Dini hari, ketika fajar baru menyapa, rumah beroda milik Ren Hui akhirnya tiba di tepi pantai Kota Yuehai. Perjalanan panjang semalaman membuatnya sedikit letih, namun tekad kuat untuk segera mencari bahan-bahan obat bagi Ye Hun dan Junjie menggerakkannya untuk terus maju. Angin laut yang dingin menusuk kulit, tapi Ren Hui tak menggubris. Ia tak ingin membuang waktu.
Tiba-tiba, Junjie terbangun, mengusap matanya, dan telinganya menangkap suara debur ombak di kejauhan. Wajahnya yang lelah langsung berubah cerah. "Ren Hui! Aku mendengar ombak!" serunya gembira, bergegas menuju teras rumah beroda. Di sana, ia berdiri sejenak, menarik napas panjang, menghirup udara laut yang segar dan bersih.Ren Hui tersenyum melihat kegembiraan Junjie. "Kau seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat laut," katanya sambil tertawa ringan. "Aku akan menyiapkan sesuatu untuk sarapan. Udara dingin ini cocok untuk menikmati sesuatu yang hangat."Matahari baru saja muncul diRen Hui tersenyum, menatap sosok Junjie yang tampak anggun berdiri di teras rumah beroda. Ada keanggunan sejati dalam caranya memandang laut, ketenangan yang tak tergoyahkan oleh deru ombak. "Junjie, ayo turun ke pantai!" serunya, suaranya melayang di atas desiran angin pantai.Junjie, yang sedang memandangi Ren Hui dari kejauhan, sedikit tersentak dari lamunannya. Dia melihat Ren Hui yang melompat lincah ke atas batu karang, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Dalam hening sejenak, ia mempertimbangkan ajakan sahabatnya itu, lalu dengan ringan mengangguk, merasa tak ada alasan untuk menolak kebersamaan di pagi yang dingin namun cerah ini.Sebelum turun, Junjie menunduk, mengusap lembut kepala rubah putih milik Ren Hui, Baihua, yang setia duduk di sisinya. "Naiklah, jaga Ye Hun di atas," ucapnya lembut. Baihua, dengan patuh melesat seperti kilat, melesat menuju lantai atas rumah beroda.Setelah menutup pintu rumah beroda dan memastikan semua dalam kea
Aula Pedang, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueSalju turun lembut, menutupi setiap inci kediaman luas itu dengan selimut putih yang dingin. Angin musim dingin berhembus pelan, membawa butiran salju yang berputar-putar di udara. Aula Pedang berdiri sunyi, megah dalam kesendiriannya, menjadi saksi bisu atas kenangan-kenangan masa lalu yang perlahan terkubur di bawah lapisan es yang tebal.Di halaman yang pernah dipenuhi semangat para murid, hanya tampak satu-dua bayangan yang terburu-buru masuk ke dalam, menghindari gigitan dingin salju yang tak henti turun. Sekte Pedang Langit, yang dulu berdiri gagah sebagai sekte terbesar dan paling ditakuti di seluruh Kekaisaran Shengguan, kini sunyi, seolah membeku dalam kenangan.Sejak serbuan pasukan penjaga kekaisaran, Sekte Pedang Langit telah kehilangan segalanya. Tragedi yang berakhir dengan dieksekusinya Zhu Zijing, ketua sekte, dan gurunya yang terhormat, Guru Liuxing, adik kaisar sendiri. Kematian mereka memutus
Kediaman Bunga Peony, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueDi halaman kecil yang tenang, bunga peony bertebaran di tengah salju yang membeku, menciptakan pemandangan yang kontras. Para pelayan tampak sibuk, mondar-mandir membersihkan salju tebal yang menyelimuti jalan setapak. Setiap gerakan mereka seolah harmonis, tak ingin mengganggu keindahan yang sedang dinikmati oleh sang pemilik kediaman.Kediaman Bunga Peony, tempat Nona Xue Xue tinggal. Meski hanya seorang murid luar di Sekte Pedang Langit, sama seperti Ren Jie dan Ye Hun, kehadirannya tak bisa diremehkan. Dalam ketenangan, ia duduk di dekat jendela, menatap serpihan salju yang turun perlahan seperti kristal-kristal mungil dari langit kelabu. Udara dingin yang menyelinap masuk lewat celah-celah jendela tak mampu mengusik ketenangannya. Di luar, samar-samar terdengar suara pelayan yang terus bekerja, sementara di kejauhan, para murid berlatih di aula kecil. Semua itu berlalu di matanya seperti bayangan
Pantai Mutiara Bulan, Kota YuehaiDi bawah langit yang mulai berwarna tembaga, Junjie dan Ren Hui duduk di teras rumah beroda, menatap cakrawala. Gelombang laut menggulung pelan, seolah mengiringi sunyi yang merasuk di antara mereka. Beberapa hari terakhir, hari salju terus mengguyur, membuat mereka lebih banyak berdiam di dalam rumah. Hawa dingin yang menggigit membuat perjalanan keluar nyaris mustahil.Beruntung, satu-dua nelayan masih berani melaut meski hanya sebentar. Cuaca yang tidak menentu membuat mereka khawatir, tapi tetap datang menawarkan hasil tangkapan kepada Ren Hui dan Junjie. Ikan, cumi, dan teripang seringkali menghiasi meja makan mereka.“Kita punya persediaan yang cukup melimpah,” gumam Ren Hui sambil menatap tumpukan teripang yang sudah dikeringkan di teras. Junjie hanya mengangguk, meneguk arak api surgawi yang telah dipanaskan oleh Ren Hui. Cairan panas itu segera menghangatkan tenggorokannya, sedikit mengusir rasa dingin yang mengge
Ren Hui melangkah perlahan memasuki gua, diiringi Baihua yang setia menemaninya. Cahaya lentera yang ia bawa hanya mampu menerangi sedikit dari kegelapan pekat di dalam gua itu. Udara terasa lembap dan pengap. Batu-batu karang di bawah kakinya terasa keras dan kering, menandakan bahwa air laut tidak pernah mencapai tempat ini, bahkan ketika air pasang.“Kita ikuti saja arah hembusan angin, Baihua,” Ren Hui bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Suara itu beresonansi lembut dalam keheningan gua. Baihua, yang hanya bisa menguik pelan, mengikuti tanpa komentar, bulu putihnya menyala lembut dalam bayangan lentera.Mereka terus berjalan, menyusuri lorong gua yang semakin menanjak, hingga akhirnya tiba di sebuah ruang terbuka yang lebih luas. Dinding-dinding gua di sini berkilauan kehijauan, seperti permata tersembunyi yang memantulkan sinar lembut. Ren Hui mematikan lentera di tangannya, menghemat minyak, karena cahaya dari dinding cukup terang untuk membantu mer
Ren Hui duduk tenang di depan api unggun, matanya mengawasi nyala api yang meliuk-liuk seiring angin laut yang lembut memasuki gua. Dengan hati-hati, dia terus menambahkan rumput laut kering ke dalam kobaran api, menciptakan asap yang semakin tebal. Udara di dalam gua mulai mengental, dipenuhi aroma asin laut bercampur bau tanah lembap dan bara kayu basah. Udara semakin pengap, membuat napas terasa berat dan gerah.Beberapa kali, Ren Hui terbatuk. Suara serak keluar dari tenggorokannya, seolah menantang kesunyian yang menggantung di udara. Dia berdiri perlahan, menepuk-nepuk debu yang menempel pada jubahnya, lalu melangkah menjauhi api unggun yang mulai memudar."Baihua, bersembunyilah di sana," bisiknya pelan, matanya melirik ke arah rubah putih kecil yang setia di sampingnya. Dia menunjuk sebuah ceruk di sudut gua yang diterangi sinar kebiruan dari mutiara langka. Rubah itu, dengan gerakan lincah dan penuh waspada, segera berlari menuju tempat yang ditunjukkan, s
Burung Phoenix Api Laut terus terbang tinggi di langit, sayap-sayapnya mengepak lebar dan berkilauan, membawa Pedang Surgawi serta Ren Hui dalam cengkeraman cakarnya. Di bawah sana, Ren Hui memandang ke bawah dengan waspada. Baihua, rubah putihnya cerdas yang setia, tiba-tiba menyadari keanehan di udara. Ia keluar dari persembunyian, melolong keras, memecah keheningan gua, lalu berlari secepat kilat mengikuti arah burung itu terbang.“Baihua, tetaplah di sini! Aku akan kembali!” teriak Ren Hui dengan suara tegas, yang menggema di antara dinding-dinding gua batu.Baihua berhenti, telinganya berdiri tegak. Matanya menatap penuh kekhawatiran saat ia menatap langit-langit gua yang semakin jauh, seolah berharap Ren Hui segera kembali. Namun, rubah itu tahu, perintah tuannya adalah segalanya. Dengan enggan, Baihua melolong sekali lagi, lalu melangkah mundur, menyembunyikan dirinya kembali ke dalam bayang-bayang.Di udara, Ren Hui menguatkan cengkeraman
Ren Hui menatap burung Phoenix yang melayang anggun di udara, memekik lagi, seolah memanggilnya. Ren Hui melangkah perlahan-lahan mendekati burung tersebut, dan sesampainya di hadapannya, ia bertanya dengan lembut, “Lan Yan, ada apa?”Burung itu menundukkan kepalanya, tatapannya diarahkan ke bawah. Ren Hui mengikuti pandangannya ke pasir putih dan batu karang yang menjulang tinggi di depannya. Di sekelilingnya, sinar kebiruan dari beberapa batu karang memberikan penerangan samar, cukup untuk memperjelas apa yang ada di depannya. Batu karang itu terlihat biasa saja, tanpa tanda-tanda rahasia, tidak ada pintu tersembunyi seperti yang pernah ia temui sebelumnya. Dia memutar pandangan, memastikan tidak ada yang terlewat, sampai akhirnya matanya menemukan sebuah rongga kecil di sebelah batu karang tempat Lan Yan bertengger.“Kau ingin aku masuk ke sini?” tanyanya penuh keraguan. Lan Yan menganggukkan jambulnya dengan tegas, seolah-olah memberikan perintah. Ren
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam