Lantai empat belas, Menara Pengawas Langit
Song Mingyu tertegun saat tiba di lantai empat belas. Keringat membasahi dahinya setelah berjuang melawan jebakan dan terlibat dalam beberapa duel dengan peserta lain. Kini, ia berdiri di ambang lantai terakhir sebelum mencapai puncak menara. Seorang pria berhanfu hitam bersandar di sebuah tiang besar dan bersiul dengan santai. Dengan sebuah golok besar tersandang di punggung, pria itu menatap Song Mingyu dengan senyum meremehkan. “Kau orang keempat yang tiba di sini,” katanya terdengar dingin dan acuh tak acuh, “dan mungkin, yang terakhir.” Song Mingyu menelan ludah, merasakan tekanan yang tiba-tiba mencekam dadanya. Dari ratusan peserta turnamen yang memulai perjuangan dari babak pertama, ternyata hanya dia yang tersisa. Kenyataan ini membuatnya dihinggapi perasaan aneh, antara bangga dan cemas. Para pendekar lain yang berhasil sampai di lantai ini pasti adalah yang terkuat. Tangannya mengepalSong Mingyu berlari menyusuri halaman Menara Pengawas Langit, matanya mengamati sekeliling dengan cermat, mencari kedai teh yang disebut-sebut oleh Ren Hui dan Junjie. Angin lembut yang bertiup dari celah pepohonan membuat jubahnya berkibar halus, mengisi udara dengan aroma dedaunan segar. Meski demikian, pikirannya tak bisa lepas dari rasa cemas. Dia belum juga menemukan kedai yang dimaksud. Ketika kebingungan mulai menyelimuti pikirannya, seorang pemuda tanggung tiba-tiba muncul dari balik kerumunan dengan langkah cepat, mendekatinya tanpa ragu.“Apakah Anda Tuan Song Mingyu?” Pemuda itu menatapnya dengan tajam, sorot matanya seakan menembus lapisan jiwa Mingyu.Song Mingyu mengangguk perlahan. "Ya, benar. Ada apa?" tanyanya, sedikit waspada.“Saya membawa pesan dari Junjie,” ujar pemuda itu dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak penuh keseriusan. “Mereka menunggu Anda di hutan wisteria. Segera.”Mendengar pesan itu, dada Song Mingyu langs
Saat matahari terbenam, suasana kota Chunyu bergemuruh. Sorak sorai penduduk berpadu dengan tepukan tangan para pengunjung turnamen, menciptakan irama yang bergema di antara desau angin musim gugur. Dentang lonceng besar di menara, yang sudah lama tak terdengar, kini membahana, menggema di seluruh penjuru kota, menandai momen yang telah lama dinantikan. Di panggung utama yang menjulang megah, Tuan Wu Zhengting berdiri dengan postur tegap. Matanya yang tajam menelusuri kerumunan, penuh rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik ketenangannya. Jubah hitamnya yang berhiaskan benang emas berkibar lembut terkena angin, memberikan kesan sosok yang berwibawa dan misterius.Sekeliling panggung terasa seolah terputus dari hiruk pikuk kota. Di sana, hanya ada Tuan Wu dan orang kepercayaannya. Di luar panggung, hiruk pikuk suara warga dan pengunjung yang bertanya-tanya memenuhi udara, tetapi di atas panggung, hanya keheningan yang mendominasi. Seakan dua dunia yang terpisah o
Keesokan paginya, kota Chunyu dipenuhi suasana semarak. Pagi itu, langit membentang cerah, dan sinar matahari yang hangat menembus lembut kabut tipis yang masih menggantung di atas jalan-jalan berbatu. Udara pagi membawa aroma manis dari kue-kue festival yang baru dipanggang, bercampur dengan harum arak segar yang baru diseduh. Jalan-jalan dipadati penduduk kota dan pengunjung dari luar yang berbondong-bondong menuju Menara Pengawas Langit. Hari ini adalah puncak perayaan Festival Musim Gugur, dan yang paling dinantikan adalah pertarungan final dalam turnamen bela diri yang sudah lama menjadi pembicaraan. Di tengah hiruk-pikuk kerumunan, dua sosok tampak berjalan berdampingan, Song Mingyu dan Junjie. Tak seperti biasanya, kali ini mereka hanya berdua. Ren Hui, tidak ikut serta karena harus mengantarkan arak ke Toko Daiyu, namun berjanji akan menyusul kemudian. Song Mingyu mengenakan hanfu putih yang sederhana namun elegan, dan di pinggangny
Song Mingyu dan Junjie berjalan beriringan menelusuri jalanan berbatu yang membentang menuju Menara Pengawas Langit. Mereka melangkah dengan tenang, tanpa terburu-buru, angin pagi yang lembut mengibarkan jubah mereka, membawa aroma dedaunan musim gugur yang mengering. Saat melewati kedai teh, Junjie mengangkat tangannya, seolah mengisyaratkan agar mereka berhenti sejenak. "Sepertinya aku harus menunggu di sini," kata Junjie, sambil melihat ke arah pintu kedai. “Kalau Ren Hui menyusul, dia pasti akan mencariku di sini.” Nada suaranya ringan, seperti biasa, menunjukkan bahwa ia tidak terburu-buru. Song Mingyu menatap sejenak ke arah menara yang menjulang, hanya beberapa langkah lagi. Dia mengangguk setuju, “Kedai ini memang strategis. Dari sini, kita bisa mengamati semuanya.” Song Mingyu kembali melanjutkan langkahnya menuju menara, setelah meninggalkan Junjie di kedai teh. Semakin dekat ia dengan menara, semakin jelas gemuruh para penonto
Di panggung utama yang menjulang megah di tengah kerumunan, Wu Zhengting duduk dengan sikap tenang, tetapi penuh perhatian. Matanya yang setajam pedang sesekali menyapu arena, seolah menilai tiap gerakan yang terjadi di depannya. Di sampingnya, Meng Yi, orang kepercayaannya yang setia, duduk tegap, tatapannya fokus ke arah pertarungan yang baru saja dimulai. Suara denting pedang dan hembusan angin yang dihasilkan dari gerakan para pendekar terdengar begitu jelas, seolah mengiringi detak jantung penonton yang ikut berdebar. "Kenapa harus Kasim Zheng yang mewakili kekaisaran kali ini?" tanya Wu Zhengting, suaranya pelan namun tajam, seakan memotong kebisingan sekitar. Ada nada curiga yang samar, meski ia menutupi ekspresinya dengan baik. Matanya yang tajam menelisik wajah Meng Yi, mencari jawaban yang mungkin lebih dari sekadar kata-kata. Meng Yi tak mengubah ekspresinya, menjawab dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya, "Kasim Z
Song Mingyu berdiri di sudut teras menara, angin dingin yang datang dari dataran tinggi berputar-putar di sekitarnya, membuat ujung-ujung jubahnya melambai. Udara siang itu sejuk, membawa aroma bunga liar dan dedaunan berguguran yang khas. Matanya yang tajam menatap ke arah atap menara Chunyu, tempat pertempuran berlangsung dengan sengit. Pedang berbenturan, suara gemerincingnya bergema ke seluruh penjuru, seakan menantang langit. Sesekali, cahaya mentari memantul dari bilah pedang, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan. Pikiran Song Mingyu mulai tersesat dalam keraguan. Apakah dia harus turun tangan? Atau mungkin hanya menunggu waktu yang tepat? Namun, seketika lamunannya terpecah oleh suara yang memanggil dari kejauhan. "Anak muda, kau akan menunggu sampai kapan?" suara Lin Guiying terdengar jelas, disertai tawa pendek yang menyebalkan. "Apakah kau berpikir kami akan saling membunuh di sini?"
Song Mingyu mendarat dengan mulus di ujung atap menara, langkahnya nyaris tak bersuara di atas genteng. Ia menunduk, memandang ke bawah di mana Nyonya Sun Yang, ibunya, berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Wajah wanita itu memerah, amarahnya seakan mendidih di bawah kulitnya yang pucat diterangi sinar matahari. "Mingyu!" teriak Nyonya Sun Yang dengan suara tegas, suaranya menggema hingga ke menara-menara sekitarnya. "Apa kau pikir bisa lari dariku setelah apa yang kau lakukan?!" Song Mingyu menarik napas panjang, udara dingin terasa menusuk paru-parunya. Ia sadar, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkannya dari kemarahan ibunya. Dengan nada sedikit menyerah, ia menjawab, "Nanti, Ibu! Setelah turnamen ini selesai, aku akan jelaskan semuanya!" Suaranya bergema, menembus celah-celah atap yang mulai retak. Nyonya Sun Yang tampak ragu, bibirnya terkatup rapat sejenak, namun akhirnya ia berbalik dengan kesal. Pelayan setia
Song Mingyu mendongakkan kepalanya, menatap langit yang berpendar keemasan. Perlahan, sang surya bergerak ke barat, pertanda waktu mereka untuk bertarung di turnamen hampir habis. "Waktunya tak banyak lagi," bisiknya dalam hati, suaranya tenggelam dalam riak angin senja yang sejuk. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berdiri tegak, membulatkan tekad. Di depannya, He Tu dan Jia Delan, bertarung dengan intensitas yang memukau. Gerakan mereka begitu cepat, penuh tenaga, lincah namun elegan seperti angin yang berembus. Denting pedang mereka yang beradu menciptakan ritme tajam, harmonis dengan suara gemerisik hanfu yang menari-nari dalam tiupan angin. Setiap langkah mereka seperti bagian dari sebuah tarian maut yang indah. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Song Mingyu melesat ke udara dengan kecepatan yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah ringan, melayang di antara tiupan angin senja yang semakin dingin. Dengan satu gerakan yang anggun, ia menca
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh