Ren Hui mengajak Baihua masuk ke dalam rumah makan sederhana itu. Dia memilih duduk di sudut, agar tidak menarik perhatian siapa pun. Apalagi ada Baihua yang kerap mengundang tanya orang-orang yang tanpa sengaja ditemuinya. "Tuan, Anda mau pesan apa?" Seorang pelayan mendekatinya dan bertanya dengan ramah. Dia melirik Baihua yang duduk di dekat kaki Ren Hui. Rubah putih itu bersikap acuh tak acuh dan hanya sesekali menatap Ren Hui. "Bisakah kau sediakan sedikit tulang dan daging untuknya?" Ren Hui bertanya pelan. Pelayan itu menganggukkan kepalanya. "Ada lagi Tuan?" tanyanya lagi masih dengan sikap yang ramah. "Mi ginseng dengan daging, dimsum dan beberapa kue manis serta teh. Dan tolong bungkuskan juga kue manisnya," pesannya seraya tersenyum ramah. Pelayan itu mengangguk mengerti kemudian bergegas kembali ke dapur. Sementara Ren Hui duduk dengan santai mengamati sekitarnya. Selain dirinya ada beberapa pengunjung lain, bahkan cukup banyak. Hanya saja mereka duduk berjauhan.
Mereka berdua kembali ke padang rumput dan menjalani hari-hari dengan santai. Menyuling arak dari beberapa bunga dan buah yang ada di sekitar padang rumput, bermain dengan Baihua, memancing ikan, mencoba resep-resep makanan baru yang entah dari mana Ren Hui mendapatkannya.Hari-hari yang menyenangkan. Meski beberapa kali Song Mingyu menyaksikan batuk Ren Hui kambuh. Namun, seperti biasanya pria itu akan membaik dengan cepat.Beberapa hari sekali mereka akan kembali ke Pondok Dongfeng. Selain menagih pembayaran juga membawa arak-arak yang baru. Setelah itu mereka akan berjalan-jalan di Kota Beixing. Berbelanja kebutuhan sehari-hari, berjalan-jalan di pantai dan membeli hasil laut pada nelayan atau sesekali mampir ke rumah judi. Sekadar untuk menonton dan bersenang-senang saja.Kembali ke rumah beroda bersama Baihua dan menjalani kehidupan sederhana seperti hari-hari yang telah mereka lalui bersama beberapa waktu ini. Song
"Ren Jie! Ilmu pedangmu memang sangat hebat! Baru sekali ini ada seseorang yang bisa menemaniku menari pedang dengan indah." Suara yang begitu merdu dan mendayu terngiang kembali di telinganya.Festival bunga di Kota Yueliang, musim semi di tahun ke-17 Tianjian. Usianya waktu itu baru 17 tahun. Meski bukan pertama kalinya menghadiri festival bunga yang sangat terkenal di kalangan Jiang Hu, tetapi inilah satu-satunya festival bunga yang memiliki kenangan begitu mendalam di hatinya."Yang Mulia, Anda terlalu memuji. Sebagai seorang pangeran, Anda tidak kalah hebat dibandingkan kami," pujinya pada Pangeran Ke-tujuh. Pria yang kini menari pedang bersamanya.Dia adalah Pangeran Yongle, Tian Ying Xue, pangeran ke-tujuh Kekaisaran Shenguang. Putra ke-tujuh Kaisar Tianjian yang berkuasa saat itu. Seorang pangeran yang sangat jarang mau tampil di depan publik. Namun, kehadiran Ren Jie, sang Dewa Pedang dari Sekte Pedang Langit mem
Ren Hui duduk di depan meja. Menuangkan teh untuk tamunya yang datang di tengah malam gulita."Dia tertidur?" Yue Yingying melirik Song Mingyu yang tertidur pulas di kursi panjang tak jauh dari mereka duduk. "Aku rasa dia kelelahan. Dia sangat mengkhawatirkan dirimu." Yue Yingying mengambil cangkir tehnya."Aku rasa itu karena dupa penenang yang kau nyalakan tadi," sahut Ren Hui seraya tersenyum tipis. Yue Yingying tertawa pelan."Setelah sepuluh tahun, akhirnya kau mau menerima seseorang untuk hidup bersamamu. Aku rasa kau telah banyak berubah, Ren Jie." Wanita yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik doupengnya itu menyesap tehnya pelan."Aku memang berubah semenjak sepuluh tahun yang lalu. Aku bukan Ren Jie lagi. Aku Ren Hui, hanya pedagang arak biasa." Ren Hui kini menatap lurus Yue Yingying."Mengenai dia, itu karena dia berhutang padaku dan tidak memiliki uang untuk melunasi
Beberapa hari kemudian kondisi Ren Hui semakin membaik. Dia sudah beraktivitas seperti biasa. Selama dia sakit, Song Mingyu merawatnya dengan telaten. Pemuda itu juga mondar-mandir mengantarkan arak ke para pelanggan mereka di pusat kota."Besok kita ke kota." Ren Hui berkata setelah selesai menyeduh teh. Dia dengan cekatan menyajikan teh dan makan malam mereka."Kau yakin? Apa kau sudah benar-benar sembuh?" Song Mingyu menatapnya dengan tatapan khawatir. "Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir." Ren Hui tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya pelan."Kalau kau masih belum sehat benar, aku saja yang pergi ke kota." Song Mingyu rupanya masih mengkhawatirkan dirinya. "Tidak! Aku harus ikut ke kota!" Sahut Ren Hui tegas. "Kau ini!" Song Mingyu berseru kesal.Namun, dia tidak berkata-kata lagi. Dia tahu benar, mengapa Ren Hui bersikeras untuk pergi ke kota secepatnya. Tentu saja untuk menagih hutang di Pondok Dongfeng, arak-arak mereka yang belum se
Keduanya kini telah berada di antara kerumunan yang melingkari dua penjudi di tengah-tengah arena judi. Keduanya berdiri di belakang Song Mingyu. Pemuda itu menoleh karena ditepuk oleh Ren Hui. "Eh, kau kemari juga. Bukankah kau tidak tertarik dengan pertaruhan di meja judi?" Song Mingyu terkejut dengan kehadiran Ren Hui dan juga pria di sebelahnya. "Siapa dia?" Song Mingyu pun bertanya, berbisik lirih. "Tidak bisakah kau tidak berisik?" Ren Hui bertanya pelan dan seperti biasanya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. Song Mingyu pun tersenyum meringis dan mengelus-elus kepalanya yang dipukul Ren Hui. Di melirik pria yang berdiri di sebelah Ren Hui. Seorang pria bercaping bambu dan mengenakan hanfu hitam sederhana, biasa saja. Tidak mirip dengan para penjudi yang memenuhi Pondok Dongfeng saat ini. "Diamlah! Lihat saja dan jangan berisik." Ren Hui sekali lagi menepuk ba
Nyonya Xin tertawa pelan. Jari jemarinya perlahan bergerak menelusuri bagian leher jubah hitam yang dikenakan pria bercaping itu."Tentu saja aku tidak keberatan," bisiknya di telinga pria itu. Bisikan yang lembut dan menggoda. Kemudian dia kembali ke tengah-tengah arena judi, bertepuk keras meminta perhatian para pengunjung Pondok Dongfeng."Hari ini, Pondok Dongfeng mengadakan taruhan yang istimewa untuk melawan Tuan Muda Wei. Jika kalian berkenan ikut silakan maju kemari. Jika tidak, maka pergi tinggalkan Pondok Dongfeng sekarang!" Serunya dengan lantang.Hampir semua orang berbisik-bisik setelah mendengar ucapan lantang sang pemilik rumah judi yang terkenal dengan kecantikan dan juga kelicikannya dalam mengelola rumah judi terbesar di Kekaisaran Shenguang itu. Nyonya Xin termasyur sebagai salah satu kecantikan yang tak tertandingi sekaligus sebagai wanita paling beracun yang menawan hati para pria di kekaisaran Shengg
Tawa Tuan Muda Wei pecah saat mendengar ucapan pria itu. Sepertinya putra penguasa kota itu sangat percaya diri akan memenangkan pertaruhan kali ini. Dia mengambil dadu yang dibawakan oleh seorang pelayan. Kemudian mengguncangnya dengan cepat.Song Mingyu memperhatikannya dengan penuh minat. Sedangkan Ren Hui bersikap santai seperti biasanya dan tentu saja sembari mengipasi wajahnya. Begitupun dengan pria itu yang masih duduk bertopang dagu, tidak terganggu dengan suara guncangan dadu yang cukup keras.Setelah beberapa lama, Tuan Muda Wei meletakkan kembali dadu yang tertutup di atas meja. Dia tersenyum menatap pria di hadapannya dan berkata,"Katakan taruhanmu Tuan."Pria itu menoleh menatap Ren Hui. Seakan-akan meminta pendapatnya. Ren Hui tersenyum kemudian membungkukkan tubuhnya dan berbisik padanya. Pria itu mendesah pelan dan kembali duduk seperti tadi."Aku bertaruh enam-enam-enam, besar," sahutnya dengan santai.Tuan Muda Wei terta
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh
Beberapa bulan berlalu, dan keadaan di Kekaisaran Shenguang perlahan kembali stabil. Permaisuri Wu masih duduk di tahtanya, tetapi kekuatan keluarganya telah menyusut drastis. Salah satu pukulan terbesar adalah eksekusi Wu Zhengting, penguasa Kota Chunyu sekaligus adik kandung Permaisuri Wu. Dengan kejatuhan ini, pengaruh keluarga Wu dalam pemerintahan kian meredup, seolah-olah musim semi baru tengah bersemi di dalam istana.Di sisi lain, Nona Muda Pertama Chao, Chao Ping, kembali ke ibu kota dalam keadaan selamat. Namun, ia tidak berusaha memperbaiki perjanjian pertunangannya dengan Chu Wang. Ia hanya datang mengunjungi Perdana Menteri Kiri sebagai seorang sahabat lama."Perjalanan ke Hóngshā telah membuka mata dan hatiku. Hidup tidak hanya berputar pada cinta dan pasangan hidup. Aku telah melihat banyak hal, dan semua itu mengubah cara pandangku," katanya pelan. Ada keteguhan dalam suaranya, seolah ia telah menemukan arah hidup yang lebih luas dari sekadar status
Pagi itu, suasana di dalam rumah beroda terasa hangat oleh aroma teh dan sisa hidangan sarapan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang bergerak. Setelah beberapa saat menikmati keheningan pagi, Wei Xueran akhirnya membuka pembicaraan dengan nada tegas, "Yang Mulia Pangeran Yongle, aku diminta Raja An Bang dan Chu Wang untuk membawamu dan Tuan Muda Song kembali ke ibukota."Junjie tetap tenang, meniup permukaan tehnya agar tidak terlalu panas sebelum menyeruputnya perlahan. Sementara itu di seberangnya, Song Mingyu menatapnya sejenak sebelum melirik Wei Xueran dengan alis sedikit terangkat. Keraguan terlihat jelas di wajahnya, seperti seseorang yang berharap mendapat jawaban berbeda."Haruskah aku ikut?" tanyanya akhirnya, suara datarnya menyamarkan harapan kecil dalam hatinya.Wei Xueran menyeringai, menikmati momen itu seolah ia baru saja menang dalam