Kereta berjalan perlahan-lahan, menelusuri jalan sempit di tengah hutan bambu. Sudah hampir menjelang malam saat kereta mereka keluar dari wilayah Kota Beixing. Mereka sengaja mengambil jalur pedesaan agar tidak bertemu dengan pasukan penjaga kota dan pengawal Pondok Dongfeng. "Kita beristirahat di sana!" Ren Hui menunjuk ke suatu tempat di depan, tak jauh lagi dari jalan yang mereka lalui saat ini. Song Mingyu mengangguk dan memacu kudanya agar berjalan sedikit lebih cepat. Dia sudah merasa lelah dan penat karena hampir seharian duduk di kereta. Mereka sama sekali belum beristirahat karena tidak ingin terkejar oleh para pengejar mereka. "Wah danau!" Song Mingyu bersorak girang saat tiba di tempat yang Ren Hui tunjuk tadi. Dia memarkir rumah beroda di tepi danau. Setelah melepaskan dan menambatkan kuda-kuda di tempat yang berumput tebal dan tak jauh dari tepi danau, mereka duduk beristirahat sembari menikmati pemandangan indah di sekeliling mereka. Ren Hui tidak turut turun.
Ren Hui masih duduk terpaku. Ditatapnya pedang di pangkuannya tanpa berniat menyentuhnya. Setelah cukup lama hanya memandangi, dia menyentuh gagang pedang itu perlahan-lahan. Ujung jarinya menelusuri permukaan pedang yang berkilau dan tajam dengan gerakan yang luwes. Seakan-akan sudah terbiasa menggunakan pedang itu dengan lihai."Kau benar-benar tidak menginginkannya?" Junjie tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya."Dari mana kau mendapatkan pedang ini?" Ren Hui tidak menjawab pertanyaan Junjie dan justru balik bertanya padanya. Tatapan matanya tak beralih dari pedang yang dipegangnya."Aku mendapatkannya dari seorang penjudi. Aku memenangkannya dalam sebuah pertaruhan. Menurut ceritanya, dia mendapatkan pedang ini dari pelelangan di pasar hantu di kota Yueliang." Junjie duduk di depannya di sebuah bangku kayu yang semula diduduki Song Mingyu."Sayangnya, aku sungguh-sungguh tidak membutuhkan pedang ini. Simpanlah kembali." Ren Hui memberikan peda
Mereka melanjutkan perjalanan setelah selesai sarapan. Kali ini Junjie yang mengusiri rumah beroda dengan ditemani Song Mingyu."Ren Hui!" Song Mingyu berteriak memanggil pria itu. Dia menoleh ke dalam rumah beroda. Tampak pria itu tengah mengaduk beras ketan yang hendak difermentasi untuk bahan utama araknya. Ren Hui hanya menoleh sekilas."Untuk apa kita mengikuti penjudi sialan ini ke Kota Yueliang?" tanyanya dengan nada kesal.Junjie hanya melirik pemuda itu dengan santai. Tidak merasa tersinggung dengan ucapan pemuda yang duduk di sebelahnya. Dia justru bersiul-siul dengan gembira. Tentu saja itu membuat Song Mingyu merasa semakin kesal padanya."Tentu saja agar dia bisa membayar hutangnya padaku," sahut Ren Hui dari dalam rumah beroda dengan santai.Dia masih sibuk mengaduk-aduk beras ketan yang sudah ditanak yang kini dicampur dengan ragi bubuk. Kemudian menutup guci berisi ber
Song Mingyu dan Junjie duduk berhadapan di depan meja. Junjie bertopang dagu seperti biasa, bak seorang pemalas. Sedangkan Song Mingyu menuangkan teh ke dalam cangkir."Meski tubuhnya kosong tetapi jelas dia masih memiliki refleks yang sangat bagus," gumam Junjie dalam hatinya. Dia melirik ke teras di mana sosok Ren Hui tampak dari belakang dengan jelas.Punggungnya tegak dan dia memacu kuda dengan tenang dan santai. Selintas seperti tidak ada yang berubah dari sosoknya semasa masih dikenalnya sebagai Ren Jie, sang Dewa Pedang. Sosok pemuda tampan rupawan yang menawan dengan ilmu pedang yang tinggi dan ambisi dan energi yang luar biasa."Sungguh sulit dipercaya, kini kau menjalani kehidupan seperti ini." Junjie mendesah pelan. Melirik Song Mingyu yang juga menatap Reh Hui. Entah apa yang ada di pikiran pemuda itu. Junjie hanya merasa heran bagaimana bisa pemuda itu tidak mengenali Ren Jie, sang Dewa Pedang yang sepuluh tahun lalu namanya begitu termasyur d
Beberapa hari kemudian, setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka tiba di kota Yueliang. Kota yang terkenal dengan Paviliun Yueliang, sebuah tempat yang setiap tahunnya mengeluarkan daftar emas, hitam dan putih. Daftar yang berisi peringkat para pendekar di Jiang Hu, orang-orang hebat dan juga para buronan."Wah kota ini jauh dari bayanganku!" Song Mingyu berseru kagum saat rumah beroda mereka perlahan memasuki perbatasan kota."Memang seperti apa yang kau bayangkan?" Junjie bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan yang mereka telusuri.Seperti biasanya, mereka berdua bergantian mengusiri rumah beroda. Hanya sesekali saja Ren Hui mengusirinya. Beberapa hari ini pria itu sibuk menyuling arak.Selain arak-arak yang biasa dibuatnya, kali ini dia juga membuat arak bambu hijau. Arak beras ketan berkualitas terbaik yang disulingnya dengan embun pagi yang dikumpulkannya setiap pagi dan disimpan dalam batang-batang bambu yang mereka dapatkan
Bukit di sebelah timur Kota Yueliang memang sangat cocok untuk tempat tinggal sementara mereka selama di kota Yueliang. Tempat itu bukan hanya dikelilingi padang rumput yang menghijau, tetapi juga hutan-hutan kecil yang rimbun dan sejuk.Di kejauhan terdengar gemericik air yang lebih mirip deru hujan memecah bebatuan. Tempat yang indah, tenang dan jauh dari keramaian. Tempat yang selalu menjadi pilihan Ren Hui untuk singgah sementara waktu."Aiyo! Air terjun!" Song Mingyu bersorak dan berlari menuju kolam yang bersumber dari air terjun yang menjulang tinggi di hadapan mereka.Junjie menggeleng kepalanya dan duduk di atas bebatuan di tepi kolam. Sedangkan Ren Hui hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari teras bagian belakang rumah berodanya."Air terjun jiwa tersembunyi," gumamnya pelan. "Apa maksudmu membawaku kemari?" Ren Hui tersenyum tipis.Dia menarik rak-rak kayu berisi tanaman obatnya lebih ke tepi, menempel di dinding dan tangga
Ren Hui menyalakan dupa dan meletakkannya di atas meja. Sementara Junjie dan Song Mingyu makan dengan lahap. Keduanya sesekali berbincang bahkan berebut makanan."Bagaimana bisa sikap elegannya menguap begitu saja," keluh Ren Hui dalam hati saat melihat keduanya kembali bertengkar hanya karena hal sepele."Ren Hui, kau tidak ingin berlatih beladiri?" Song Mingyu tiba-tiba bertanya padanya. Ren Hui tertegun mendengar pertanyaannya itu. Dia menatap Song Mingyu sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya."Ada baiknya kau berlatih," sahut Junjie menimpali percakapan mereka berdua. "Setidaknya untuk menjaga kebugaran tubuhmu," lanjutnya. Tangannya terulur hendak mengambil sepotong tahu berlumur saos kedelai fermentasi."Aiyo, itu tahuku!" Song Mingyu menepis tangannya dan merebut tahu itu dari atas piring. "Eh, kau ini!" Junjie berteriak memprotesnya dan tangan bergerak cepat mengambil tahu di atas piring ya
Ren Hui masih berdiri dan meneguk araknya. Tubuhnya mulai terasa hangat, darahnya seakan mengalir lebih cepat. Pembuluh-pembuluh darahnya seakan terisi tenaga dalam yang kuat lagi seperti dahulu. Bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dadanya bergemuruh, seakan-akan jantungnya meronta hendak melepaskan diri agar bisa berdetak lebih bebas dan kencang. Seperti keinginannya untuk kembali menggunakan pedang yang telah lama tersimpan dan tak pernah digunakannya lagi. Junjie terkejut saat sayup-sayup merasakan sebuah getaran. Pedang yang selalu tersandang di pinggangnya tiba-tiba bergetar, pelan dan semakin cepat. "Pedang ini merasakan hasrat membunuh pemiliknya," gumamnya dalam hati. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Dia sudah menduga, meski kehilangan kemampuan beladirinya, tetapi Ren Jie tidak kehilangan nalurinya sebagai seorang Dewa Pedang. Begitupun dengan Pedang Naga Langit yang tidak kehil