Beberapa hari berlalu sejak insiden di turnamen bela diri yang berakhir dengan kekacauan. Dalam upaya memperbaiki citra dan menenangkan suasana, Tuan Wu Zhengting menawarkan kompensasi yang mencolok bagi empat petarung di babak final. Tak hanya itu, ia juga meminta maaf secara langsung kepada seluruh peserta, tamu, dan penonton, suatu tindakan yang tak diduga banyak orang.
Tak lama setelah itu, Tuan Wu menggelar festival musim gugur yang meriah di pusat kota Chunyu, terbuka untuk semua orang yang kebetulan berada di sana. Kemeriahan festival ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari insiden sebelumnya.Sikap ramah Tuan Wu dan kesediaannya mengakui bahwa dirinya pun tertipu membuat banyak pihak enggan memperpanjang masalah. Bahkan, ia dengan bijaksana untuk tidak menyalahkan pihak-pihak terkait seperti Sekte Pedang Langit dan Biro Kupu-kupu Emas. Akibatnya, suasana kembali damai dalam waktu singkat. Kisah peti mati giok lavender, yang sebelumnya menjadi sumberSuasana di dalam kereta yang ditumpangi Chu Wang dan Kasim Zheng terasa hening. Seolah angin malam yang dingin sengaja menghindari celah-celah jendela tertutup rapat. Aroma kayu cendana samar-samar tercium, mengisi ruang yang sempit namun mewah itu. Junjie duduk dengan tenang, berhadapan dengan Chu Wang. Untuk pertama kalinya, ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri kiri, pilihan Kaisar. Meski usia mereka tak terpaut jauh, dunia politik telah menjauhkan mereka dalam cara yang tak terucapkan. Dulu, mereka berdua belajar bersama di bawah asuhan Grand Tutor Liu, mempelajari seni pemerintahan dan strategi militer. Hari itu, meski bisa disebut sebuah reuni, pertemuan mereka dibayangi ketegangan. Situasi di Kota Chunyu yang mencekam membuat kepercayaan menjadi barang langka. Setiap orang, tanpa kecuali, saling mengawasi satu sama lain. Wajah Chu Wang yang tenang namun serius memecah keheningan.
Malam itu, bulan tampak malu-malu, tersembunyi di balik selimut awan kelabu. Ren Hui melangkah perlahan, nyaris tanpa suara di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap hembusan angin malam membawa aroma segar daun bambu, membelai wajahnya dan menggoyangkan ujung jubahnya dengan lembut, seakan menyambut kehadirannya di dalam keheningan.Saat ia mendekati rumah beroda itu, sinar lilin samar yang menerobos dari celah-celah jendela memberi pertanda bahwa seseorang masih terjaga. Di tengah keheningan, terdengar suara halus air yang mendidih, seolah ikut menjaga malam yang sunyi.Pintu terbuka perlahan, dan di dalam, Ren Hui mendapati Yingying, berdiri di depan tungku, merebus ramuan obat. Seperti biasanya, kesibukan sehari-harinya.“Yingying,” panggil Ren Hui lembut. Yingying menoleh, tersenyum tipis. “Kau akhirnya kembali. Aku sudah menunggumu,” jawabnya, lembut namun dingin. Ren Hui mendekat, matanya tertuju pada uap yang berputar keluar dari panci
Di dalam rumah beroda berdinding kayu tua, aroma rempah-rempah obat dan teh herbal bercampur di udara, menciptakan wewangian pahit yang menenangkan. Lentera yang tergantung berayun pelan, membentuk bayangan redup di dinding. Ren Hui duduk berhadapan dengan Chu Wang, di antara mereka asap teh tipis bergelung naik, mengisi udara dengan aroma dedaunan teh kering yang baru diseduh. Di sisi lain ruangan, Kasim Zheng berdiri cemas, mengawasi Yingying yang dengan hati-hati menyuapi Junjie, atau Pangeran Yongle, obat herbal dari mangkuk kayu.Dia tampak pucat, racun bunga salju yang bersarang di tubuhnya membuat penyakit dinginnya kambuh. Setiap hembusan napasnya terlihat, seolah musim dingin telah menyergap seluruh nadinya, meninggalkan jejak beku yang tak bisa ia hindari. Mantel tebal dan selimut beludru yang membungkusnya tak mampu menahan serbuan dingin yang merasuki sumsum tulangnya.“Kau tidak perlu khawatir, Kasim Zheng,” kata Yingying, suaranya
Putri Tian Xing Hui menatap ke dalam kegelapan hutan bambu yang semakin pekat di sekelilingnya. Langit senja telah lama berubah menjadi bayang-bayang kelam, dan hawa dingin yang menusuk mulai meresap ke setiap pori kulitnya. Dia sudah menunggu terlalu lama. Chu Wang dan Kasim Zheng belum juga kembali, dan perasaan cemas perlahan mengikat hatinya. Dengan napas tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka, ditemani oleh beberapa prajurit setia.Saat tiba di depan rumah beroda yang ditunjukkan salah seorang prajurit, Putri Tian Xing Hui langsung menerobos masuk. Aroma kayu lembap dan asap tipis bercampur di udara, menyapa indra penciumannya yang peka. Kasim Zheng menyambutnya dengan cepat, tetapi perhatian Tian Xing Hui segera tertuju pada sosok di sudut ruangan, terbaring tak berdaya di atas dipan sederhana.“Dia…” bibirnya bergetar, suara itu hampir tak terdengar.Tanpa berpikir panjang, dia berlari mendekat, berlutut di samping tempat
Musim gugur telah berlalu, meninggalkan jejak dinginnya di udara. Musim dingin datang menjelang. Di Hutan Bambu Emas Berbisik, pagi itu diwarnai keheningan ketika salju pertama turun.Setiap serpihan jatuh dengan lembut, membalut daun-daun bambudengan lapisan putih tipis yang bersinar samar di bawah sinar matahari yang redup. Udara semakin mendingin dan terasa sepi, seolah-olah alam enggan menyambut kedatangan musim baru.Di dalam rumah beroda yang hangat, Ren Hui dan Junjie duduk bersama, menikmati pemandangan salju yang turun untuk pertama kalinya di tahun ini . Ren Hui menghela napas, menceritakan kedatangan Putri Tian Xing Hui beberapa waktu lalu. Wajahnya terlihat sedikit cemas saat berbicara, terutama ketika dia mengutarakan kekhawatirannya akan kondisi Junjie.Junjie, dengan senyuman getir di wajahnya, merespons, “Gadis itu sudah dewasa sekarang. Dia bukan lagi bocah cilik yang bisa aku tipu begitu saja.” Ada nada getir dalam suaranya, namun juga ra
Keesokan paginya, seperti yang telah direncanakan, Ren Hui bersiap meninggalkan Hutan Bambu Emas Berbisik. Cahaya fajar yang menyelip di antara daun bambu berlapis salju, membentuk bayang-bayang halus di tumpukan tipis salju yang melapisi tanah, sementara suara angin berdesir bak bisikan-bisikan halus para peri. Sejak dini hari, dia sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan teliti. Perbekalan, menurutnya, adalah hal yang paling penting.Selama musim gugur yang lalu, Ren Hui sudah mengantisipasi hari ini. Dia telah membeli arang untuk perapian, bahan makanan yang cukup untuk beberapa minggu, selimut tebal, mantel berlapis, serta pakaian musim dingin yang hangat. Rumah berodanya pun tak luput dari perhatian—diperbaiki agar lebih hangat menghadapi musim dingin yang mulai menggigit. Semua itu dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Song Mingyu, setelah pemuda itu memenangkan turnamen bela diri yang digelar beberapa saat lalu dan berakhir ricuh. Ren Hui menerima hadiah i
Kediaman Pinus Hijau, Kota LingyunMusim dingin mulai menyelimuti Kota Lingyun dengan tenang. Butiran salju turun perlahan, menghiasi kediaman nan asri yang berdiri di atas tanah tinggi. Di dalam salah satu ruangan, Song Mingyu duduk di depan jendela, tatapannya menerawang jauh, memandangi dunia yang serba putih. Udara dingin tak mampu menembus jubah tebalnya, tetapi kehampaan di dalam hatinya terasa lebih beku daripada angin luar."Hari-hariku di sini begitu membosankan," gumamnya lirih, tangannya bermain-main dengan secarik kertas yang berisi kabar dari Junjie.Beberapa hari yang lalu, surat itu datang, membawa angin segar di tengah kebosanannya. Junjie memintanya untuk terus melatih jurus yang pernah diajarkannya. Namun, yang membuat Song Mingyu semakin tertarik adalah kabar bahwa Junjie dan Ren Hui kini tengah dalam perjalanan menuju Kota Yinyue. Kata Junjie, jika Mingyu hendak menyusul, dia harus segera berangkat ke sana."Yinyue?" Song Mingy
Musim dingin menyelimuti Paviliun Pinus Hijau. Butiran salju halus turun perlahan, menari-nari mengikuti arah angin yang menderu lembut di antara pepohonan pinus yang berjajar kokoh. Atap paviliun tertutupi lapisan salju tipis, menciptakan suasana damai yang menyiratkan kedalaman sunyi pada sore itu.Di dalam ruang utama, Nyonya Su Yang duduk anggun di kursinya. Jubah beludru biru tua yang ia kenakan dihiasi sulaman bunga lotus perak, bersinar lembut di bawah cahaya redup matahari sore. Di sampingnya, putranya, Song Mingyu, berdiri diam dengan sikap penuh hormat. Di hadapan mereka, Kasim Han, utusan dari istana, menundukkan kepala dalam-dalam. Namun, baik Nyonya Su Yang maupun Song Mingyu segera menyadari bahwa Kasim Han tidak datang sendirian. Di belakangnya, sekelompok penjaga kekaisaran dan beberapa pelayan berdiri dalam diam, terlihat lelah akibat perjalanan jauh yang mereka tempuh.“Kami memohon bantuan, Nyonya Su Yang,” Kasim Han memecah keheningan