Di kedai teh di tepi hutan wisteria, tak jauh dari Menara Pengawas Langit yang menjadi arena turnamen, Junjie dan Ren Hui duduk berhadap-hadapan, ditemani kehangatan teh bunga hujan yang harum menguap dari cangkir mereka.
Suasana kedai yang semula riuh kini mulai tenang. Hanya suara sesekali dari pelayan yang lalu lalang melayani tamu yang tak terlalu banyak. Ren Hui, dengan senyum tipis di wajahnya, memanggil seorang pelayan muda yang berdiri tak jauh dari meja mereka."Beritahu aku jika ada kabar terbaru dari turnamen," ujar Ren Hui sembari menyelipkan beberapa keping perak ke tangan si pelayan. Pelayan itu mengangguk cepat, wajahnya menampakkan keseriusan sebelum dia berbalik dan melangkah keluar kedai.Sementara itu, Junjie memandangi cangkir teh di tangannya, jari-jarinya yang lentik melingkari tepinya dengan santai. "Kau masih ingat, bukan? Turnamen musim semi tiga belas tahun lalu?" tanya Junjie, nadanya hangat tapi penuh arti.Ren Hui mengPaviliun Hujan Musim SemiDi balik kabut tipis yang mengambang lembut, menyelimuti atap-atap genteng Paviliun Hujan Musim Semi, angin musim semi berembus pelan, membawa keharuman bunga-bunga yang baru saja mekar. Tempat ini berdiri tenang di ujung utara kota, tepat di belakang Menara Pengawas Langit. Paviliun itu tampak sunyi, menjadi kontras yang sempurna dengan hiruk-pikuk yang memenuhi kota di sekelilingnya. Di salah satu halamannya, seorang gadis pelayan berlari tergesa-gesa, gaunnya berkibar dalam angin, menciptakan riak halus di udara."Nyonya... Tuan Muda... Song Mingyu...," serunya dengan napas tersengal, suaranya tertelan oleh kecemasan yang mendesak.Di ambang pintu, seorang wanita berdiri tenang dengan balutan hanfu hijau tua berpadu putih. Nyonya Su Yang, istri ketua kamar dagang Kekaisaran Shenguang, Song Yanzhu, memancarkan pesona yang memukau. Rambutnya tersanggul anggun, tetapi beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sekitar wajahnya yang
Lantai empat belas, Menara Pengawas Langit Song Mingyu tertegun saat tiba di lantai empat belas. Keringat membasahi dahinya setelah berjuang melawan jebakan dan terlibat dalam beberapa duel dengan peserta lain. Kini, ia berdiri di ambang lantai terakhir sebelum mencapai puncak menara. Seorang pria berhanfu hitam bersandar di sebuah tiang besar dan bersiul dengan santai. Dengan sebuah golok besar tersandang di punggung, pria itu menatap Song Mingyu dengan senyum meremehkan. “Kau orang keempat yang tiba di sini,” katanya terdengar dingin dan acuh tak acuh, “dan mungkin, yang terakhir.” Song Mingyu menelan ludah, merasakan tekanan yang tiba-tiba mencekam dadanya. Dari ratusan peserta turnamen yang memulai perjuangan dari babak pertama, ternyata hanya dia yang tersisa. Kenyataan ini membuatnya dihinggapi perasaan aneh, antara bangga dan cemas. Para pendekar lain yang berhasil sampai di lantai ini pasti adalah yang terkuat. Tangannya mengepal
Song Mingyu berlari menyusuri halaman Menara Pengawas Langit, matanya mengamati sekeliling dengan cermat, mencari kedai teh yang disebut-sebut oleh Ren Hui dan Junjie. Angin lembut yang bertiup dari celah pepohonan membuat jubahnya berkibar halus, mengisi udara dengan aroma dedaunan segar. Meski demikian, pikirannya tak bisa lepas dari rasa cemas. Dia belum juga menemukan kedai yang dimaksud. Ketika kebingungan mulai menyelimuti pikirannya, seorang pemuda tanggung tiba-tiba muncul dari balik kerumunan dengan langkah cepat, mendekatinya tanpa ragu.“Apakah Anda Tuan Song Mingyu?” Pemuda itu menatapnya dengan tajam, sorot matanya seakan menembus lapisan jiwa Mingyu.Song Mingyu mengangguk perlahan. "Ya, benar. Ada apa?" tanyanya, sedikit waspada.“Saya membawa pesan dari Junjie,” ujar pemuda itu dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak penuh keseriusan. “Mereka menunggu Anda di hutan wisteria. Segera.”Mendengar pesan itu, dada Song Mingyu langs
Saat matahari terbenam, suasana kota Chunyu bergemuruh. Sorak sorai penduduk berpadu dengan tepukan tangan para pengunjung turnamen, menciptakan irama yang bergema di antara desau angin musim gugur. Dentang lonceng besar di menara, yang sudah lama tak terdengar, kini membahana, menggema di seluruh penjuru kota, menandai momen yang telah lama dinantikan. Di panggung utama yang menjulang megah, Tuan Wu Zhengting berdiri dengan postur tegap. Matanya yang tajam menelusuri kerumunan, penuh rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik ketenangannya. Jubah hitamnya yang berhiaskan benang emas berkibar lembut terkena angin, memberikan kesan sosok yang berwibawa dan misterius.Sekeliling panggung terasa seolah terputus dari hiruk pikuk kota. Di sana, hanya ada Tuan Wu dan orang kepercayaannya. Di luar panggung, hiruk pikuk suara warga dan pengunjung yang bertanya-tanya memenuhi udara, tetapi di atas panggung, hanya keheningan yang mendominasi. Seakan dua dunia yang terpisah o
Keesokan paginya, kota Chunyu dipenuhi suasana semarak. Pagi itu, langit membentang cerah, dan sinar matahari yang hangat menembus lembut kabut tipis yang masih menggantung di atas jalan-jalan berbatu. Udara pagi membawa aroma manis dari kue-kue festival yang baru dipanggang, bercampur dengan harum arak segar yang baru diseduh. Jalan-jalan dipadati penduduk kota dan pengunjung dari luar yang berbondong-bondong menuju Menara Pengawas Langit. Hari ini adalah puncak perayaan Festival Musim Gugur, dan yang paling dinantikan adalah pertarungan final dalam turnamen bela diri yang sudah lama menjadi pembicaraan. Di tengah hiruk-pikuk kerumunan, dua sosok tampak berjalan berdampingan, Song Mingyu dan Junjie. Tak seperti biasanya, kali ini mereka hanya berdua. Ren Hui, tidak ikut serta karena harus mengantarkan arak ke Toko Daiyu, namun berjanji akan menyusul kemudian. Song Mingyu mengenakan hanfu putih yang sederhana namun elegan, dan di pinggangny
Song Mingyu dan Junjie berjalan beriringan menelusuri jalanan berbatu yang membentang menuju Menara Pengawas Langit. Mereka melangkah dengan tenang, tanpa terburu-buru, angin pagi yang lembut mengibarkan jubah mereka, membawa aroma dedaunan musim gugur yang mengering. Saat melewati kedai teh, Junjie mengangkat tangannya, seolah mengisyaratkan agar mereka berhenti sejenak. "Sepertinya aku harus menunggu di sini," kata Junjie, sambil melihat ke arah pintu kedai. “Kalau Ren Hui menyusul, dia pasti akan mencariku di sini.” Nada suaranya ringan, seperti biasa, menunjukkan bahwa ia tidak terburu-buru. Song Mingyu menatap sejenak ke arah menara yang menjulang, hanya beberapa langkah lagi. Dia mengangguk setuju, “Kedai ini memang strategis. Dari sini, kita bisa mengamati semuanya.” Song Mingyu kembali melanjutkan langkahnya menuju menara, setelah meninggalkan Junjie di kedai teh. Semakin dekat ia dengan menara, semakin jelas gemuruh para penonto
Di panggung utama yang menjulang megah di tengah kerumunan, Wu Zhengting duduk dengan sikap tenang, tetapi penuh perhatian. Matanya yang setajam pedang sesekali menyapu arena, seolah menilai tiap gerakan yang terjadi di depannya. Di sampingnya, Meng Yi, orang kepercayaannya yang setia, duduk tegap, tatapannya fokus ke arah pertarungan yang baru saja dimulai. Suara denting pedang dan hembusan angin yang dihasilkan dari gerakan para pendekar terdengar begitu jelas, seolah mengiringi detak jantung penonton yang ikut berdebar. "Kenapa harus Kasim Zheng yang mewakili kekaisaran kali ini?" tanya Wu Zhengting, suaranya pelan namun tajam, seakan memotong kebisingan sekitar. Ada nada curiga yang samar, meski ia menutupi ekspresinya dengan baik. Matanya yang tajam menelisik wajah Meng Yi, mencari jawaban yang mungkin lebih dari sekadar kata-kata. Meng Yi tak mengubah ekspresinya, menjawab dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya, "Kasim Z
Song Mingyu berdiri di sudut teras menara, angin dingin yang datang dari dataran tinggi berputar-putar di sekitarnya, membuat ujung-ujung jubahnya melambai. Udara siang itu sejuk, membawa aroma bunga liar dan dedaunan berguguran yang khas. Matanya yang tajam menatap ke arah atap menara Chunyu, tempat pertempuran berlangsung dengan sengit. Pedang berbenturan, suara gemerincingnya bergema ke seluruh penjuru, seakan menantang langit. Sesekali, cahaya mentari memantul dari bilah pedang, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan. Pikiran Song Mingyu mulai tersesat dalam keraguan. Apakah dia harus turun tangan? Atau mungkin hanya menunggu waktu yang tepat? Namun, seketika lamunannya terpecah oleh suara yang memanggil dari kejauhan. "Anak muda, kau akan menunggu sampai kapan?" suara Lin Guiying terdengar jelas, disertai tawa pendek yang menyebalkan. "Apakah kau berpikir kami akan saling membunuh di sini?"