Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi.
"Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk dengan santai di atas gerobak. "Entahlah, aku terbiasa hidup sendiri." Ren Hui meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. Paman Wang pun tersenyum sementara tangannya dengan cekatan memotong daging dan iga babi. "Ini untukmu!" Kemudian dia menyerahkan sepotong besar daging dan beberapa potong iga babi pada Ren Hui. "Aiyo, aku tidak memiliki uang, Paman." Ren Hui tersenyum kecut, tidak segera menerimanya. "Sudahlah, ambil saja. Anggap aku membayar arakmu waktu itu." Paman Wang menyorongkan daging dan tulang iga yang telah diikat rapi ke tangan Ren Hui. "Baiklah kalau begitu, Paman." Ren Hui menerimanya dan tersenyum canggung. Meski sejujurnya dia lebih senang jika dibayar dengan uang karena saat ini uangnya sudah semakin menipis. "Paman, aku pergi dulu!" serunya berpamitan dengan riang. Namun, baru saja hendak meninggalkan tempat itu, seorang wanita berdiri di hadapannya dan menatapnya tajam. "Mari, Bibi! Aku harus segera pulang, Baihua telah menungguku." Ren Hui buru-buru menjauh. Khawatir akan mendapatkan masalah karena wanita itu seperti tengah menghadangnya. "Apa kau sudah bayar?" tanya wanita itu saat Ren Hui hendak melewatinya. "Aiyo, Bibi. Paman Wang memberikan ini padaku untuk membayar arak waktu itu." Ren Hui menjelaskan sesuai dengan percakapannya dengan pedagang daging tadi. "Bagaimana bisa begitu? Dia yang hutang arak padamu, kenapa dibayar dengan dagingku?" Wanita mengomel-ngomel. Ren Hui menggaruk-garuk kepalanya dan bergegas pergi meninggalkannya. Dia tidak mau ribut dengan istri Paman Wang yang terkenal bawel dan galak. "Hei kau mau kemana? Kembalikan dagingku!" Wanita itu berteriak kesal padanya dan berkacak pinggang. "Terima kasih Bibi! Jadi hutang Paman Wang padaku hanya tinggal satu guci arak saja ya!" Ren Hui berseru, melangkah dengan santai meninggalkan pedagang daging dan istrinya yang masih mengomel-ngomel. "Dasar Kau, pedagang arak pelit, penyakitan, bujangan tidak laku. Pantas saja tidak ada gadis yang mau denganmu!" Wanita itu terus mengomel-ngomel tidak karuan. "Sudahlah istriku. Kita memang berhutang arak obat padanya. Lagi pula anak gadis kita sembuh setelah meminum araknya." Sementara suaminya sibuk membujuknya. Ren Hui hanya menggelengkan kepalanya dan kembali ke tempat Song Mingyu menunggu. Pemuda itu menatapnya heran. Sedari tadi dia memperhatikan semuanya dan menyadari satu hal, pedagang arak itu sangat perhitungan. "Kau ini," gumamnya saat Ren Hui datang dan memperlihatkan apa yang dibawanya. "Ayo kita pulang! Baihua sudah menunggu!" Ren Hui menepuk pundaknya dan berjalan mendahuluinya. Membiarkan Song Mingyu mendorong gerobaknya sendirian. "Baihua? Apakah istrimu?" tanyanya pelan. "Hei, bukankah kata Bibi tadi kau bujangan tua tidak laku?" Song Mingyu tertawa pelan. Ren Hui menoleh dan menatapnya tajam. Song Mingyu tertegun, tatapan Ren Hui tidak seramah tadi. Bukan sebuah tatapan orang yang tengah marah, lebih menusuk bak pedang tajam. Seketika dia merasa merinding. Namun, tiba-tiba saja pria itu memukul kepalanya. "Jalan saja, jangan banyak bertanya," sahutnya seraya berjalan mendahuluinya. Song Mingyu menyentuh kepalanya yang baru saja dipukul sembari menggerutu kesal. Mereka terus berjalan hingga keluar dari pasar. Menelusuri jalan tanah yang berdebu dan memasuki kawasan desa yang lumayan ramai. "Ren Hui, sepagi ini kau sudah kembali dari pasar?" Seorang pria tua menyapanya dengan ramah. Ren Hui menyahut dengan sopan dan ramah pula. Kemudian ada beberapa penduduk desa yang berpapasan dengan mereka dan juga menyapa serta menanyakan siapa pemuda yang bersamanya. Ren Hui hanya tersenyum, menjawab ala kadarnya dan terus berjalan. Setelah berjalan cukup lama, mereka berdua tiba di sebuah padang rumput di tepi sungai yang jernih. Nampak sebuah rumah yang berdiri di tengah padang rumput sepi itu. Song Mingyu terkejut melihat rumah yang menurutnya cukup aneh. Rumah itu beroda dan cukup besar, tampak seperti bisa berpindah tempat kapan saja. Empat ekor kuda tengah merumput di bawah pohon willow di tepi sungai. Tiba-tiba, seekor rubah berbulu putih berlari menyambut Ren Hui dengan gembira. "Baihua, lihat apa yang kubawakan untukmu?" Ren Hui tertawa dan menepuk-nepuk kepala rubah putih itu dengan lembut. "Ini rumahku," kata Ren Hui menunjuk dan menaiki tangga rumah beroda itu. "Dan dia teman setiaku, Baihua." Ren Hui menggerakkan jarinya dan berdecak pelan, membiarkan rubah putih mengikuti dirinya. Song Mingyu masih terpesona dengan rumah beroda itu. "Rumah ini... bisa bergerak?" tanyanya dengan mata berbinar. Dia tidak segera mengikuti Ren Hui masuk ke dalam rumah beroda itu. Ren Hui tertawa kecil. "Ya, rumah ini bisa berpindah tempat. Aku suka berkelana, jadi rumah ini sangat cocok untukku." Song Mingyu tersenyum, merasa semakin kagum dengan Ren Hui. "Kau benar-benar hidup bebas! Tidak salah rasanya jika dewa mempertemukan kita." Pemuda itu tertawa kemudian menyusul menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah beroda milik Ren Hui. "Dewa? Bukannya karena kau berhutang padaku?" Ren Hui tersenyum tipis. Dia meletakkan daging babi dari pedagang daging tadi ke dalam sebuah bejana dan mengambil air dari tong kayu untuk mencucinya. "Aiyo, anggap saja itu cara dewa mempertemukan kita." Song Mingyu tersenyum canggung. Ren Hui hanya menggedikkan bahunya dan kembali sibuk dengan daging babi dan tulang-tulang iga tadi.Ren Hui sibuk mengaduk kuali di atas tungku. Dia memasak saus yang aroma lezatnya menguar, tercium hingga ke seluruh rumah beroda itu. Sedangkan daging dan iga babi tadi tengah dipanggangnya."Kau bisa membersihkan rumah bukan?" tanyanya pada Song Mingyu.Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih terpesona dengan rumah milik Ren Hui yang menurutnya unik dan aneh."Bersihkan semuanya, setelah itu kita makan bersama." Ren Hui mengibaskan tangannya. "Baihua, tunggu sebentar lagi. Tulang iga ini belum matang benar," lanjutnya pada sang rubah putih yang duduk di pintu dapur.Song Mingyu dengan enggan melaksanakan perintah Ren Hui. Dia mengambil kain yang tersampir di sandaran kursi. Untuk sesaat dia berdiri canggung di tengah ruangan. Memperhatikan isi rumah beroda itu.Rumah itu dapat dikatakan tanpa sekat, semua menyatu dalam satu selasar. Di ujung dekat tangga ada dapur kecil. Di ujung lain sepertinya difungsikan sebagai ruang belajar, menilik adanya sebuah lemari kayu di sala
"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan."Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui."Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu r
Beberapa hari berlalu, Song Mingyu sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan bersama Ren Hui di rumah berodanya. Awalnya, dia merasa kehidupan mereka sangat membosankan, hanya mengolah arak dan menjualnya di pasar."Ren Hui, apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu?" tanyanya suatu pagi, saat mereka bersama-sama pergi ke pasar untuk menjual arak seperti biasanya."Tidak," sahut Ren Hui singkat. Pria itu berjalan dengan santai di sebelahnya. Membiarkan Song Mingyu sendirian mendorong gerobak di jalan yang sedikit menanjak"Dia sama sekali tidak mau membantu," keluhnya dalam hati. Song Mingyu melirik pria yang kini bersiul-siul dengan riang.Ren Hui memiliki perawakan tinggi dan langsing. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sedangkan bibirnya sedikit pucat alami. Sepasang bola mata kecoklatannya dinaungi bulu mata yang lentik dan disempurnakan dengan hidung yang mancung."Kenapa dia nampak lebih cantik? Pantas saja bibi-bibi di sini tidak menyukainya. Mungkin dia dianggap
Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk."Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui me
Song Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel
Menjelang siang, Song Mingyu dan Ren Hui mendorong gerobak arak ke desa sebelah. Kali ini mereka tidak melewati jalan yang biasa mereka lewati. "Ren Hui, kenapa kau harus mengirimkan arak ke rumah kepala desa sebelah?" Song Mingyu bertanya karena merasa heran. Seingatnya, setelah perkelahian dengan orang-orang di pasar kemarin, tidak ada yang datang untuk memesan arak. "Dia sudah berlangganan arak padaku sejak lama. Setiap satu bulan sekali, aku akan mengirimkan arak meski tidak dimintanya." Ren Hui tersenyum tipis, menjelaskan keheranan pemuda itu. "Oh begitu!" Song Mingyu mengangguk mengerti. "Jauhkah rumahnya?" Song Mingyu kembali bertanya saat mereka sudah melewati jalan setapak yang menghubungkan padang rumput dengan pemukiman penduduk. "Di sana!" Ren Hui menunjuk pada sekumpulan rumah penduduk yang tak jauh dari jalan yang kini mereka lalui. "Sepertinya lebih ramai dari desa yang biasa kita lalui." Song Mingyu memicingkan mata, menatap sekumpulan rumah yang memang terli
"Anak muda, bawa kemari gucinya!" Tabib tua itu memanggil Song Mingyu setelah puas mengomeli Ren Hui. Song Mingyu pun mendekati mereka dan memberikan guci-guci arak pada tabib itu. "Apakah semakin sulit untuk mencari bahan-bahannya?" Tabib tua itu bertanya pada Ren Hui. Dia menuangkan arak itu ke sebuah cangkir. Seketika aroma harum bercampur pedas yang menenangkan menguar ke seluruh ruangan. "Bantu aku!" pintanya pada Ren Hui. Ren Hui segera membantu tabib itu dengan mengangkat kepala sang gadis yang terbaring di tempat tidur. Sedangkan Tabib tua menyuapinya dengan air dari guci tadi. Perlahan-lahan gadis kecil itu menyesap arak dan mulai terbatuk-batuk. "Rong'er!" Nyonya Fu dan Tuan Muda Fu yang menunggu di luar kamar bergegas masuk. Mereka berhenti di ujung tempat tidur dan saling berpelukan, menatap gadis kecil itu dengan cemas. "Biarkan Nona Muda beristirahat." Tabib tua tersenyum lembut dan mengembalikan cangkir arak
Song Mingyu pun tersenyum canggung. Dia menendang kaki Ren Hui di bawah meja. Pemuda itu pun membalasnya. Dan pada akhirnya mereka berdua hanya bisa tersenyum canggung dan kikuk saat Nyonya dan Tuan Muda Fu menatap mereka berdua."Apa kau yakin?" Tuan Muda Fu kembali bertanya. Dia menatap Ren Hui dengan serius. Hingga Song Mingyu merasa Tuan Muda ini lebih mengkhawatirkan Ren Hui daripada kondisi adiknya."Tuan Muda, tenang saja." Ren Hui mengedipkan mata. Nyonya Fu yang memperhatikan mereka berdua seketika tersipu malu. Membuat Song Mingyu semakin bingung dengan tingkah orang-orang di sekitarnya ini termasuk sikap Ren Hui yang tidak seperti biasanya.Menjelang sore, mereka meninggalkan kediaman Keluarga Fu. Setelah sebelumnya Ren Hui dan Tuan Muda Fu bercakap-cakap dengan Tabib Wang. Entah apa yang mereka bicarakan, Song Mingyu tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dia lebih tertarik dengan suasana di kediam
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam
Ren Hui dan Junjie berdiri di tepi oasis, menatap kagum pada pemandangan yang tersaji di depan mereka. Air jernih yang memantulkan sinar matahari senja berkilauan seperti hamparan emas dan merah delima. Oasis di kota Hóngshā ini sungguh terlihat seperti permata yang berkilauan di tengah gurun pasir merah yang luas dan gersang."Indah sekali, bak bunga mawar merah keemasan," gumam Ren Hui, suaranya hampir tenggelam dalam lembutnya hembusan angin senja. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Junjie menoleh, memperhatikan Ren Hui yang berdiri di sampingnya. Meski panorama oasis begitu menakjubkan, pikirannya lebih terpaku pada sosok pria itu. Ren Hui, dengan jubah putih yang berkibar tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum yang terpancar alami, terlihat seperti bagian dari pemandangan itu sendiri—indah dan tak tergantikan."Aku tak menyangka ada sedikit kehidupan di tempat segersang ini," ujar Ren Hui, matanya menyapu area oasis yang mulai