Bukit di sebelah timur Kota Yueliang memang sangat cocok untuk tempat tinggal sementara mereka selama di kota Yueliang. Tempat itu bukan hanya dikelilingi padang rumput yang menghijau, tetapi juga hutan-hutan kecil yang rimbun dan sejuk.
Di kejauhan terdengar gemericik air yang lebih mirip deru hujan memecah bebatuan. Tempat yang indah, tenang dan jauh dari keramaian. Tempat yang selalu menjadi pilihan Ren Hui untuk singgah sementara waktu."Aiyo! Air terjun!" Song Mingyu bersorak dan berlari menuju kolam yang bersumber dari air terjun yang menjulang tinggi di hadapan mereka.Junjie menggeleng kepalanya dan duduk di atas bebatuan di tepi kolam. Sedangkan Ren Hui hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari teras bagian belakang rumah berodanya."Air terjun jiwa tersembunyi," gumamnya pelan. "Apa maksudmu membawaku kemari?" Ren Hui tersenyum tipis.Dia menarik rak-rak kayu berisi tanaman obatnya lebih ke tepi, menempel di dinding dan tanggaRen Hui menyalakan dupa dan meletakkannya di atas meja. Sementara Junjie dan Song Mingyu makan dengan lahap. Keduanya sesekali berbincang bahkan berebut makanan."Bagaimana bisa sikap elegannya menguap begitu saja," keluh Ren Hui dalam hati saat melihat keduanya kembali bertengkar hanya karena hal sepele."Ren Hui, kau tidak ingin berlatih beladiri?" Song Mingyu tiba-tiba bertanya padanya. Ren Hui tertegun mendengar pertanyaannya itu. Dia menatap Song Mingyu sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya."Ada baiknya kau berlatih," sahut Junjie menimpali percakapan mereka berdua. "Setidaknya untuk menjaga kebugaran tubuhmu," lanjutnya. Tangannya terulur hendak mengambil sepotong tahu berlumur saos kedelai fermentasi."Aiyo, itu tahuku!" Song Mingyu menepis tangannya dan merebut tahu itu dari atas piring. "Eh, kau ini!" Junjie berteriak memprotesnya dan tangan bergerak cepat mengambil tahu di atas piring ya
Ren Hui masih berdiri dan meneguk araknya. Tubuhnya mulai terasa hangat, darahnya seakan mengalir lebih cepat. Pembuluh-pembuluh darahnya seakan terisi tenaga dalam yang kuat lagi seperti dahulu. Bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dadanya bergemuruh, seakan-akan jantungnya meronta hendak melepaskan diri agar bisa berdetak lebih bebas dan kencang. Seperti keinginannya untuk kembali menggunakan pedang yang telah lama tersimpan dan tak pernah digunakannya lagi. Junjie terkejut saat sayup-sayup merasakan sebuah getaran. Pedang yang selalu tersandang di pinggangnya tiba-tiba bergetar, pelan dan semakin cepat. "Pedang ini merasakan hasrat membunuh pemiliknya," gumamnya dalam hati. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Dia sudah menduga, meski kehilangan kemampuan beladirinya, tetapi Ren Jie tidak kehilangan nalurinya sebagai seorang Dewa Pedang. Begitupun dengan Pedang Naga Langit yang tidak kehil
"Kau ingin melihat tarian pedangku lagi bukan?" tanyanya dengan serius. Tatapan matanya yang tajam menelusuri wajah tampan pria di hadapannya. Seakan-akan ingin mencari kesungguhan dari keinginan yang tadi diucapkannya.Junjie hanya menganggukkan kepalanya, menyingkirkan ujung pedang dan kembali meneguk araknya. Dia pun duduk di pagar kayu teras dan bersandar di dinding gudang arak, menatap Ren Hui dengan tatapan berbinar.Ren Hui pun tersenyum tipis. Dia berputar dengan indah, mengayunkan pedangnya. Pedangnya bergerak cepat selaras dengan gerakan tubuhnya. Hingga tiba-tiba saja ujung pedangnya menyasar dan berhenti beberapa inchi dari leher Junjie.Junjie tertawa pelan dan menghindar dengan lincah. Namun, Ren Hui tidak melepaskannya begitu saja. Dia kembali mengayunkan pedangnya meski kali ini tidak berniat menyerang Junjie.Gerakan pedangnya melambat, berputar dengan indah. Begitupun dengan tubuhnya y
Junjie terbangun keesokan paginya saat mendengar teriakan panik Song Mingyu. Ditingkahi dengan suara batuk seseorang yang terdengar sangat parah."Minumlah!" Terdengar suara Song Mingyu menawarkan air. Semestinya orang yang terbatuk-batuk adalah Ren Hui.Junjie bangun dari tempat tidur dan duduk di tepinya. Kepalanya terasa pusing. Entah berapa kendi arak yang dihabiskannya semalam karena dia merasa arak itu sama sekali tidak memabukkan. Dia hanya merasa sangat ringan bak melayang-layang dalam lautan mimpi."Hei! Bantu aku!" Song Mingyu berseru padanya. Perlahan Junjie membuka matanya. Tatapan matanya menangkap sosok Ren Hui yang tengah terbatuk-batuk. Tiba-tiba saja pria itu memuntahkan darah segar.Junjie segera melompat berlari terburu-buru mendekati mereka berdua. Diperiksanya kondisi Ren Hui kemudian berusaha menyalurkan tenaga dalam murni untuk memulihkan kondisinya. Meski dia tahu mungkin itu tidak akan terlalu memb
"Apakah karena semalam kau berlatih pedang?" Junjie bertanya dengan suara pelan dan berhati-hati. Dia tidak ingin Song Mingyu mendengar percakapan mereka dan mencurigai mereka berdua."Salah satunya karena itu. Namun, alasan yang paling nyata adalah racun tujuh bunga biru," sahut Ren Hui pelan."Apakah ada penawarnya?" Junjie kembali bertanya. Kali ini disertai harapan untuk mendapatkan jawaban yang bagus."Jika ada tentu Ren Jie masih hidup," sahut Ren Hui seraya tersenyum pahit.Junjie mendesah pelan. "Kalau begitu ikutlah ke kota. Aku akan membawamu ke Paviliun Yueliang. Nona Wei Jin tidak mungkin tidak memiliki obat atau penawar untuk racun itu. Dia pasti mau mengobatimu." Junjie berdiri dan berkata dengan tegas."Buang-buang waktu saja. Jika Dewa Obat pun sudah menyerah untuk menetralkan racun di tubuhku apalagi hanya seorang Wei Jin." Ren Hui kembali tersenyum pahit.
Paviliun Yueliang, Kota YueliangSebuah lukisan tergantung di dinding sebuah ruangan yang cukup luas dan ditata dengan begitu elegan. Lukisan seorang pria muda yang tampan nan rupawan membawa pedang di tangan kanannya. Berlatar belakang pohon wisteria yang tengah berbunga lebat dan pegunungan di musim semi, lukisan itu tidak hanya indah. Namun, begitu hidup hingga terasa begitu nyata.Setidaknya bagi gadis cantik berhanfu ungu muda yang berdiri menatap sayu lukisan itu.Seakan-akan diliputi kerinduan yang begitu mendalam akan sosok di dalam lukisan. Bahkan dia melupakan semuanya saat tatapan matanya hanya tertuju pada sosok itu, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.Seorang gadis masuk ke dalam ruangan dan menegur gadis yang berdiri di depan lukisan. "Kakak Jin, dupa sudah terbakar habis dan kau masih memandangi lukisan itu." Dia meletakkan teko teh dan cangkir-cangkir di atas meja di sudut ruangan.
Pusat Kota Yueliang Song Mingyu memacu kudanya dengan santai. Sesiangan ini dia puas berkeliling kota Yueliang. Junjie merupakan pemandu jalan yang baik karena dia hampir hapal seluk beluk kota kecil ini. Sepertinya tidak ada tempat di kota ini yang tidak diketahuinya. Dia bahkan membeli dua buah lentera yang membuat Song Mingyu keheranan. Namun, saat bertanya padanya, Junjie hanya tersenyum dan tidak menjawabnya dengan jelas. "Apakah sebenarnya kau berasal dari kota ini?" Song Mingyu pun melontarkan pertanyaan yang mengandung kecurigaan pada pria itu. Namun, dengan tegas Junjie menepis kecurigaan pemuda itu. "Tidak! Aku berasal dari kota Tianxia," sahutnya dengan santai. "Eh, kota Tianxia? Pantas saja ilmu beladirimu lumayan." Song Mingyu memujinya dengan tulus. Junjie hanya tersenyum mendengar pujiannya. Tianxia atau Kota
Junjie dengan hati-hati menuntun kuda dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya membawa lentera. Begitu pula dengan Song Mingyu. Meski di sepanjang jalan juga ada beberapa lentera yang menyala, tetapi itu tidak cukup untuk menerangi jalan. Apalagi semakin jauh melangkah semakin tebal juga kabutnya."Ini masih siang, tetapi cuaca seperti sore menjelang malam hari." Song Mingyu mengangkat lenteranya lebih tinggi agar dapat melihat jalur jalan di depan mereka agar tidak salah memilih arah."Sepanjang waktu tempat ini diselimuti kabut. Hanya saja tidak selalu tebal." Junjie kembali menjelaskan. "Ah pantas saja kau tadi membeli lentera. Aku pikir untuk perjalanan pulang nanti." Song Mingyu berkata pelan dan melirik JunjieTiba-tiba merasa aneh dengan penampilan pria yang berjalan di sisinya itu. "Junjie, ada hantu," bisik Song Mingyu pelan. Junjie seketika berhenti berjalan. Dia membuka doupeng yang menutupi wajahnya. "Di mana?" tanyan