"Anak muda, bawa kemari gucinya!" Tabib tua itu memanggil Song Mingyu setelah puas mengomeli Ren Hui. Song Mingyu pun mendekati mereka dan memberikan guci-guci arak pada tabib itu.
"Apakah semakin sulit untuk mencari bahan-bahannya?" Tabib tua itu bertanya pada Ren Hui. Dia menuangkan arak itu ke sebuah cangkir. Seketika aroma harum bercampur pedas yang menenangkan menguar ke seluruh ruangan. "Bantu aku!" pintanya pada Ren Hui. Ren Hui segera membantu tabib itu dengan mengangkat kepala sang gadis yang terbaring di tempat tidur. Sedangkan Tabib tua menyuapinya dengan air dari guci tadi. Perlahan-lahan gadis kecil itu menyesap arak dan mulai terbatuk-batuk. "Rong'er!" Nyonya Fu dan Tuan Muda Fu yang menunggu di luar kamar bergegas masuk. Mereka berhenti di ujung tempat tidur dan saling berpelukan, menatap gadis kecil itu dengan cemas. "Biarkan Nona Muda beristirahat." Tabib tua tersenyum lembut dan mengembalikan cangkir arakSong Mingyu pun tersenyum canggung. Dia menendang kaki Ren Hui di bawah meja. Pemuda itu pun membalasnya. Dan pada akhirnya mereka berdua hanya bisa tersenyum canggung dan kikuk saat Nyonya dan Tuan Muda Fu menatap mereka berdua."Apa kau yakin?" Tuan Muda Fu kembali bertanya. Dia menatap Ren Hui dengan serius. Hingga Song Mingyu merasa Tuan Muda ini lebih mengkhawatirkan Ren Hui daripada kondisi adiknya."Tuan Muda, tenang saja." Ren Hui mengedipkan mata. Nyonya Fu yang memperhatikan mereka berdua seketika tersipu malu. Membuat Song Mingyu semakin bingung dengan tingkah orang-orang di sekitarnya ini termasuk sikap Ren Hui yang tidak seperti biasanya.Menjelang sore, mereka meninggalkan kediaman Keluarga Fu. Setelah sebelumnya Ren Hui dan Tuan Muda Fu bercakap-cakap dengan Tabib Wang. Entah apa yang mereka bicarakan, Song Mingyu tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dia lebih tertarik dengan suasana di kediam
"Aiyo!" Ren Hui berdiri dan mencoba menghindari, tetapi rasanya itu cukup sulit. Dengan terpaksa dia mengangkat tangannya menahan kaki pria itu. Pria itu terkejut karena merasa ada yang aneh, meski berhasil membuat Ren Hui tersungkur. Di saat itulah Song Mingyu datang dan menendang pria itu hingga terjatuh ke tanah.Beberapa orang pria yang sedari tadi hanya melihat kini berdatangan. Mereka mengurung Ren Hui dan Song Mingyu. "Jangan takut, aku pasti bisa menghadapi mereka," gumam Song Mingyu menenangkan Ren Hui. Pria itu mengangguk lemah dan tersenyum tipis."Aku tidak ingin berkelahi dengan kalian. Sungguh memalukan jika aku harus melakukan kekerasan terhadap pedagang lemah seperti dirimu. Tuanku berpesan pada kami untuk meminta baik-baik arak dewa dari dirimu." Salah seorang dari mereka berbicara dengan tegas."Tuan, aku sudah mengatakan. Aku tidak membuat dan menjual arak dewa. Sungguh aku tidak berbohong." Ren Hui men
Menjelang malam hari, rumah beroda milik Ren Hui perlahan-lahan meninggalkan padang rumput. Suara rodanya berderak memecah keheningan di malam hari. Namun, tidak ada penduduk desa yang memperhatikan karena mereka memilih jalur memutar, menghindari pedesaan dan keramaian."Kita mau kemana?" Song Mingyu bertanya seraya menghela tali kekang kuda. Ren Hui yang duduk di sebelahnya tidak segera menjawab. Dia justru memberikan kendi air padanya.Song Mingyu menerimanya dan meminum air segar karena memang merasa haus, setelah sedari gelap turun tadi, dia memacu kudanya secepat mungkin. Meski sejujurnya mereka tetap bergerak lebih lambat. Rumah beroda itu cukup berat dan membuat kuda tidak bisa berlari secepat biasanya."Aku berencana untuk pergi ke kota Chunyu." Ren Hui menyahut pelan. "Chunyu? Kota Hujan Musim Semi, kota yang indah. Aku setuju, kebetulan aku pun belum pernah ke sana." Song Mingyu tersenyum dan mengacungkan jempo
Beberapa hari kemudian, setelah melewati beberapa pedesaan dan kota kecil, mereka pun tiba di Kota Beixing. Kota teramai ketiga di seluruh Kekaisaran Shenguang setelah Ibukota Baiyun dan Kota Lingyun.Berbeda dengan kedua kota yang lainnya, Kota Beixing dikenal sebagai kota judi terbesar di Kekaisaran bahkan mungkin di seluruh wilayah itu. Kota yang terletak di perbatasan utara itu sebenarnya tidak terlalu luas. Namun, di setiap sudut kota bisa ditemukan tempat perjudian yang menarik hati bagi para pengunjung."Wah, kota ini sangat ramai." Song Mingyu bergumam pelan saat rumah beroda itu memasuki daerah pedesaan yang terdekat dengan pusat kota. Ren Hui telah memperingatkannya untuk tidak masuk ke pusat kota dan berhenti di pedesaan saja."Ren Hui, bagaimana dengan tempat ini?" tanyanya pada pria yang tengah sibuk di dalam rumah beroda bersama Baihua, rubah putih kesayangannya.Pria itu melongokkan kepal
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, mereka berdua pergi ke Pondok Dongfeng yang ada di pusat Kota Beixing. Kali ini mereka menggunakan kuda untuk menarik gerobak yang dipenuhi guci-guci arak."Jaraknya lumayan jauh, tidak mungkin kau bisa menarik gerobak bolak-balik seorang diri. Bahkan ada kemungkinan kita harus menginap." Begitu Ren Hui menjelaskan.Itu juga alasannya menitipkan dua ekor kudanya yang lain pada seorang petani yang sepertinya sudah mengenal Ren Hui. Sedangkan rumah berodanya dikunci rapat-rapat dan Baihua turut bersama mereka.Sepanjang perjalanan, Song Mingyu sangat menikmati pemandangan yang mereka lalui. Meski hanya melewati beberapa desa dan diselingi ladang-ladang, tetapi itu cukup menghiburnya. Suasananya jauh berbeda dengan Kota Lingyun, kota tempat asalnya.Kota Lingyun terletak di tengah wilayah kekuasaan Kekaisaran Shenguang, berdampingan dengan ibukota. Pendudu
Ren Hui mengajak Baihua masuk ke dalam rumah makan sederhana itu. Dia memilih duduk di sudut, agar tidak menarik perhatian siapa pun. Apalagi ada Baihua yang kerap mengundang tanya orang-orang yang tanpa sengaja ditemuinya. "Tuan, Anda mau pesan apa?" Seorang pelayan mendekatinya dan bertanya dengan ramah. Dia melirik Baihua yang duduk di dekat kaki Ren Hui. Rubah putih itu bersikap acuh tak acuh dan hanya sesekali menatap Ren Hui. "Bisakah kau sediakan sedikit tulang dan daging untuknya?" Ren Hui bertanya pelan. Pelayan itu menganggukkan kepalanya. "Ada lagi Tuan?" tanyanya lagi masih dengan sikap yang ramah. "Mi ginseng dengan daging, dimsum dan beberapa kue manis serta teh. Dan tolong bungkuskan juga kue manisnya," pesannya seraya tersenyum ramah. Pelayan itu mengangguk mengerti kemudian bergegas kembali ke dapur. Sementara Ren Hui duduk dengan santai mengamati sekitarnya. Selain dirinya ada beberapa pengunjung lain, bahkan cukup banyak. Hanya saja mereka duduk berjauhan.
Mereka berdua kembali ke padang rumput dan menjalani hari-hari dengan santai. Menyuling arak dari beberapa bunga dan buah yang ada di sekitar padang rumput, bermain dengan Baihua, memancing ikan, mencoba resep-resep makanan baru yang entah dari mana Ren Hui mendapatkannya.Hari-hari yang menyenangkan. Meski beberapa kali Song Mingyu menyaksikan batuk Ren Hui kambuh. Namun, seperti biasanya pria itu akan membaik dengan cepat.Beberapa hari sekali mereka akan kembali ke Pondok Dongfeng. Selain menagih pembayaran juga membawa arak-arak yang baru. Setelah itu mereka akan berjalan-jalan di Kota Beixing. Berbelanja kebutuhan sehari-hari, berjalan-jalan di pantai dan membeli hasil laut pada nelayan atau sesekali mampir ke rumah judi. Sekadar untuk menonton dan bersenang-senang saja.Kembali ke rumah beroda bersama Baihua dan menjalani kehidupan sederhana seperti hari-hari yang telah mereka lalui bersama beberapa waktu ini. Song
"Ren Jie! Ilmu pedangmu memang sangat hebat! Baru sekali ini ada seseorang yang bisa menemaniku menari pedang dengan indah." Suara yang begitu merdu dan mendayu terngiang kembali di telinganya.Festival bunga di Kota Yueliang, musim semi di tahun ke-17 Tianjian. Usianya waktu itu baru 17 tahun. Meski bukan pertama kalinya menghadiri festival bunga yang sangat terkenal di kalangan Jiang Hu, tetapi inilah satu-satunya festival bunga yang memiliki kenangan begitu mendalam di hatinya."Yang Mulia, Anda terlalu memuji. Sebagai seorang pangeran, Anda tidak kalah hebat dibandingkan kami," pujinya pada Pangeran Ke-tujuh. Pria yang kini menari pedang bersamanya.Dia adalah Pangeran Yongle, Tian Ying Xue, pangeran ke-tujuh Kekaisaran Shenguang. Putra ke-tujuh Kaisar Tianjian yang berkuasa saat itu. Seorang pangeran yang sangat jarang mau tampil di depan publik. Namun, kehadiran Ren Jie, sang Dewa Pedang dari Sekte Pedang Langit mem
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam