Beberapa hari kemudian kondisi Ren Hui semakin membaik. Dia sudah beraktivitas seperti biasa. Selama dia sakit, Song Mingyu merawatnya dengan telaten. Pemuda itu juga mondar-mandir mengantarkan arak ke para pelanggan mereka di pusat kota.
"Besok kita ke kota." Ren Hui berkata setelah selesai menyeduh teh. Dia dengan cekatan menyajikan teh dan makan malam mereka."Kau yakin? Apa kau sudah benar-benar sembuh?" Song Mingyu menatapnya dengan tatapan khawatir. "Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir." Ren Hui tersenyum dan menepuk-nepuk bahunya pelan."Kalau kau masih belum sehat benar, aku saja yang pergi ke kota." Song Mingyu rupanya masih mengkhawatirkan dirinya. "Tidak! Aku harus ikut ke kota!" Sahut Ren Hui tegas. "Kau ini!" Song Mingyu berseru kesal.Namun, dia tidak berkata-kata lagi. Dia tahu benar, mengapa Ren Hui bersikeras untuk pergi ke kota secepatnya. Tentu saja untuk menagih hutang di Pondok Dongfeng, arak-arak mereka yang belum seKeduanya kini telah berada di antara kerumunan yang melingkari dua penjudi di tengah-tengah arena judi. Keduanya berdiri di belakang Song Mingyu. Pemuda itu menoleh karena ditepuk oleh Ren Hui. "Eh, kau kemari juga. Bukankah kau tidak tertarik dengan pertaruhan di meja judi?" Song Mingyu terkejut dengan kehadiran Ren Hui dan juga pria di sebelahnya. "Siapa dia?" Song Mingyu pun bertanya, berbisik lirih. "Tidak bisakah kau tidak berisik?" Ren Hui bertanya pelan dan seperti biasanya memukul kepala pemuda itu dengan kipasnya. Song Mingyu pun tersenyum meringis dan mengelus-elus kepalanya yang dipukul Ren Hui. Di melirik pria yang berdiri di sebelah Ren Hui. Seorang pria bercaping bambu dan mengenakan hanfu hitam sederhana, biasa saja. Tidak mirip dengan para penjudi yang memenuhi Pondok Dongfeng saat ini. "Diamlah! Lihat saja dan jangan berisik." Ren Hui sekali lagi menepuk ba
Nyonya Xin tertawa pelan. Jari jemarinya perlahan bergerak menelusuri bagian leher jubah hitam yang dikenakan pria bercaping itu."Tentu saja aku tidak keberatan," bisiknya di telinga pria itu. Bisikan yang lembut dan menggoda. Kemudian dia kembali ke tengah-tengah arena judi, bertepuk keras meminta perhatian para pengunjung Pondok Dongfeng."Hari ini, Pondok Dongfeng mengadakan taruhan yang istimewa untuk melawan Tuan Muda Wei. Jika kalian berkenan ikut silakan maju kemari. Jika tidak, maka pergi tinggalkan Pondok Dongfeng sekarang!" Serunya dengan lantang.Hampir semua orang berbisik-bisik setelah mendengar ucapan lantang sang pemilik rumah judi yang terkenal dengan kecantikan dan juga kelicikannya dalam mengelola rumah judi terbesar di Kekaisaran Shenguang itu. Nyonya Xin termasyur sebagai salah satu kecantikan yang tak tertandingi sekaligus sebagai wanita paling beracun yang menawan hati para pria di kekaisaran Shengg
Tawa Tuan Muda Wei pecah saat mendengar ucapan pria itu. Sepertinya putra penguasa kota itu sangat percaya diri akan memenangkan pertaruhan kali ini. Dia mengambil dadu yang dibawakan oleh seorang pelayan. Kemudian mengguncangnya dengan cepat.Song Mingyu memperhatikannya dengan penuh minat. Sedangkan Ren Hui bersikap santai seperti biasanya dan tentu saja sembari mengipasi wajahnya. Begitupun dengan pria itu yang masih duduk bertopang dagu, tidak terganggu dengan suara guncangan dadu yang cukup keras.Setelah beberapa lama, Tuan Muda Wei meletakkan kembali dadu yang tertutup di atas meja. Dia tersenyum menatap pria di hadapannya dan berkata,"Katakan taruhanmu Tuan."Pria itu menoleh menatap Ren Hui. Seakan-akan meminta pendapatnya. Ren Hui tersenyum kemudian membungkukkan tubuhnya dan berbisik padanya. Pria itu mendesah pelan dan kembali duduk seperti tadi."Aku bertaruh enam-enam-enam, besar," sahutnya dengan santai.Tuan Muda Wei terta
Mereka bertiga berlari keluar dari rumah judi. Saat bertemu Tuan Ma yang kebetulan keluar dari ruang kerjanya, Ren Hui berhenti sebentar."Tuan Ma!" panggilnya dengan penuh semangat. Pria paruh baya itu menoleh dan tersenyum. Sepertinya Tuan Ma tidak mengetahui peristiwa yang terjadi dalam rumah judi barusan."Tuan Ma, aku sudah bertemu Nyonya Xin di dalam tadi. Dia bilang untuk mengambil uangnya padamu." Ren Hui berbicara dengan cepat, tetapi runtut dan jelas."Ah begitu ya! Baiklah!" Tanpa curiga, pria paruh baya itu memberikan satu kantong uang pada Ren Hui. Tentu saja dia menerimanya dengan senang hati.Sementara itu Song Mingyu dan pria yang menyebabkan mereka harus melarikan diri berhasil menyusul Ren Hui. Keduanya segera meraih tangan Ren Hui dan membawanya berlari meninggalkan Pondok Dongfeng."Terima kasih Tuan Ma!" Ren Hui berseru seraya berlari sekencang mungkin. Tuan Ma kebingungan melihatnya. Apa
Kereta berjalan perlahan-lahan, menelusuri jalan sempit di tengah hutan bambu. Sudah hampir menjelang malam saat kereta mereka keluar dari wilayah Kota Beixing. Mereka sengaja mengambil jalur pedesaan agar tidak bertemu dengan pasukan penjaga kota dan pengawal Pondok Dongfeng. "Kita beristirahat di sana!" Ren Hui menunjuk ke suatu tempat di depan, tak jauh lagi dari jalan yang mereka lalui saat ini. Song Mingyu mengangguk dan memacu kudanya agar berjalan sedikit lebih cepat. Dia sudah merasa lelah dan penat karena hampir seharian duduk di kereta. Mereka sama sekali belum beristirahat karena tidak ingin terkejar oleh para pengejar mereka. "Wah danau!" Song Mingyu bersorak girang saat tiba di tempat yang Ren Hui tunjuk tadi. Dia memarkir rumah beroda di tepi danau. Setelah melepaskan dan menambatkan kuda-kuda di tempat yang berumput tebal dan tak jauh dari tepi danau, mereka duduk beristirahat sembari menikmati pemandangan indah di sekeliling mereka. Ren Hui tidak turut turun.
Ren Hui masih duduk terpaku. Ditatapnya pedang di pangkuannya tanpa berniat menyentuhnya. Setelah cukup lama hanya memandangi, dia menyentuh gagang pedang itu perlahan-lahan. Ujung jarinya menelusuri permukaan pedang yang berkilau dan tajam dengan gerakan yang luwes. Seakan-akan sudah terbiasa menggunakan pedang itu dengan lihai."Kau benar-benar tidak menginginkannya?" Junjie tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya."Dari mana kau mendapatkan pedang ini?" Ren Hui tidak menjawab pertanyaan Junjie dan justru balik bertanya padanya. Tatapan matanya tak beralih dari pedang yang dipegangnya."Aku mendapatkannya dari seorang penjudi. Aku memenangkannya dalam sebuah pertaruhan. Menurut ceritanya, dia mendapatkan pedang ini dari pelelangan di pasar hantu di kota Yueliang." Junjie duduk di depannya di sebuah bangku kayu yang semula diduduki Song Mingyu."Sayangnya, aku sungguh-sungguh tidak membutuhkan pedang ini. Simpanlah kembali." Ren Hui memberikan peda
Mereka melanjutkan perjalanan setelah selesai sarapan. Kali ini Junjie yang mengusiri rumah beroda dengan ditemani Song Mingyu."Ren Hui!" Song Mingyu berteriak memanggil pria itu. Dia menoleh ke dalam rumah beroda. Tampak pria itu tengah mengaduk beras ketan yang hendak difermentasi untuk bahan utama araknya. Ren Hui hanya menoleh sekilas."Untuk apa kita mengikuti penjudi sialan ini ke Kota Yueliang?" tanyanya dengan nada kesal.Junjie hanya melirik pemuda itu dengan santai. Tidak merasa tersinggung dengan ucapan pemuda yang duduk di sebelahnya. Dia justru bersiul-siul dengan gembira. Tentu saja itu membuat Song Mingyu merasa semakin kesal padanya."Tentu saja agar dia bisa membayar hutangnya padaku," sahut Ren Hui dari dalam rumah beroda dengan santai.Dia masih sibuk mengaduk-aduk beras ketan yang sudah ditanak yang kini dicampur dengan ragi bubuk. Kemudian menutup guci berisi ber
Song Mingyu dan Junjie duduk berhadapan di depan meja. Junjie bertopang dagu seperti biasa, bak seorang pemalas. Sedangkan Song Mingyu menuangkan teh ke dalam cangkir."Meski tubuhnya kosong tetapi jelas dia masih memiliki refleks yang sangat bagus," gumam Junjie dalam hatinya. Dia melirik ke teras di mana sosok Ren Hui tampak dari belakang dengan jelas.Punggungnya tegak dan dia memacu kuda dengan tenang dan santai. Selintas seperti tidak ada yang berubah dari sosoknya semasa masih dikenalnya sebagai Ren Jie, sang Dewa Pedang. Sosok pemuda tampan rupawan yang menawan dengan ilmu pedang yang tinggi dan ambisi dan energi yang luar biasa."Sungguh sulit dipercaya, kini kau menjalani kehidupan seperti ini." Junjie mendesah pelan. Melirik Song Mingyu yang juga menatap Reh Hui. Entah apa yang ada di pikiran pemuda itu. Junjie hanya merasa heran bagaimana bisa pemuda itu tidak mengenali Ren Jie, sang Dewa Pedang yang sepuluh tahun lalu namanya begitu termasyur d
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam