menyelinap di antara serpihan salju ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Kembali

    Setelah cukup sibuk di dapur ditemani Miu Yue, Ren Hui membawa kelinci panggang dan sup kelinci yang sudah matang ke ruang tengah. Aroma gurih dari daging panggang dan rempah-rempah memenuhi udara, berpadu dengan hangatnya ruangan rumah beroda itu. Ia meletakkan piring dan bejana berisi sup beserta tungkunya di atas meja, mengatur semuanya dengan rapi."Junjie, ayo kita makan!" serunya kepada pria pemalas yang masih duduk bertopang dagu di dekat jendela, menatap keluar dengan pandangan kosong.Junjie menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri, meregangkan tubuhnya dengan gerakan malas. "Akhirnya," gumamnya. Meski dari pagi hanya duduk menulis balasan surat dan mengirimkannya lewat burung-burung merpati, tubuhnya terasa pegal-pegal."Jenderal Miu, Anda juga duduklah bersama kami," ujar Ren Hui ramah kepada wanita yang sejak tadi menemaninya di dapur.Miu Yue menatap Ren Hui, lalu mengangguk. "Aku tidak pandai urusan dapur," katanya sambil dudu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Baihua Dan Kelinci Buruannya

    Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Gelang Mutiara Malam

    Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ada Aku Di Sini

    Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Di Pasar Hóngshā

    Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pesona Ren Hui

    Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Kembali Untuk Diriku Sendiri

    Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Bi'an Hua

    Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jenderal Miu Mengunjungi Rumah Beroda

    Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J

DMCA.com Protection Status