"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan.
"Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui. "Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua. Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya. Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu rendah. "Besok kita harus membeli guci-guci baru." Ren Hui berkata pelan seraya membuka tutup salah satu guci yang berada di dekat pintu. "Harum," gumam Song Mingyu seraya mengendus-enduskan hidungnya. Aroma arak yang khas menguar dari guci yang dibuka Ren Hui. "Ini arak buah plum." Ren Hui menjelaskan dan mengambil sebuah guci yang lebih kecil yang disimpan di rak bagian atas. "Aku tidak memiliki cukup banyak persediaan guci karena rumahku ini tidak bisa untuk menyimpan terlalu barang." Ren Hui kembali berbicara dengan santai. Dia menuangkan sedikit arak dari guci tadi ke dalam guci yang lebih kecil. "Maafkan aku telah memecahkan guci dan menumpahkan arak-arakmu tadi." Song Mingyu merasa sedikit menyesal atas perbuatannya tadi pagi di pasar. "Untuk apa meminta maaf. Kau akan membayarnya bukan?" Ren Hui terkekeh pelan. Kemudian menutup guci arak tadi dan turun ke tanah. "Aiyo," keluh Song Mingyu. Menyesali rasa ibanya pada pedagang arak itu barusan. Rasanya terlalu sia-sia jika harus mengasihani Ren Hui yang menurutnya selalu bisa mengambil keuntungan di setiap kesempatan. "Ayo kita jalan-jalan ke sana." Ren Hui menunjuk ke arah sungai setelah menutup dan mengunci gudang arak. Dia mengajak Song Mingyu berjalan-jalan di tepi sungai, diikuti oleh Baihua. Mereka menuju ke tempat kuda-kuda ditambatkan pada sebatang pohon plum tua. "Apakah kuda-kuda ini yang menarik rumah berodamu itu?" Song Mingyu bertanya seraya membelai kepala salah seekor kuda. Kuda itu mendengus, tetapi diam saja dan tidak memberontak. "Iya. Mereka kuda dari Utara yang sangat kuat. Terkadang ada satu dua petani yang meminjam kuda-kuda ini untuk menarik pedati atau kereta ke pasar atau ke kota terdekat." Ren Hui menjelaskan. Setelah memastikan kuda-kudanya baik-baik saja, Ren Hui mengajak Song Mingyu pergi ke tepi sungai. Ternyata, Ren Hui mengambil perangkap ikan yang dipasangnya tadi pagi sebelum pergi ke pasar. "Untuk makan malam kita. Kau lebih suka ikan bakar atau ikan kukus?" tanyanya seraya menunjuk pada empat ekor ikan yang lumayan besar. "Ikan kukus, yang dibumbui bawang putih, jahe, daun bawang dan minyak wijen," sahut Song Mingyu cepat. Tiba-tiba saja air liurnya hampir menetes. Sudah lama dia tidak makan makanan yang layak seperti halnya saat masih berada di manor. "Kau pikir dirimu tuan muda. Saat ini kau hanya pelayanku. Ingat itu." Ren Hui memukul kepalanya pelan. Song Mingyu mengaduh kemudian tertawa. Dia berlari menyusul Ren Hui yang telah berjalan kembali ke rumah beroda mendahuluinya bersama Baihua. Song Mingyu memperhatikan mereka berdua. Diam-diam, dia mencoba untuk memahami Ren Hui yang menurutnya sungguh aneh. Pedagang arak itu tidak seperti orang-orang desa umumnya. Meski sederhana dan selintas kehidupannya juga biasa-biasa saja, tetapi Song Mingyu merasakan sesuatu yang misterius di dalam diri Ren Hui. Malam harinya, Sinar rembulan memancar lembut di tengah padang rumput yang sepi. Ren Hui dan Song Mingyu duduk bersama, menikmati makanan dan arak di luar. Di atas bonggol kayu tua yang berbentuk bulat dan sudah diratakan, sepiring ikan kukus, mi, sup Wonton dan sekendi arak menemani mereka. "Kenapa kau melarikan diri rumahmu?" Ren Hui bertanya dengan santai. "Ayahku ingin aku menikahi seorang jenderal wanita," sahutnya pelan. "Dia berpikir itu akan menguntungkan keluarga kita." Ren Hui berhenti mengunyah dan menatap pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba saja dia tertawa pelan. "Apa yang kau tertawakan?" Song Mingyu setengah berteriak kesal. "Jenderal wanita?" Ren Hui bertanya dan tersenyum tipis. "Iya. Jenderal Miu Yue," sahut Song Mingyu sambil lalu saja. Dia tidak terlalu peduli dengan rencana pernikahan yang sudah ditetapkan sang ayah untuknya. "Miu Yue?" Ren Hui bergumam pelan. Dia meletakkan mangkok dan supitnya di atas meja kayu. "Iya, dia jenderal wanita yang memimpin perang ke perbatasan menggantikan ayahnya. Dia sudah melewati masanya untuk menikah karena itu atas jasa-jasanya pada kekaisaran, Ibu Suri menghadiahinya dengan pernikahan dan beliau memilih Manor Song untuk menikahkan salah satu putranya." Song Mingyu menjelaskan lebih terperinci. "Kenapa kau menolaknya? Bukankah cukup menguntungkan jika kau menikahinya? Setidaknya masa depanmu lebih terjamin." Ren Hui merasa heran dengan sikap Song Mingyu yang memilih melarikan diri dari pernikahan. "Aku lebih suka hidup bebas, menjelajahi dunia luar, daripada terikat dalam pernikahan yang hanya untuk kepentingan politik." Song Mingyu menjawab dengan lugas. Ren Hui tertawa, matanya berkilau di bawah cahaya rembulan. "Wanita, cinta, dan pernikahan adalah hal terumit yang tidak pernah aku mengerti," katanya dengan nada lembut. Song Mingyu mengangguk, memahami bahwa Ren Hui yang hidup sendiri mungkin memiliki pandangan yang sama tentang pernikahan. "Kau benar," ujarnya. Namun, rasa ingin tahu Song Mingyu tak terbendung. "Bagaimana dengan dirimu?" Dia bertanya setelah menghabiskan nasinya "Aku hanya seorang pedagang arak yang menjalani hidup dengan cara yang aku pilih." Ren Hui menatap ke kejauhan, wajahnya penuh misteri. "Ayo kita bereskan semua ini dan beristirahat." Ren Hui berdiri dan menepuk bahunya, mengajaknya kembali ke rumah beroda untuk beristirahat.Beberapa hari berlalu, Song Mingyu sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan bersama Ren Hui di rumah berodanya. Awalnya, dia merasa kehidupan mereka sangat membosankan, hanya mengolah arak dan menjualnya di pasar."Ren Hui, apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu?" tanyanya suatu pagi, saat mereka bersama-sama pergi ke pasar untuk menjual arak seperti biasanya."Tidak," sahut Ren Hui singkat. Pria itu berjalan dengan santai di sebelahnya. Membiarkan Song Mingyu sendirian mendorong gerobak di jalan yang sedikit menanjak"Dia sama sekali tidak mau membantu," keluhnya dalam hati. Song Mingyu melirik pria yang kini bersiul-siul dengan riang.Ren Hui memiliki perawakan tinggi dan langsing. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sedangkan bibirnya sedikit pucat alami. Sepasang bola mata kecoklatannya dinaungi bulu mata yang lentik dan disempurnakan dengan hidung yang mancung."Kenapa dia nampak lebih cantik? Pantas saja bibi-bibi di sini tidak menyukainya. Mungkin dia dianggap
Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk."Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui me
Song Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel
Menjelang siang, Song Mingyu dan Ren Hui mendorong gerobak arak ke desa sebelah. Kali ini mereka tidak melewati jalan yang biasa mereka lewati. "Ren Hui, kenapa kau harus mengirimkan arak ke rumah kepala desa sebelah?" Song Mingyu bertanya karena merasa heran. Seingatnya, setelah perkelahian dengan orang-orang di pasar kemarin, tidak ada yang datang untuk memesan arak. "Dia sudah berlangganan arak padaku sejak lama. Setiap satu bulan sekali, aku akan mengirimkan arak meski tidak dimintanya." Ren Hui tersenyum tipis, menjelaskan keheranan pemuda itu. "Oh begitu!" Song Mingyu mengangguk mengerti. "Jauhkah rumahnya?" Song Mingyu kembali bertanya saat mereka sudah melewati jalan setapak yang menghubungkan padang rumput dengan pemukiman penduduk. "Di sana!" Ren Hui menunjuk pada sekumpulan rumah penduduk yang tak jauh dari jalan yang kini mereka lalui. "Sepertinya lebih ramai dari desa yang biasa kita lalui." Song Mingyu memicingkan mata, menatap sekumpulan rumah yang memang terli
"Anak muda, bawa kemari gucinya!" Tabib tua itu memanggil Song Mingyu setelah puas mengomeli Ren Hui. Song Mingyu pun mendekati mereka dan memberikan guci-guci arak pada tabib itu. "Apakah semakin sulit untuk mencari bahan-bahannya?" Tabib tua itu bertanya pada Ren Hui. Dia menuangkan arak itu ke sebuah cangkir. Seketika aroma harum bercampur pedas yang menenangkan menguar ke seluruh ruangan. "Bantu aku!" pintanya pada Ren Hui. Ren Hui segera membantu tabib itu dengan mengangkat kepala sang gadis yang terbaring di tempat tidur. Sedangkan Tabib tua menyuapinya dengan air dari guci tadi. Perlahan-lahan gadis kecil itu menyesap arak dan mulai terbatuk-batuk. "Rong'er!" Nyonya Fu dan Tuan Muda Fu yang menunggu di luar kamar bergegas masuk. Mereka berhenti di ujung tempat tidur dan saling berpelukan, menatap gadis kecil itu dengan cemas. "Biarkan Nona Muda beristirahat." Tabib tua tersenyum lembut dan mengembalikan cangkir arak
Song Mingyu pun tersenyum canggung. Dia menendang kaki Ren Hui di bawah meja. Pemuda itu pun membalasnya. Dan pada akhirnya mereka berdua hanya bisa tersenyum canggung dan kikuk saat Nyonya dan Tuan Muda Fu menatap mereka berdua."Apa kau yakin?" Tuan Muda Fu kembali bertanya. Dia menatap Ren Hui dengan serius. Hingga Song Mingyu merasa Tuan Muda ini lebih mengkhawatirkan Ren Hui daripada kondisi adiknya."Tuan Muda, tenang saja." Ren Hui mengedipkan mata. Nyonya Fu yang memperhatikan mereka berdua seketika tersipu malu. Membuat Song Mingyu semakin bingung dengan tingkah orang-orang di sekitarnya ini termasuk sikap Ren Hui yang tidak seperti biasanya.Menjelang sore, mereka meninggalkan kediaman Keluarga Fu. Setelah sebelumnya Ren Hui dan Tuan Muda Fu bercakap-cakap dengan Tabib Wang. Entah apa yang mereka bicarakan, Song Mingyu tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dia lebih tertarik dengan suasana di kediam
"Aiyo!" Ren Hui berdiri dan mencoba menghindari, tetapi rasanya itu cukup sulit. Dengan terpaksa dia mengangkat tangannya menahan kaki pria itu. Pria itu terkejut karena merasa ada yang aneh, meski berhasil membuat Ren Hui tersungkur. Di saat itulah Song Mingyu datang dan menendang pria itu hingga terjatuh ke tanah.Beberapa orang pria yang sedari tadi hanya melihat kini berdatangan. Mereka mengurung Ren Hui dan Song Mingyu. "Jangan takut, aku pasti bisa menghadapi mereka," gumam Song Mingyu menenangkan Ren Hui. Pria itu mengangguk lemah dan tersenyum tipis."Aku tidak ingin berkelahi dengan kalian. Sungguh memalukan jika aku harus melakukan kekerasan terhadap pedagang lemah seperti dirimu. Tuanku berpesan pada kami untuk meminta baik-baik arak dewa dari dirimu." Salah seorang dari mereka berbicara dengan tegas."Tuan, aku sudah mengatakan. Aku tidak membuat dan menjual arak dewa. Sungguh aku tidak berbohong." Ren Hui men
Menjelang malam hari, rumah beroda milik Ren Hui perlahan-lahan meninggalkan padang rumput. Suara rodanya berderak memecah keheningan di malam hari. Namun, tidak ada penduduk desa yang memperhatikan karena mereka memilih jalur memutar, menghindari pedesaan dan keramaian."Kita mau kemana?" Song Mingyu bertanya seraya menghela tali kekang kuda. Ren Hui yang duduk di sebelahnya tidak segera menjawab. Dia justru memberikan kendi air padanya.Song Mingyu menerimanya dan meminum air segar karena memang merasa haus, setelah sedari gelap turun tadi, dia memacu kudanya secepat mungkin. Meski sejujurnya mereka tetap bergerak lebih lambat. Rumah beroda itu cukup berat dan membuat kuda tidak bisa berlari secepat biasanya."Aku berencana untuk pergi ke kota Chunyu." Ren Hui menyahut pelan. "Chunyu? Kota Hujan Musim Semi, kota yang indah. Aku setuju, kebetulan aku pun belum pernah ke sana." Song Mingyu tersenyum dan mengacungkan jempo