Beberapa hari kemudian, setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka tiba di kota Yueliang. Kota yang terkenal dengan Paviliun Yueliang, sebuah tempat yang setiap tahunnya mengeluarkan daftar emas, hitam dan putih. Daftar yang berisi peringkat para pendekar di Jiang Hu, orang-orang hebat dan juga para buronan.
"Wah kota ini jauh dari bayanganku!" Song Mingyu berseru kagum saat rumah beroda mereka perlahan memasuki perbatasan kota."Memang seperti apa yang kau bayangkan?" Junjie bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan yang mereka telusuri.Seperti biasanya, mereka berdua bergantian mengusiri rumah beroda. Hanya sesekali saja Ren Hui mengusirinya. Beberapa hari ini pria itu sibuk menyuling arak.Selain arak-arak yang biasa dibuatnya, kali ini dia juga membuat arak bambu hijau. Arak beras ketan berkualitas terbaik yang disulingnya dengan embun pagi yang dikumpulkannya setiap pagi dan disimpan dalam batang-batang bambu yang mereka dapatkanBukit di sebelah timur Kota Yueliang memang sangat cocok untuk tempat tinggal sementara mereka selama di kota Yueliang. Tempat itu bukan hanya dikelilingi padang rumput yang menghijau, tetapi juga hutan-hutan kecil yang rimbun dan sejuk.Di kejauhan terdengar gemericik air yang lebih mirip deru hujan memecah bebatuan. Tempat yang indah, tenang dan jauh dari keramaian. Tempat yang selalu menjadi pilihan Ren Hui untuk singgah sementara waktu."Aiyo! Air terjun!" Song Mingyu bersorak dan berlari menuju kolam yang bersumber dari air terjun yang menjulang tinggi di hadapan mereka.Junjie menggeleng kepalanya dan duduk di atas bebatuan di tepi kolam. Sedangkan Ren Hui hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari teras bagian belakang rumah berodanya."Air terjun jiwa tersembunyi," gumamnya pelan. "Apa maksudmu membawaku kemari?" Ren Hui tersenyum tipis.Dia menarik rak-rak kayu berisi tanaman obatnya lebih ke tepi, menempel di dinding dan tangga
Ren Hui menyalakan dupa dan meletakkannya di atas meja. Sementara Junjie dan Song Mingyu makan dengan lahap. Keduanya sesekali berbincang bahkan berebut makanan."Bagaimana bisa sikap elegannya menguap begitu saja," keluh Ren Hui dalam hati saat melihat keduanya kembali bertengkar hanya karena hal sepele."Ren Hui, kau tidak ingin berlatih beladiri?" Song Mingyu tiba-tiba bertanya padanya. Ren Hui tertegun mendengar pertanyaannya itu. Dia menatap Song Mingyu sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya."Ada baiknya kau berlatih," sahut Junjie menimpali percakapan mereka berdua. "Setidaknya untuk menjaga kebugaran tubuhmu," lanjutnya. Tangannya terulur hendak mengambil sepotong tahu berlumur saos kedelai fermentasi."Aiyo, itu tahuku!" Song Mingyu menepis tangannya dan merebut tahu itu dari atas piring. "Eh, kau ini!" Junjie berteriak memprotesnya dan tangan bergerak cepat mengambil tahu di atas piring ya
Ren Hui masih berdiri dan meneguk araknya. Tubuhnya mulai terasa hangat, darahnya seakan mengalir lebih cepat. Pembuluh-pembuluh darahnya seakan terisi tenaga dalam yang kuat lagi seperti dahulu. Bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dadanya bergemuruh, seakan-akan jantungnya meronta hendak melepaskan diri agar bisa berdetak lebih bebas dan kencang. Seperti keinginannya untuk kembali menggunakan pedang yang telah lama tersimpan dan tak pernah digunakannya lagi. Junjie terkejut saat sayup-sayup merasakan sebuah getaran. Pedang yang selalu tersandang di pinggangnya tiba-tiba bergetar, pelan dan semakin cepat. "Pedang ini merasakan hasrat membunuh pemiliknya," gumamnya dalam hati. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Dia sudah menduga, meski kehilangan kemampuan beladirinya, tetapi Ren Jie tidak kehilangan nalurinya sebagai seorang Dewa Pedang. Begitupun dengan Pedang Naga Langit yang tidak kehil
"Kau ingin melihat tarian pedangku lagi bukan?" tanyanya dengan serius. Tatapan matanya yang tajam menelusuri wajah tampan pria di hadapannya. Seakan-akan ingin mencari kesungguhan dari keinginan yang tadi diucapkannya.Junjie hanya menganggukkan kepalanya, menyingkirkan ujung pedang dan kembali meneguk araknya. Dia pun duduk di pagar kayu teras dan bersandar di dinding gudang arak, menatap Ren Hui dengan tatapan berbinar.Ren Hui pun tersenyum tipis. Dia berputar dengan indah, mengayunkan pedangnya. Pedangnya bergerak cepat selaras dengan gerakan tubuhnya. Hingga tiba-tiba saja ujung pedangnya menyasar dan berhenti beberapa inchi dari leher Junjie.Junjie tertawa pelan dan menghindar dengan lincah. Namun, Ren Hui tidak melepaskannya begitu saja. Dia kembali mengayunkan pedangnya meski kali ini tidak berniat menyerang Junjie.Gerakan pedangnya melambat, berputar dengan indah. Begitupun dengan tubuhnya y
Junjie terbangun keesokan paginya saat mendengar teriakan panik Song Mingyu. Ditingkahi dengan suara batuk seseorang yang terdengar sangat parah."Minumlah!" Terdengar suara Song Mingyu menawarkan air. Semestinya orang yang terbatuk-batuk adalah Ren Hui.Junjie bangun dari tempat tidur dan duduk di tepinya. Kepalanya terasa pusing. Entah berapa kendi arak yang dihabiskannya semalam karena dia merasa arak itu sama sekali tidak memabukkan. Dia hanya merasa sangat ringan bak melayang-layang dalam lautan mimpi."Hei! Bantu aku!" Song Mingyu berseru padanya. Perlahan Junjie membuka matanya. Tatapan matanya menangkap sosok Ren Hui yang tengah terbatuk-batuk. Tiba-tiba saja pria itu memuntahkan darah segar.Junjie segera melompat berlari terburu-buru mendekati mereka berdua. Diperiksanya kondisi Ren Hui kemudian berusaha menyalurkan tenaga dalam murni untuk memulihkan kondisinya. Meski dia tahu mungkin itu tidak akan terlalu memb
"Apakah karena semalam kau berlatih pedang?" Junjie bertanya dengan suara pelan dan berhati-hati. Dia tidak ingin Song Mingyu mendengar percakapan mereka dan mencurigai mereka berdua."Salah satunya karena itu. Namun, alasan yang paling nyata adalah racun tujuh bunga biru," sahut Ren Hui pelan."Apakah ada penawarnya?" Junjie kembali bertanya. Kali ini disertai harapan untuk mendapatkan jawaban yang bagus."Jika ada tentu Ren Jie masih hidup," sahut Ren Hui seraya tersenyum pahit.Junjie mendesah pelan. "Kalau begitu ikutlah ke kota. Aku akan membawamu ke Paviliun Yueliang. Nona Wei Jin tidak mungkin tidak memiliki obat atau penawar untuk racun itu. Dia pasti mau mengobatimu." Junjie berdiri dan berkata dengan tegas."Buang-buang waktu saja. Jika Dewa Obat pun sudah menyerah untuk menetralkan racun di tubuhku apalagi hanya seorang Wei Jin." Ren Hui kembali tersenyum pahit.
Paviliun Yueliang, Kota YueliangSebuah lukisan tergantung di dinding sebuah ruangan yang cukup luas dan ditata dengan begitu elegan. Lukisan seorang pria muda yang tampan nan rupawan membawa pedang di tangan kanannya. Berlatar belakang pohon wisteria yang tengah berbunga lebat dan pegunungan di musim semi, lukisan itu tidak hanya indah. Namun, begitu hidup hingga terasa begitu nyata.Setidaknya bagi gadis cantik berhanfu ungu muda yang berdiri menatap sayu lukisan itu.Seakan-akan diliputi kerinduan yang begitu mendalam akan sosok di dalam lukisan. Bahkan dia melupakan semuanya saat tatapan matanya hanya tertuju pada sosok itu, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.Seorang gadis masuk ke dalam ruangan dan menegur gadis yang berdiri di depan lukisan. "Kakak Jin, dupa sudah terbakar habis dan kau masih memandangi lukisan itu." Dia meletakkan teko teh dan cangkir-cangkir di atas meja di sudut ruangan.
Pusat Kota Yueliang Song Mingyu memacu kudanya dengan santai. Sesiangan ini dia puas berkeliling kota Yueliang. Junjie merupakan pemandu jalan yang baik karena dia hampir hapal seluk beluk kota kecil ini. Sepertinya tidak ada tempat di kota ini yang tidak diketahuinya. Dia bahkan membeli dua buah lentera yang membuat Song Mingyu keheranan. Namun, saat bertanya padanya, Junjie hanya tersenyum dan tidak menjawabnya dengan jelas. "Apakah sebenarnya kau berasal dari kota ini?" Song Mingyu pun melontarkan pertanyaan yang mengandung kecurigaan pada pria itu. Namun, dengan tegas Junjie menepis kecurigaan pemuda itu. "Tidak! Aku berasal dari kota Tianxia," sahutnya dengan santai. "Eh, kota Tianxia? Pantas saja ilmu beladirimu lumayan." Song Mingyu memujinya dengan tulus. Junjie hanya tersenyum mendengar pujiannya. Tianxia atau Kota
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam