Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Pedagang Arak Yang Misterius

Share

Pedagang Arak Yang Misterius

"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan.

"Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui.

"Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.

Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.

Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu rendah.

"Besok kita harus membeli guci-guci baru." Ren Hui berkata pelan seraya membuka tutup salah satu guci yang berada di dekat pintu.

"Harum," gumam Song Mingyu seraya mengendus-enduskan hidungnya. Aroma arak yang khas menguar dari guci yang dibuka Ren Hui.

"Ini arak buah plum." Ren Hui menjelaskan dan mengambil sebuah guci yang lebih kecil yang disimpan di rak bagian atas.

"Aku tidak memiliki cukup banyak persediaan guci karena rumahku ini tidak bisa untuk menyimpan terlalu barang." Ren Hui kembali berbicara dengan santai. Dia menuangkan sedikit arak dari guci tadi ke dalam guci yang lebih kecil.

"Maafkan aku telah memecahkan guci dan menumpahkan arak-arakmu tadi." Song Mingyu merasa sedikit menyesal atas perbuatannya tadi pagi di pasar.

"Untuk apa meminta maaf. Kau akan membayarnya bukan?" Ren Hui terkekeh pelan. Kemudian menutup guci arak tadi dan turun ke tanah.

"Aiyo," keluh Song Mingyu. Menyesali rasa ibanya pada pedagang arak itu barusan. Rasanya terlalu sia-sia jika harus mengasihani Ren Hui yang menurutnya selalu bisa mengambil keuntungan di setiap kesempatan.

"Ayo kita jalan-jalan ke sana." Ren Hui menunjuk ke arah sungai setelah menutup dan mengunci gudang arak.

Dia mengajak Song Mingyu berjalan-jalan di tepi sungai, diikuti oleh Baihua. Mereka menuju ke tempat kuda-kuda ditambatkan pada sebatang pohon plum tua.

"Apakah kuda-kuda ini yang menarik rumah berodamu itu?" Song Mingyu bertanya seraya membelai kepala salah seekor kuda. Kuda itu mendengus, tetapi diam saja dan tidak memberontak.

"Iya. Mereka kuda dari Utara yang sangat kuat. Terkadang ada satu dua petani yang meminjam kuda-kuda ini untuk menarik pedati atau kereta ke pasar atau ke kota terdekat." Ren Hui menjelaskan.

Setelah memastikan kuda-kudanya baik-baik saja, Ren Hui mengajak Song Mingyu pergi ke tepi sungai.

Ternyata, Ren Hui mengambil perangkap ikan yang dipasangnya tadi pagi sebelum pergi ke pasar.

"Untuk makan malam kita. Kau lebih suka ikan bakar atau ikan kukus?" tanyanya seraya menunjuk pada empat ekor ikan yang lumayan besar.

"Ikan kukus, yang dibumbui bawang putih, jahe, daun bawang dan minyak wijen," sahut Song Mingyu cepat. Tiba-tiba saja air liurnya hampir menetes. Sudah lama dia tidak makan makanan yang layak seperti halnya saat masih berada di manor.

"Kau pikir dirimu tuan muda. Saat ini kau hanya pelayanku. Ingat itu." Ren Hui memukul kepalanya pelan. Song Mingyu mengaduh kemudian tertawa. Dia berlari menyusul Ren Hui yang telah berjalan kembali ke rumah beroda mendahuluinya bersama Baihua.

Song Mingyu memperhatikan mereka berdua. Diam-diam, dia mencoba untuk memahami Ren Hui yang menurutnya sungguh aneh. Pedagang arak itu tidak seperti orang-orang desa umumnya. Meski sederhana dan selintas kehidupannya juga biasa-biasa saja, tetapi Song Mingyu merasakan sesuatu yang misterius di dalam diri Ren Hui.

Malam harinya, Sinar rembulan memancar lembut di tengah padang rumput yang sepi. Ren Hui dan Song Mingyu duduk bersama, menikmati makanan dan arak di luar. Di atas bonggol kayu tua yang berbentuk bulat dan sudah diratakan, sepiring ikan kukus, mi, sup Wonton dan sekendi arak menemani mereka.

"Kenapa kau melarikan diri rumahmu?" Ren Hui bertanya dengan santai.

"Ayahku ingin aku menikahi seorang jenderal wanita," sahutnya pelan. "Dia berpikir itu akan menguntungkan keluarga kita."

Ren Hui berhenti mengunyah dan menatap pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba saja dia tertawa pelan.

"Apa yang kau tertawakan?" Song Mingyu setengah berteriak kesal.

"Jenderal wanita?" Ren Hui bertanya dan tersenyum tipis.

"Iya. Jenderal Miu Yue," sahut Song Mingyu sambil lalu saja. Dia tidak terlalu peduli dengan rencana pernikahan yang sudah ditetapkan sang ayah untuknya.

"Miu Yue?" Ren Hui bergumam pelan. Dia meletakkan mangkok dan supitnya di atas meja kayu.

"Iya, dia jenderal wanita yang memimpin perang ke perbatasan menggantikan ayahnya. Dia sudah melewati masanya untuk menikah karena itu atas jasa-jasanya pada kekaisaran, Ibu Suri menghadiahinya dengan pernikahan dan beliau memilih Manor Song untuk menikahkan salah satu putranya." Song Mingyu menjelaskan lebih terperinci.

"Kenapa kau menolaknya? Bukankah cukup menguntungkan jika kau menikahinya? Setidaknya masa depanmu lebih terjamin." Ren Hui merasa heran dengan sikap Song Mingyu yang memilih melarikan diri dari pernikahan.

"Aku lebih suka hidup bebas, menjelajahi dunia luar, daripada terikat dalam pernikahan yang hanya untuk kepentingan politik." Song Mingyu menjawab dengan lugas.

Ren Hui tertawa, matanya berkilau di bawah cahaya rembulan. "Wanita, cinta, dan pernikahan adalah hal terumit yang tidak pernah aku mengerti," katanya dengan nada lembut.

Song Mingyu mengangguk, memahami bahwa Ren Hui yang hidup sendiri mungkin memiliki pandangan yang sama tentang pernikahan. "Kau benar," ujarnya.

Namun, rasa ingin tahu Song Mingyu tak terbendung. "Bagaimana dengan dirimu?" Dia bertanya setelah menghabiskan nasinya

"Aku hanya seorang pedagang arak yang menjalani hidup dengan cara yang aku pilih." Ren Hui menatap ke kejauhan, wajahnya penuh misteri. "Ayo kita bereskan semua ini dan beristirahat." Ren Hui berdiri dan menepuk bahunya, mengajaknya kembali ke rumah beroda untuk beristirahat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status