Song Mingyu dan Junjie berjalan beriringan menelusuri jalanan berbatu yang membentang menuju Menara Pengawas Langit. Mereka melangkah dengan tenang, tanpa terburu-buru, angin pagi yang lembut mengibarkan jubah mereka, membawa aroma dedaunan musim gugur yang mengering. Saat melewati kedai teh, Junjie mengangkat tangannya, seolah mengisyaratkan agar mereka berhenti sejenak.
"Sepertinya aku harus menunggu di sini," kata Junjie, sambil melihat ke arah pintu kedai. “Kalau Ren Hui menyusul, dia pasti akan mencariku di sini.” Nada suaranya ringan, seperti biasa, menunjukkan bahwa ia tidak terburu-buru. Song Mingyu menatap sejenak ke arah menara yang menjulang, hanya beberapa langkah lagi. Dia mengangguk setuju, “Kedai ini memang strategis. Dari sini, kita bisa mengamati semuanya.” Song Mingyu kembali melanjutkan langkahnya menuju menara, setelah meninggalkan Junjie di kedai teh. Semakin dekat ia dengan menara, semakin jelas gemuruh para penontoDi panggung utama yang menjulang megah di tengah kerumunan, Wu Zhengting duduk dengan sikap tenang, tetapi penuh perhatian. Matanya yang setajam pedang sesekali menyapu arena, seolah menilai tiap gerakan yang terjadi di depannya. Di sampingnya, Meng Yi, orang kepercayaannya yang setia, duduk tegap, tatapannya fokus ke arah pertarungan yang baru saja dimulai. Suara denting pedang dan hembusan angin yang dihasilkan dari gerakan para pendekar terdengar begitu jelas, seolah mengiringi detak jantung penonton yang ikut berdebar. "Kenapa harus Kasim Zheng yang mewakili kekaisaran kali ini?" tanya Wu Zhengting, suaranya pelan namun tajam, seakan memotong kebisingan sekitar. Ada nada curiga yang samar, meski ia menutupi ekspresinya dengan baik. Matanya yang tajam menelisik wajah Meng Yi, mencari jawaban yang mungkin lebih dari sekadar kata-kata. Meng Yi tak mengubah ekspresinya, menjawab dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya, "Kasim Z
Song Mingyu berdiri di sudut teras menara, angin dingin yang datang dari dataran tinggi berputar-putar di sekitarnya, membuat ujung-ujung jubahnya melambai. Udara siang itu sejuk, membawa aroma bunga liar dan dedaunan berguguran yang khas. Matanya yang tajam menatap ke arah atap menara Chunyu, tempat pertempuran berlangsung dengan sengit. Pedang berbenturan, suara gemerincingnya bergema ke seluruh penjuru, seakan menantang langit. Sesekali, cahaya mentari memantul dari bilah pedang, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan. Pikiran Song Mingyu mulai tersesat dalam keraguan. Apakah dia harus turun tangan? Atau mungkin hanya menunggu waktu yang tepat? Namun, seketika lamunannya terpecah oleh suara yang memanggil dari kejauhan. "Anak muda, kau akan menunggu sampai kapan?" suara Lin Guiying terdengar jelas, disertai tawa pendek yang menyebalkan. "Apakah kau berpikir kami akan saling membunuh di sini?"
Song Mingyu mendarat dengan mulus di ujung atap menara, langkahnya nyaris tak bersuara di atas genteng. Ia menunduk, memandang ke bawah di mana Nyonya Sun Yang, ibunya, berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Wajah wanita itu memerah, amarahnya seakan mendidih di bawah kulitnya yang pucat diterangi sinar matahari. "Mingyu!" teriak Nyonya Sun Yang dengan suara tegas, suaranya menggema hingga ke menara-menara sekitarnya. "Apa kau pikir bisa lari dariku setelah apa yang kau lakukan?!" Song Mingyu menarik napas panjang, udara dingin terasa menusuk paru-parunya. Ia sadar, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkannya dari kemarahan ibunya. Dengan nada sedikit menyerah, ia menjawab, "Nanti, Ibu! Setelah turnamen ini selesai, aku akan jelaskan semuanya!" Suaranya bergema, menembus celah-celah atap yang mulai retak. Nyonya Sun Yang tampak ragu, bibirnya terkatup rapat sejenak, namun akhirnya ia berbalik dengan kesal. Pelayan setia
Song Mingyu mendongakkan kepalanya, menatap langit yang berpendar keemasan. Perlahan, sang surya bergerak ke barat, pertanda waktu mereka untuk bertarung di turnamen hampir habis. "Waktunya tak banyak lagi," bisiknya dalam hati, suaranya tenggelam dalam riak angin senja yang sejuk. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berdiri tegak, membulatkan tekad. Di depannya, He Tu dan Jia Delan, bertarung dengan intensitas yang memukau. Gerakan mereka begitu cepat, penuh tenaga, lincah namun elegan seperti angin yang berembus. Denting pedang mereka yang beradu menciptakan ritme tajam, harmonis dengan suara gemerisik hanfu yang menari-nari dalam tiupan angin. Setiap langkah mereka seperti bagian dari sebuah tarian maut yang indah. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Song Mingyu melesat ke udara dengan kecepatan yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah ringan, melayang di antara tiupan angin senja yang semakin dingin. Dengan satu gerakan yang anggun, ia menca
Wei Jin dan Qiao Yang berdiri diam di pinggir arena, menatap menara yang kini hanya tersisa separuh. Struktur yang dulunya megah itu telah roboh sebagian, menyisakan kerangka rapuh yang tampak renta di bawah langit yang mulai meredup. Di puncak menara, tiga pendekar terakhir dari turnamen masih berdiri tegap, meski atap tempat mereka berpijak sudah mulai retak dan tampak siap runtuh kapan saja.Wei Jin menghela napas pelan, matanya menyipit sambil mengamati dengan seksama. Ia bergumam, disertai tawa ringan, "Pedang Naga Langit dan Jurus Pedang Musim Panas... Hanya Pangeran Yongle yang bisa memberi kejutan sebesar itu."Di sampingnya, Qiao Yang, seorang wanita berparas anggun dengan hanfu hitam yang berkibar lembut tertiup angin sore, ikut tertawa. Suaranya lembut, namun tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. "Sepertinya kejutan yang lebih besar masih menanti kita. Aku tak sabar menantikan apa yang akan terjadi." Matanya yang berbinar melirik ke arah Wei Jin,
Sekali lagi Wei Jin dan Qiao Yang terpukau, meski seolah telah menduga apa yang akan terjadi, kejutan di hadapan mereka tetap melampaui harapan. Qiao Yang tersenyum tipis, melangkah anggun ke tengah halaman menara.Setiap pasang mata langsung tertuju padanya. Bahkan Tuan Wu Zhengting, yang selama ini tak tergoyahkan, sedikit menegang di panggung kehormatan. Kehadiran salah satu majikan Paviliun Yueliang ini jelas membawa atmosfer baru.Wu Zhengting, meski berusaha menjaga ketenangan, tak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya. Sosok Qiao Yang, dengan langkah ringan namun penuh keyakinan, memancarkan kekuatan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi."Teruslah bertarung hingga matahari benar-benar tenggelam!" Seru Qiao Yang kepada tiga pendekar di atas menara. Suaranya tenang, namun memancarkan wibawa.Tanpa banyak bicara, ia merentangkan tangannya, melemparkan selendang hitamnya ke arah menara. Selendang itu melesat ke udara dengan keang
Meng Yi bergerak secepat kilat, pedangnya melesat tajam, menangkis kipas putih yang hampir menebas leher Tuan Wu Zhengting. Suara denting logam terdengar jelas, menggetarkan udara di sekitarnya. Senjata lipat itu berputar kembali ke tangan pemiliknya, seakan tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Namun, tak ada waktu bagi Meng Yi untuk bernapas lega. "Prajurit! Kepung dia!" teriaknya, suaranya tegas menggema di tengah hiruk-pikuk. Mata Meng Yi bersinar tajam, penuh kewaspadaan, menyapu medan yang semakin dipenuhi prajurit yang berdatangan.Di panggung kehormatan, Kasim Zheng memberi isyarat cepat kepada penjaga kekaisaran. "Lindungi Putri Tian Xing Hui," bisiknya dengan nada penuh tekanan. Meskipun hatinya yakin sosok-sosok misterius itu tak berniat melukai sang Putri, kehati-hatiannya, yang sudah terpatri sejak lama, tak bisa ia abaikan. Matanya melirik Chu Wang yang duduk di sebelahnya, Perdana Menteri muda yang dikenal tenang dalam segala situasi. Chu W
Ren Hui berjalan terhuyung-huyung di bawah deretan pohon-pohon wisteria tua. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya seperti tertusuk ribuan jarum. Dadanya sesak, dan pandangannya perlahan mengabur. Dia tahu, tenaga dalam yang digunakannya telah memaksa racun bunga biru tujuh rupa untuk kembali bereaksi. Racun yang selama ini ditahannya, kini mulai mendominasi.Dia berhenti sejenak, bertumpu pada batang pohon wisteria yang kokoh. Mengangkat kepalanya, matanya menatap langit malam yang mulai pudar. Kilauan pelangi yang sempat menyala terang kini perlahan hilang, meninggalkan sisa-sisa warna yang perlahan memudar. Kelopak-kelopak bunga masih berjatuhan, meski tidak sederas sebelumnya. Setiap kelopak seakan membawa serpihan kenangan yang tak pernah kembali.Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. Ren Hui berbisik pelan, "Aku tak menyesal... menghibur Kota Chunyu. Meski kini tubuhku semakin melemah ..." Bisikannya terbawa angin, lenyap bersama sisa-sisa ma