Lembah Obat, beberapa bulan kemudian
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gubuk sederhana, menciptakan pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ren Jie terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Di kejauhan, terdengar alunan guqin yang merdu, berpadu dengan kicau burung yang seolah menyanyikan lagu alam. "Di mana ini?" gumamnya tak jelas. Bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, suara lembut seorang wanita menghentikannya. "Jangan bergerak terlalu banyak, tubuhmu belum pulih sepenuhnya," katanya dengan nada penuh perhatian. Ren Jie menoleh dan tertegun melihat seorang wanita duduk di ujung ruangan. Dia mengenakan caping bambu bercadar biru yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya yang lentik memetik senar guqin dengan keahlian yang memukau. "Kau sudah tidak sadarkan diri hampir satu bulan," lanjutnya tanpa menghentikan permainannya. Dengan suara serak, Ren Jie bertanya, "Di mana aku sekarang? Di mana Wan Jiang? Apa yang terjadi di Tianxia setelah pertarungan itu?" Wanita itu berhenti sejenak, menatap Ren Jie dari balik caping bercadarnya. "Aku tidak peduli dengan pertarungan raja pedang," jawabnya tenang. "Aku hanya menemukan mayat dan orang terluka. Aku memutuskan untuk membawa dan mengobati yang terluka, dan itu adalah dirimu." Ren Jie terdiam, merenungi kata-kata wanita itu. "Apa yang terjadi pada mayat Wang Jiang?" tanyanya kemudian, suaranya penuh kekhawatiran. Wanita itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya singkat. "Namun, sekarang dewa pedang Ren Jie tengah dicari karena telah membunuh Wang Jiang." Ren Jie hanya bisa terdiam. Tubuhnya yang lemah tak berdaya membuatnya merasa tak berdaya. Dia menatap langit-langit gubuk, mencoba memahami situasi yang dihadapinya. Di luar, alunan guqin dan kicau burung terus mengisi udara, seolah mengingatkannya bahwa dunia terus berputar meski dirinya terbaring tak berdaya. "Istirahatlah! Tubuhmu terluka parah dan tidak mudah bagiku untuk membuatmu tetap hidup hingga saat ini." Wanita bercaping dan bercadar itu meminta Ren Jie untuk kembali beristirahat. Ren Jie hanya bisa patuh padanya. Suara lembut namun tegas wanita itu membuatnya tak mampu membantah. Ia kembali berbaring di atas ranjang kayu beralas kain tebal, merasakan angin dingin yang merayap masuk melalui celah-celah dinding pondok. Hingga kembali lelap dan pulas dalam mimpi. Beberapa hari kemudian, Ren Jie sudah bisa bangun dan berjalan, meski tertatih-tatih. Setiap langkah terasa seperti ribuan jarum menusuk kakinya. Belum lagi tulang-tulangnya yang terasa remuk redam. Kondisi tubuhnya benar-benar memprihatinkan, jauh berbeda dengan sebelumnya. Wanita yang telah menolong dan merawatnya telah memberitahukan kondisinya saat ini. "Syaraf-syarafmu telah rusak. Begitu pun dengan dentianmu," katanya dengan nada penuh penyesalan. "Setelah satu bulan berusaha mengobatimu, aku hanya bisa membuatmu hidup seperti orang biasa tanpa ilmu beladiri," lanjutnya seraya meraih tangan Ren Jie untuk memeriksa denyut nadinya. Ren Jie tertegun dan terdiam. Dunia yang dikenalnya seakan runtuh dalam sekejap. Ia menatap wanita itu dengan rumit. Bingung, sedih, marah dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Sebagai seorang pendekar, kehilangan kemampuan ilmu beladiri merupakan sebuah kehancuran dan pukulan berat baginya. "Dan sangat kecil kemungkinan untuk mengembalikan kemampuan beladirimu seperti semula." Perlahan wanita bercaping bercadar itu melepaskan tekanan di pergelangan tangannya. "Ini milikmu." Wanita itu kemudian mengambil pedang dan juga sebuah hiasan pedang yang terbuat dari giok dari laci meja dan memberikannya padanya. "Aku menemukan perhiasan ini di genggamanmu," katanya sambil menatap dalam-dalam mata Ren Jie. "Kau menggenggamnya erat-erat saat aku menemukannya." Ren Jie menerima pedang dan hiasan giok itu dengan tangan gemetar. Ia merasakan dinginnya giok yang seakan menembus kulitnya, mengingatkannya pada masa lalu yang kini terasa begitu jauh. "Terima kasih," bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Wanita itu hanya mengangguk, lalu berbalik meninggalkan Ren Jie yang masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Beristirahatlah! Jika kau ingin menenangkan dirimu, berjalan-jalanlah di sekitar sini. Tempat ini aman," pesannya sebelum menghilang di balik pintu kayu. Di luar, angin berhembus lembut, membawa aroma bunga liar yang tumbuh di sekitar pondok. Tenang dan sunyi, sesunyi hati Ren Jie saat ini. Dia menatap pedang di tangannya, mengingat luka demi luka yang telah menggores tubuh lawannya bahkan hingga mereka kehilangan nyawa. Sebuah pedang yang merupakan pemberian mendiang gurunya. "Guru, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku datang ke Tianxia untuk mencari tahu penyebab kematianmu. Namun, justru diriku kehilangan segalanya." Ren Jie tergugu pelan. Dalam sekejap segala yang dimilikinya telah hilang. Gurunya dan kemampuan bela dirinya adalah kebanggaan dan harta dalam hidupnya. Kini semua telah terenggut tanpa tersisa. "Siapa di balik semua ini? Bahkan hingga harus melibatkan Wang Jiang? Konspirasi macam apa ini?" geramnya dalam hati seraya menggenggam erat-erat perhiasan pedang giok milik Wang Jiang. "Guru, Wan Jiang, aku berjanji akan mencari tahu dan membalaskan dendam kalian," gumamnya lagi. Ren Jie, sebenarnya bukanlah pendekar yang penuh ambisi. Dia hanya selalu berusaha untuk menjadi lebih kuat. Di usianya yang masih muda, dia telah mendapatkan gelar sebagai Dewa Pedang karena ilmu pedangnya diakui sebagai yang terhebat di Jianghu. Namun, saat ini, semua itu tidak berguna. Semua hanya tinggal sebuah kisah dalam kehidupannya. Seperti yang dikatakan wanita tadi, sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali kemampuan ilmu beladirinya seperti sediakala. Ren Jie benar-benar tak berdaya saat ini.Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperanga
Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi. "Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk d
Ren Hui sibuk mengaduk kuali di atas tungku. Dia memasak saus yang aroma lezatnya menguar, tercium hingga ke seluruh rumah beroda itu. Sedangkan daging dan iga babi tadi tengah dipanggangnya."Kau bisa membersihkan rumah bukan?" tanyanya pada Song Mingyu.Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih terpesona dengan rumah milik Ren Hui yang menurutnya unik dan aneh."Bersihkan semuanya, setelah itu kita makan bersama." Ren Hui mengibaskan tangannya. "Baihua, tunggu sebentar lagi. Tulang iga ini belum matang benar," lanjutnya pada sang rubah putih yang duduk di pintu dapur.Song Mingyu dengan enggan melaksanakan perintah Ren Hui. Dia mengambil kain yang tersampir di sandaran kursi. Untuk sesaat dia berdiri canggung di tengah ruangan. Memperhatikan isi rumah beroda itu.Rumah itu dapat dikatakan tanpa sekat, semua menyatu dalam satu selasar. Di ujung dekat tangga ada dapur kecil. Di ujung lain sepertinya difungsikan sebagai ruang belajar, menilik adanya sebuah lemari kayu di sala
"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan."Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui."Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu r
Beberapa hari berlalu, Song Mingyu sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan bersama Ren Hui di rumah berodanya. Awalnya, dia merasa kehidupan mereka sangat membosankan, hanya mengolah arak dan menjualnya di pasar."Ren Hui, apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu?" tanyanya suatu pagi, saat mereka bersama-sama pergi ke pasar untuk menjual arak seperti biasanya."Tidak," sahut Ren Hui singkat. Pria itu berjalan dengan santai di sebelahnya. Membiarkan Song Mingyu sendirian mendorong gerobak di jalan yang sedikit menanjak"Dia sama sekali tidak mau membantu," keluhnya dalam hati. Song Mingyu melirik pria yang kini bersiul-siul dengan riang.Ren Hui memiliki perawakan tinggi dan langsing. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sedangkan bibirnya sedikit pucat alami. Sepasang bola mata kecoklatannya dinaungi bulu mata yang lentik dan disempurnakan dengan hidung yang mancung."Kenapa dia nampak lebih cantik? Pantas saja bibi-bibi di sini tidak menyukainya. Mungkin dia dianggap
Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk."Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui me
Song Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel
Menjelang siang, Song Mingyu dan Ren Hui mendorong gerobak arak ke desa sebelah. Kali ini mereka tidak melewati jalan yang biasa mereka lewati. "Ren Hui, kenapa kau harus mengirimkan arak ke rumah kepala desa sebelah?" Song Mingyu bertanya karena merasa heran. Seingatnya, setelah perkelahian dengan orang-orang di pasar kemarin, tidak ada yang datang untuk memesan arak. "Dia sudah berlangganan arak padaku sejak lama. Setiap satu bulan sekali, aku akan mengirimkan arak meski tidak dimintanya." Ren Hui tersenyum tipis, menjelaskan keheranan pemuda itu. "Oh begitu!" Song Mingyu mengangguk mengerti. "Jauhkah rumahnya?" Song Mingyu kembali bertanya saat mereka sudah melewati jalan setapak yang menghubungkan padang rumput dengan pemukiman penduduk. "Di sana!" Ren Hui menunjuk pada sekumpulan rumah penduduk yang tak jauh dari jalan yang kini mereka lalui. "Sepertinya lebih ramai dari desa yang biasa kita lalui." Song Mingyu memicingkan mata, menatap sekumpulan rumah yang memang terli