Ren Hui berbalik dan kembali duduk di tepi tempat tidur. Dengan hati-hati, disentuhnya jari-jari Ye Hun yang tadi bergerak pelan, sebuah tanda kehidupan yang begitu ia nantikan. Namun, tidak ada gerakan lagi. Harapan yang sempat membuncah dalam hatinya lenyap seketika, seperti asap yang terbawa angin.
Desahan kecewa meluncur dari bibirnya. Ren Hui mengangkat perlahan lengan Ye Hun yang lemah, meletakkannya di atas dada wanita itu. Sekali lagi, matanya tertuju pada wajah cantik yang terlelap dalam tidur panjang.Namun, tatapan itu tidak menemukan kehidupan di balik kelopak mata tertutup itu, hanya keheningan yang dingin. Mendadak, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya menolak masuk ke dalam paru-parunya. Ia terbatuk-batuk sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri, melawan rasa sakit yang datang tiba-tiba.Pikirannya melayang kembali pada malam sebelumnya, saat ia berjuang mencari bahan-bahan obat untuk Junjie di Kolam Surga Mutiara. Udara dingJunjie berdiri di teras rumah beroda, matanya terpaku pada lautan luas yang membentang jauh di hadapannya. Matahari musim dingin yang pucat mulai merangkak ke barat, perlahan menghilang di balik cakrawala. Angin laut dingin membawa kepingan-kepingan salju yang berjatuhan seperti kristal kecil yang berkilauan di udara. Ia mengulurkan tangan, membiarkan kepingan-kepingan salju jatuh perlahan memenuhi telapak tangannya yang terbuka. Udara dingin membuatnya kebas, menyelimuti tubuhnya dalam lapisan dingin yang menggigit.Namun, Junjie tak peduli. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan salju semakin menebal di pundaknya, seolah beratnya tumpukan salju itu tak ada artinya dibandingkan beban pikiran yang sedang menggelayuti benaknya.Pikirannya melayang jauh, menembus waktu ke masa-masa yang kini hanya tinggal kenangan. Tidak selalu indah, mungkin, tetapi ada momen-momen yang terus menghantuinya. Kenangan yang tidak pernah bisa ia lupakan, meski tahu mereka tidak
Istana Naga, Ibukota BaiyunDi tengah megahnya kompleks Istana Awan, Istana Naga berdiri dengan penuh wibawa. Pilar-pilar raksasa berukir naga emas menyambut siapapun yang mendekat, memancarkan aura keagungan yang seolah tak tergoyahkan oleh waktu. Namun, di balik keindahan dan kemegahannya, tersembunyi kegelisahan mendalam. Kaisar Tianjian, penguasa Kekaisaran Shenguang, kini tengah murung, menyendiri di balik dinding tebal kediamannya.Sudah beberapa hari lamanya, ia menolak bertemu siapa pun. Peradilan dan sidang penting diserahkan kepada Perdana Menteri Kanan dan Kiri. Hanya bisikan ketakutan dan keraguan yang tersisa di aula megah, seiring Kaisar terkurung dalam pergulatan batin.“Benarkah itu dia?” Suara Kaisar Tianjian terdengar berat dan serak. Tatapannya tajam, menusuk sosok Kasim Zhou yang berlutut dengan penuh hormat di hadapannya. Mata Kaisar memancarkan keraguan dan harap, mencari secercah kebenaran di wajah kasim yang setia menemani
Kediaman Kedamaian Hati, Manor Chu, Ibukota BaiyunRaja An Bang berdiri di tengah gazebo, tubuhnya tegap, namun terlihat tenang. Tangan-tangannya terkepal di belakang punggung, tatapannya tertuju jauh ke depan, menyusuri keindahan Taman Cahaya Salju. Taman itu merupakan bagian dari Manor Chu, kediaman pribadi Perdana Menteri Kiri Chu Wang. Sinar matahari musim dingin menyeruak lembut melalui celah-celah dedaunan bambu hitam yang menjulang anggun, membentuk pelindung alami di sekeliling taman. Udara dingin yang menggigit kulit bercampur dengan aroma segar dari bunga plum yang mulai bermekaran, membawa kehangatan terselubung dalam wangi yang menggugah kenangan.Manor Chu, salah satu kediaman tertua di Ibukota Baiyun, kini tampak sunyi, seolah kehilangan gema kejayaan masa lalunya. Pernah, nama keluarga Chu disegani dan dibicarakan di setiap sudut istana. Namun kini, keluarga itu memilih menepi dari hiruk-pikuk kekuasaan. Mereka tidak lagi mengejar posisi at
Raja An Bang menatap Chu Wang dalam-dalam, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu yang terpendam di balik sorot tenangnya. "Aku rasa, kau pasti sudah mendengar tentang keberadaan Pangeran Yongle di Kota Chunyu," ucapnya perlahan. Setiap kata diucapkan dengan hati-hati, seolah membawa beban perasaan yang sulit dijelaskan.Chu Wang menanggapi dengan senyum samar yang sulit diterka maknanya. Dengan gerakan yang tenang, ia mulai membuka papan catur yang terletak di hadapannya, suara kayu papan yang bergesekan nyaris tak terdengar di tengah suasana tenang ruangan.Bidak-bidak catur perlahan ia tata, jari-jarinya bergerak lembut, menunjukkan ketenangan yang tak tergoyahkan. "Sepertinya tidak ada yang bisa disembunyikan dari Raja An Bang," sahutnya dengan nada santai. Tatapan matanya tetap fokus pada papan catur, seolah apa yang ia hadapi hanyalah permainan sederhana, padahal setiap langkah mengandung perhitungan cermat.Raja An Bang terkekeh pelan. Di balik kelu
Kota YuehaiRumah beroda berjalan perlahan, roda-rodanya menjejak salju tipis yang menyelimuti jalanan kota Yuehai. Ren Hui tidak terburu-buru memacu keempat kuda yang menarik rumah tersebut. Kabut tipis dan keheningan di kota yang dilanda musim dingin membuatnya lebih berhati-hati. Tak ada gunanya mengambil risiko di tengah cuaca seperti ini."Di depan ada pasar. Kita berhenti di sana. Apakah kau setuju, Junjie?" serunya kepada pria tampan yang duduk di ruang tengah, bersandar dengan santai pada kursinya."Baiklah!" Junjie berseru dengan riang. Senyumnya merekah, lalu menoleh menatap wanita cantik di hadapannya. "Ye Hun, aku akan mengajakmu berkeliling pasar," katanya lembut.Wanita cantik itu terkejut. "Tidak perlu, Yang Mulia," sahutnya, suaranya tenang tapi penuh hormat, dan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam."Aiyo," Junjie mengeluh, lalu bertopang dagu dengan ekspresi malas. "Ye Hun, berapa kali kukatakan. Aku bukan lagi pangeran.
Ye Hun segera melangkah masuk ke dalam rumah beroda. Udara dingin yang menusuk membuatnya tidak ingin berlama-lama di luar. Namun, ada alasan lain yang lebih mendalam. Ren Hui—pria yang tampak sederhana, namun selalu menyisakan aura misteri yang tidak pernah bisa ia pahami—membuat pikirannya kacau.Setiap kali pandangannya bertemu dengannya, ingatan-ingatan yang tak utuh berkelebat, muncul dalam serpihan-serpihan acak, menggiringnya ke dalam pusaran kebingungan yang tak berujung. Kepalanya serasa hendak pecah, ditindih oleh kilasan-kilasan masa lalu yang saling tumpang tindih, menyesakkan batin. Rasa lelah yang menjalar bukan hanya dari tubuhnya, tapi juga dari jiwanya yang semakin rapuh, tersesat dalam laut kenangan yang terputus-putus, tanpa arah.Ren Hui menatap punggung Ye Hun yang menjauh tanpa sepatah kata. Ia mengerti bahwa ada sesuatu di antara mereka yang tertinggal, tersembunyi di balik kabut ingatan yang buram. Namun, ia tahu lebih baik untuk tidak memak
Menjelang malam, kota Yuehai semakin tenggelam dalam kesunyian. Udara dingin menyelimuti setiap sudut kota. Hanya suara derak rumah beroda yang samar-samar terdengar, menyatu dengan desir angin, ketika rumah menjauhi pasar yang kini sepi.Di pinggiran kota, mereka berhenti. Ladang sunyi terbentang luas, menyambut mereka dengan hamparan putih salju yang turun perlahan, menyelimuti tanah. Angin malam yang dingin berhembus, membawa gigitan tajam yang menembus kulit hingga ke tulang."Sepertinya malam ini akan semakin dingin," gumam Ren Hui pelan, tangannya bergerak terampil mengikat tali kuda dan menyelimuti mereka dengan kain tebal agar tidak kedinginan. Tatapannya sejenak tertuju pada langit yang mulai gelap, sebelum beralih ke Junjie dan Ye Hun yang telah bersiap di dalam rumah. "Kita istirahat di sini. Salju turun makin lebat."Di dalam rumah kecil beroda itu, tungku di tengah ruangan masih menyala, meski hanya bara yang tersisa. Bara api yang
Ren Hui berdiri tegak di atas atap rumah beroda, tubuhnya diterangi sinar bulan yang seolah memantulkan kilauan pedang panjang di tangannya. Di sekelilingnya, lawan-lawannya bersiap untuk menyerang. Udara malam yang dingin menyelubungi mereka.Rambut hitam Ren Hui yang tergerai panjang berkibar anggun, mengikuti irama angin malam yang dingin. Jubah putihnya pun terhempas angin, berkibar bak menari bersama kibaran rambut hitamnya. Di balik ketenangan penampilannya, ada kekuatan yang mendidih, siap meledak kapan saja.Tanpa memberi kesempatan bagi lawan-lawannya untuk bergerak lebih dulu, Ren Hui melesat maju dengan kecepatan kilat. Pedang di tangannya berkelebat, membelah udara dalam satu sapuan yang penuh kekuatan.Setiap tebasannya mengeluarkan angin panas, berdesir kuat seperti badai yang mengamuk. Jurus Pedang Surgawi yang ia kuasai berpadu sempurna dengan Pedang Musim Panas—dua teknik yang seakan menari bersama, menyulut kobaran api di setiap putaranny
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"